Mulanya semua gelap. Berisikan ketenangan yang niscaya membuatku bertanya tanya apakah kematian memang demikian nikmatnya. Yang kurasakan saat itu tidaklah hangat dan dingin, tidak juga berperasaan apalagi emosi, juga tak ada keinginan. Seolah olah aku adalah bayi baru lahir yang bahkan tidak menangis menyapa dunia.
Yang kupertanyalan satu satunya adalah eksistensiku. Dan dari itu, kemudian aku ingat sesuatu.
Lho? Memangnya orang mati bisa merasakan yang seperti ini?
Sejak pertanyaan itu mengetuk pintu kesadaranku, satu persatu suara mulai bermunculan.
"####KIR!!!"
"A##S!! A#$ MONS###!!"
Berisik.
"###ONG A##!!!"
"TO##ONGG!!!"
Diamlah.
"AAAAAA###AA!!"
"SELAMATKAN AKU!!"
Diamlah. Aku ini sudah mati, jadi setidaknya tolong biarkan aku istirahat dengan tenang.
"HUAA...IBU!!!!"
"PUTRIKU! PUTRIKU!! TIDAK JANGAN LUKAI PUTRIKU!!"
Jangan minta tolong padaku lagi.
"TIIIIDAAAAKKK!!!!!!"
ARGH, DIAMLAH SIALAN! KUBILANG DIAMMM!!DIAMMM!! AKU BILANG AKU SIDAH MATI!!
Begitulah yang seharusnya terjadi. Tapi sekonyong konyong—
"Hah?...."
—aku malah terlibat di kekacauan ini.
Waktu itu aku berdiri diam, termenung diantara semua orang yang lari kesana kemari entah kemana dan karena apa. Anak anak yang bergantung pada orang tuanya kelihatan menangis terisak di samping mayat orang dewasa dan begitu pula mereka yang terlalu mencintai keturunannya. Aku sendiri, yang pada dasarnya tak punya siapa siapa dan tak punya ide apa apa, dijebak oleh kebingungan dan pertanyaan pertanyaan klise orang bodoh tentang dimana dan ada apa.
Apa yang sedang terjadi saat ini? Dan yang lebih penting dari itu, saat aku menunduk kebawah dan menatap tubuhku sendiri, aku menyadari bahwa tubuh ini adalah tubuhku bertahun tahun yang lalu.
Apakah aku berubah jadi anak anak atau kembali ke masa lalu?
Tapi belum sempat berpikir lebih jauh, sesuatu telah menusuk punggungku tembus sampai ke ulu hati. Benda itu bukan pisau, lebih mirip seperti tulang tajam seperti rusuk yang diasah dan dilapisi kulit.
"...ah.."
Darah segar muncrat dari mulutku tanpa bisa kutahan. Dan sejak saat itu, semuanya menjadi buram termasuk laki laki asing yang menerjang ke arahku dengan pedang panjang serta alis ditekuk. Lambat Laun kesadaranku melayang dan tiba tiba, semuanya gelap.
Sial.
Tau begini aku lari saja dari tadi.
_____________________________
Sekali lagi, semuanya adalah gelap. Tidak ada yang bisa dipertanyakan kecuali diriku sendiri yang merasakan kegelapan tak berujung ini. Memoriku utuh, bahkan detik detik bagaimana aku mati—sebentar, aku bahkan tidak tau apakah mati yang sebenarnya adalah karena ledakan gas racun itu atau tusukan benda aneh itu atau jangan jangan aku masih hidup, yang jelas, lagi lagi kegelapan ini adalah fana. Dan yang lebih baru lagi adalah suara suara asing yang entah kenapa kali ini bukan masuk lewat telingaku tapi memang ada di kepalaku seperti makhluk imajiner.
Kalau kesadaranku tidak menyimpang, suara suara itu berkata begini:
'Apa anak ini masih pingsan?'
'wajar saja, dia lemah.'
'uuuh, kenapa kakak pingsan?'
'...karena dia lemah.'
'ayolah, bocah. Jangan menghina dia. Ingat, dia adalah #### kita.'
'benar, ###, berhenti menghina dia.'
Belum cukup sampai disitu, tiba tiba saja ada suara suara baru yang muncul dan kedengarannya seperti percakapan antara dua orang. Aku kurang mengerti konteks awal percakapannya tapi gara gara itu, dua suara ini malah bercampur. Yang jelas beda diantara mereka hanyalah bahwa suara yang satu adalah dari dalam kepalaku, yang satu lagi masuk lewat telinga ke dalam kepalaku.
Belum bisa membedakannya, percakapan itu awalnya tercampur.
"...pasien adalah korban dari serangan itu..."
'..oh? Ada orang! Ada orang!"
'Diamlah, semua juga tau kalau itu bukan bunyi kera.'
"...apa yang harus kita lakukan jika dia ingat sesuatu?"
'lho? Katanya manusia itu evolusi dari kera.'
"...jangan sembarangan bertindak dulu...'
'kalau gitu coba kamu lompat lompat sambil garuk garuk pantat, nanti kunilai sendiri apakah buktinya ada atau tidak. Ngomong ngomong, nanti kukasih pisang.'
'nggak perlu praktek, lihat wajahnya saja sudah kelihatan wkwkwkwkwk.'
"...kita masih tidak tau efek racunnya berupa apa,"
"Ini bisa jadi penelitian."
'?????'
'.....'
'bajingan mana yang berani pakai kata penelitian di depanku?!'
'nanti setelah datanya lengkap,"
"Kita suntikkan serum lupa ingatannya!"
Percakapan itu mulanya membuatku nyaris menarik semua kesadaranku sebelum membuka mata tapi pada akhirnya—CTAK—sebuah jentikan jari mendahului semua intensi itu. Alhasil, saat aku melek sepenuhnya dan mencoba mencerna situasi, yang kutemukan malah sebuah tempat yang ujungnya tak terlihat berwarna dominasi kuning sampai putih terang. Silau di beberapa area sukses membuatku menyipit dan karena tempat ini sama anehnya seperti aku sedang berdiri di atas awan tapi masih ada langit yang bisa kulihat, aku mempertahankan mataku tetap terbuka.
Sekali lagi, kali ini aku ada dimana?
Kepalaku menoleh ke belakang hanya karena teringat kejadian saat aku ditusuk tiba tiba dari belakang. Tapi kali ini, semuanya nampak normal namun berlipat lipat lebih horor dari sebelumnya. Sebab, sebelum aku sempat mencerna penglihatanku, yang kutemukan malah diriku sendiri tiba tiba sedang duduk sambil menggenggam cangkir teh wangi dihadapan seseorang. Seolah olah aku yang berdiri sejak tadi memang tidak ada. Seolah olah aku baru saja bermimpi saat menenggak teh.
"Uhuk!"
Saking kagetnya, aku terbatuk oleh minumanku sendiri yang aku tak tau sejak kapan aku sedang meminumnya.
"Uhuk! Uhuk!"
"Pelan pelan saja, kawan." Demikianlah sosok di depanku bicara dan waktu itu aku sadar kalau tehnya melayang sendiri ke bibirnya untuk dia sesap tanpa dia mengangkat tangan.
"Kamu siapa?"
Dia terlihat lebih muda dari aku. Paling banter cuman tiga sampai lima belas tahun--
"Salah, salah, usiaku sudah hampir sepuluh ribu, usiamu masih sebelas tahun."
"....??????!!!"
Aku terbelalak, reflek menjatuhkan cangkir.
Hei, bajingan ini baru saja--
"Anak anak tidak boleh mengumpat, Reswa."
"....."
...ah, jadi begitu.
'Makhluk' itu tersenyum membenarkan. Aku memperhatikan penampilannya dan menilai bahwa wujudnya sama anehnya dengan eksistensinya. Ia nampak indah, seolah olah ruangan yang bagai mimpi ini hanya wujud penggambaran sederhana darinya. Rambutnya berwarna emas berkilau, dengan poni menutupi jidat dan mata berwarna serupa. Ada syal panjang yang menjuntai dari lehernya sampai melewati batas yang bisa aku lihat. Pakaian yang ia kenakan warna putih, nampak kuno dengan kerah berlapis lapis membentuk huruf V, tapi mewah di saat yang bersamaan.
Daripada pikiranku dibaca, aku memilih bertanya terang terangan.
"Apakah ini kemampuan pengidap albinisme?"
Ia tertawa anggun. "Menurutmu aku albino? Tidak, apakah menurutmu kita dari dunia yang sama?"
Aku menelan ludah. Demi sejenak merasa sakit jiwa, tapi bagaimanapun juga, semuanya terlalu masuk akal. Pemilik kemampuan ilusi biasanya bukan pengidap albinisme tapi Skizofrenia atau paling banter sindrom trauma.
Maka aku menampar diriku sendiri.
"Aww," makhluk itu meringis melihat kelakuanku pada diriku sendiri. "Apa kamu pengidap Self-Injury juga? Seorang mantan pengidap Hemofilia?"
Detik itu, tatapanku mendingin. "Agak aneh, kan, kalau kamu tau terlalu banyak tentang aku?"
Senyumnya merekah. Tapi dia tidak menjawab.
Maka lagi lagi aku berinisiatif. "Kalau begitu, katakan saja apa yang kamu lakukan padaku."
Lagi lagi senyumnya bertahan. "Aku takut, kamu tidak akan percaya."
"Bagaimana kalau perkenalan diri?"
"Oh, yang itu boleh juga!" Ia bertepuk tangan satu kali, memiringkan kepalanya sambil cangkir itu turun kembali ke atas meja. "Nah, perkenalkan, namaku adalah 'The Storytelling Prince', kamu bisa memanggilku dengan itu atau cukup the Prince saja. Aku adalah calon konstelasi tingkat Imperator dan kamu adalah lantai seratusku--
"Tunggu, tunggu," kataku setelah melongo mendengar kata katanya. "Maaf, sepertinya kamu pengidap sindrom delusi. Dan, yah, aku terjebak disini, apakah ini Thaumiel mu?—"
"Kamu benar benar mempertanyakan itu? Kamu tidak percaya padaku?"
Aku menelan ludah. Melirik kemana saja oleh rasa bersalah. Namun demikian, tanpa perlu aku menjawabnya pun sudah jelas The Prince sudah tau. Yang ia lakukan kemudian hanyalah menghela napas, menatapku dengan dingin lalu berkata, "kalau begitu, akan lebih baik jika kamu lihat sendiri semuanya."
The Prince pun menjentikkan jari. Sesuatu yang menurutku lebih dari cukup untuk membuat jantungku berdegup terlalu cepat karena tiba tiba saja, awan tempatku berpijak kembali pada kodratnya dimana aku terjun bebas dari langit.
"Tunggu, tunggu—AAAAAAAAAAA!!!—"
Kepalaku diterpa angin kesana kemari sampai sampai sekadar tenang supaya aku bisa berpikir jadi sulit sekali. Tidak ada parasut. Tidak ada harapan. Tidak ada yang mengajariku berdoa. Yang kubisa cuman menatap gumpalan awan di depan mataku yang lambat Laun makin menjauh tanpa bisa melakukan apa apa. Satu persatu umpatan keluar dari mulutku sebelum kembali ke huruf A panjang lalu tiba tiba saja, aku sudah ada di atas ranjang. Dengan tangan yang terjulur ke atas juga seorang dokter dan asistennya mencoba membangunkan ku.
"Pasien!"
Deg, deg, deg, jantungku masih berdegup demikian kerasnya sampai terasa sakit dan aku menyentuh dadaku.
"Kamu baik baik saja?!" Suster itu mengambil pundakku sementara aku meringis kesakitan. Sakit! Jantungku sakit! Tapi aku tidak tau apakah aku boleh mengatakan itu atau tidak. Maka aku terengah engah, mendoktrin diriku sendiri dengan kalimat kalimat penenang sambil tergopoh gopoh. Tenang, Reswa, tenang! Ingat, dalam kondisi apapun, hal paling penting yng harus dilakukan adalah tenang atau semuanya akan berantakan. Bagus, bagus, seperti itu, tenang....
Rasa sakit itu memudar. Nah,—kepalaku mendongak ke atas pada perawat serta dokter di sampingnya—sekarang saatnya mengurusi apa mau mereka.
Perempuan itu berambut pirang, tidak seberkilau The Prince yang nyaris membuat sakit mata—lho, kok aku malah ingat dia lagi?—juga tidak bisa dibilang biasa. Apalagi matanya yang biru dengan tulang pipi menonjol langsung bisa membuatku mengenali bahwa dia pastilah ras kaukasia. Disampingnya mungkin laki laki negro, tapi dia jelas jauh lebih cerdas. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyipit pada name-tag nya sambil mengeja nama Marco Zegrid disana.
Dokter itu kemudian bertanya padaku. "Kamu mimpi buruk?"
Di luar dugaan, yang menjawab lebih dulu bukannya lisanku tapi malah suara di kepalaku.
'Hal bodoh yang nggak perlu ditanyakan sementara wajahnya pintar. Aku kecewa.'
Detik itu aku menoleh ke sana kemari. Semakin membuat bingung dua insan di depanku tapi tiba tiba aku ingat kalimat lain.
"Ini bisa jadi penelitian."
"Nanti setelah datanya lengkap,"
"Baru kita suntik serum lupa ingatan."
Jadi intinya, dokter sialan ini mau membuatku jadi bahan eksperimen? Kebetulan matanya menatap demikian.
Maaf saja. Insting bertahan hidupku setara binatang liar. Kamu berniat membuatku amnesia? Akan kuringankn pekerjaanmu.
"Maaf, aku tidak ingat apa apa."
Hiduplah dengan cerdas, teman teman. Sampai kamu bisa melihat wajah kecewa orang yang kamu hadapi. Itu adalah perkataan seseorang. Dan menerapkannya jelas bukan masalah. Marco Zegrid nampak belum percaya pada awalnya, jadi ia menyipitkan mata dan mengulang pertanyaan.
"Apa itu benar?"
Kebetulan saat ini aku jadi anak anak. Tidak taukah laki laki itu peribahasa bahwa seorang anak tidak berbohong? Aku menggeleng. "Saya cuma ingat kalau saya datang dari jauh—ah, sekarang tanggal berapa?"
Suster kaukasia itu menatap jam tangannya. "12 Januari 2499."
Yang benar saja. Kalau berakting bukan keahlianku, aku pasti sekarang sudah jadi gila karena berdebar. Hari ini adalah sekitar tiga belas tahun yang lalu. Ini gila. Ini gila. Aku memegangi kepalaku karena sakit kepala dan kebetulan itu membuat 2 orang ini terkelabui. Ah, jangan jangan The Prince itu benar benar konstelasi atau apalah itu? Apakah makhluk bernama konstelasi itu sungguh sungguh melakukan hal yang seperti ini?
"Pasien?"
"—Maaf, suster. Saya sakit kepala."
Aku menjambak kepalaku sedikit. Hanya untuk kemudian membuat Marco Zegrid melepasnya secara paksa. "Aku akan meresepkan pereda nyeri." Katanya sementara wanita itu menulis sesuatu. "Dengar. Kamu baru saja mengalami kecelakaan. Aku tidak mengerti kenapa kamu tidak punya identitas tapi semuanya bisa dimaklumi karena kamu baru—tebakanku, sekitar sebelas sampai dua belas tahun. Ceritakan yang lain nanti saja. Untuk saat ini, apa kamu ingat namamu?"
Aku tidak menjawab. Sengaja membuatnya menghela napas, mengatakan oke, lalu memintaku istirahat sambil melangkah keluar.
Suster pirang itu menyusul beberapa saat kemudian.
Aku menutup tirai panggung saat memastikan tidak ada lagi kamera yang merekam.
"Hei."
Tidak ada jawaban.
"Apakah kalian The Prince?"
Masih bungkam.
"Atau bukan?"
Tidak menjawab. Aku melotot entah pada siapa. "Jawab."
'ah, iya iya, sialan. Kami bukan The-apalah itu.'
'B1!'
'Vivi! B1 sudah gila!'
'Astaga, kamu memang parter yang payah.'
Empat orang. Oke. Tidak ada wujudnya, itu artinya, suaranya memang dari kepalaku. "Siapa kalian?"
Lagi lagi tidak dijawab. Dan ini mulai membuatku kesal. "Hei, berhentilah main main denganku, jangan setengah setengah kalau mau bersembunyi!"
'Bocah ini benar. Kita sudah ketahuan. Lagipula, tidak da ruginya.'
'Vivi, B1 benar!'
'Halo! Namaku Rere!'
'Rere!'
"Oh, halo, Rere." Aku susah payah terdengar ramah karena dari suara ini, jelas dia adalah anak kecil perempuan. Suaranya familiar namun asing di saat yang sama, dan usianya paling banter tujuh tahun. "Salam kenal, namaku Reswa."
'....'
'Aku B1.'
'A...aku..Nana....'
"Halo, Salam kenal semuanya, aku Reswa." Ingat, Reswa. Dari suaranya, B1 sepertinya adalah remaja laki laki yang sedang puber. Nana mungkin seumuran Rere, bedanya dia laki laki. Tinggal satu lagi.
'....aku Vivi...'
Vivi, eh? "Halo, apa kamu yang paling tua?"
'Bisa dibilang begitu.'
"Mereka adik adikmu?"
'Semacam itu.'
'Intinya, akan kubunuh kamu kalau menyakiti Vivi.'
Ini suara B1. Kalau aku tidak salah. Apa mereka pacaran? Yang jelas dia bodoh. Bagaimana caraku menyakitit makhluk yang bahkan tidak bisa kulihat? Apapun itu, kita akan masuk ke pertanyaan paling penting. "Kalian itu apa?"
'....'
'.....'
'....'
'....'
Wah, lihat bocah bocah sialan ini. Semuanya kompak mengabaikan orang dewasa? "Haloo...???"
'...kami adalah semacam hantu..."
Hah. Ternyata aku gila.
Dan kegilaan ini jadi meragukan karena aku telah mengalami terlalu banyak kegilaan. Entah soal aku yang harusnya sudah mati, lalu bangkit dan mati lagi, lalu naik ke atas awan, bertemu makhluk menyilaukan, lalu terjun bebas dari langit, dan ternyata sekarang ini adalah tiga belas tahun yang lalu.
Ya sudahlah. Memangnya kenapa kalau aku gila?
'The Prince akan membantumu.' Vivi tiba tiba berkata tanpa aku bertanya apa apa. Hal itu cukup mengejutkan.
"Hah?"
'kami semua juga bisa bicara padamu berkat The Prince. Semua ini juga membingungkan. Tapi dia punya jawaban.'
Mataku menyipit. "Katakan intinya saja, jangan memujinya." Entah kenapa itu membuat kesal. Dari sini, aku bisa mendengar suara B1 yang berdecak sebal lalu menyahut. 'Intinya hubungi dia, idiot.'
Bocah kematian ini kasar sekali. "Punya ide bagaimana caranya?"
'Panggil saja.'
Patut dicoba. "Hei, The Prince."
Pada saat itu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa sesuatu yang bersinar di langit tiba tiba membuat sore hari yang sudah demikian terang jadi semakin terang. Aku menyipitkan mataku karena silau cahaya sampai mengingatkanku pada saat aku pertama kali bertemu The Prince dimana tak satupun terasa suram di tempat itu. Masalahnya kali ini, cahaya menyilaukan itu bukannya makin bisa beradaptasi dengan mataku tapi malah jadi semakin terang, terang, dan lebih terang lagi hingga aku sadar bahwa cahaya dari langit itu sedang menuju ke kamar rawat inap ku. Ke Kamar Ku! Ke Arah Ku! Ada bintang jatuh entah sebesar apa sedang dalam perjalanan menimpaku!
Tapi kemudian, setelah cahaya itu menyusup pasca membiaskan diri pada kaca jendela, mereka memusatkan diri tepat di depan mataku dan setelah intensitas cahayanya diturunkan sampai taraf normal mata manusia, aku akhirnya mampu melihatnya.
Sebuah jendela sistem. Layar hologram yang mengambang tanpa proyektor, dan bisa dilihat dengan mata telanjang.
Isinya sederhana.
Hahahaha. Aku memang sakit jiwa bersama dunia yang gila.
"The Prince?"
Tulisannya berubah.
"...."
Storytelling Prince, eh? Pangeran pendongeng?
Yah, usia sebelas tahun belum terlalu tua untuk dianggap anak anak.