Rosnandar melangkah dengan hati berdebar-debar, mengikuti para prajurit yang kini memandunya menuju kota besar yang mereka sebut sebagai "Kerajaan Nusantara." Ia masih merasa seperti sedang bermimpi, sulit dipercaya bahwa tubuhnya benar-benar berada di dunia asing ini. Semuanya tampak begitu berbeda—dan aneh. Bahkan perasaan tanah di bawah kakinya terasa lebih kokoh, udara lebih segar, dan suara angin yang berhembus berbeda dari dunia yang ia kenal.
"Kau harus hati-hati," kata salah satu prajurit yang berjalan di depannya. Wajahnya serius, namun matanya memperlihatkan sedikit rasa curiga. "Tidak banyak orang luar yang datang ke sini, dan lebih sedikit yang keluar dengan selamat."
Rosnandar hanya mengangguk, mencoba untuk tidak terlalu terlihat bingung. Ia lebih memilih mendengarkan daripada bertanya terlalu banyak—setidaknya untuk saat ini. Dari sekilas, dia bisa menangkap bahwa prajurit-prajurit itu menganggapnya sebagai orang yang datang dengan niat buruk. Tidak heran, dengan penampilannya yang jelas berbeda, tak mungkin mereka bisa mengerti bahwa ia berasal dari dunia lain.
Matahari mulai tenggelam di balik horizon, memberi langit warna oranye keemasan yang memantulkan cahaya ke tanah. Seiring mereka semakin mendekat ke gerbang kota, Rosnandar bisa merasakan getaran kehidupan yang terasa begitu berbeda. Tidak seperti kota-kota di dunia asalnya, Kerajaan Nusantara ini tampaknya hidup dalam harmoni antara manusia dan makhluk-makhluk lain yang juga tinggal di dalamnya—seperti elf, manusia serigala, dan bahkan makhluk-makhluk berbentuk reptil yang berbicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti.
Di depan gerbang kota yang besar, tampak dua patung raksasa berbentuk penjaga dengan senjata terhunus, berdiri tegak menjaga pintu masuk. Saat mereka tiba di sana, dua penjaga itu memandang tajam, lalu salah satu dari mereka mengangguk dan membuka gerbang besar itu. Pintu logam yang berat itu bergema saat terbuka, mengungkapkan jalanan utama yang dipenuhi orang-orang.
"Selamat datang di Kota Nusantara," kata prajurit yang memimpin Rosnandar, memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. "Kami akan membawa kau ke balai kota. Jangan coba-coba melarikan diri. Jika kau berbohong, kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan."
Rosnandar mengangguk tanpa berkata apa-apa. Keadaan ini sudah cukup membuatnya takut. Bagaimanapun, ia tidak tahu apa yang menantinya di kota ini, dan yang paling ia takutkan adalah ketidakpastian. Tetapi, yang paling menonjol dalam pikirannya adalah satu hal—dia harus mencari cara untuk kembali ke dunia asalnya. Namun, untuk sekarang, ia tak punya pilihan selain mengikuti alur takdir yang membawanya ke tempat ini.
Di sepanjang jalanan kota, ia melihat berbagai macam manusia dan makhluk hidup yang berjalan dengan tenang, berbicara satu sama lain, dan melakukan aktivitas mereka. Di kiri kanan jalan, kios-kios pedagang menjual segala macam barang yang tak pernah ia lihat sebelumnya—seperti ramuan-ramuan dengan aroma yang menyengat, bahan-bahan aneh yang sepertinya bisa digunakan untuk sihir, serta senjata-senjata kuno dengan ukiran yang rumit.
"Hei, lihat! Orang asing!" seru seorang anak kecil sambil menunjuk ke arah Rosnandar. Wajah anak itu penuh rasa ingin tahu, sementara ibu di sampingnya tampak sedikit khawatir.
Rosnandar hanya tersenyum kaku, merasa sedikit canggung. Rasanya seperti menjadi pusat perhatian di kota ini. Namun, ia tak bisa berlama-lama tenggelam dalam rasa malu—ia harus tetap waspada, mendengarkan setiap percakapan yang terjadi di sekitarnya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah bangunan besar yang terletak di pusat kota. Bangunan itu megah, dengan arsitektur yang penuh ukiran khas Nusantara, namun juga dipengaruhi oleh gaya kerajaan dari dunia lain. Di depan bangunan, sebuah spanduk besar bertuliskan "Balai Kota Nusantara" terpampang jelas.
Rosnandar disuruh masuk, dan segera ia disambut oleh seorang pria berusia paruh baya yang tampak seperti pejabat penting. Wajahnya penuh dengan garis-garis tegas, dan rambutnya yang sudah memutih memberi kesan bahwa ia adalah orang yang penuh pengalaman.
"Kau ini siapa?" tanya pria itu dengan suara berat, matanya memandang Rosnandar seolah sedang memeriksa siapa sebenarnya pemuda ini. "Apa yang membawa kau ke sini? Jangan kira kami akan mempercayaimu begitu saja."
Rosnandar menarik napas dalam-dalam dan menatap pria itu. "Aku... tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini. Aku hanya tersesat," jawabnya, berusaha sejujur mungkin. "Aku berasal dari dunia lain, dan aku ingin kembali."
Pria itu tampak terkejut, tetapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. "Dunia lain? Itu... tidak mungkin," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, ia tidak melanjutkan pertanyaan dan hanya memberi isyarat kepada prajurit yang mengawal Rosnandar.
"Sekarang, kita perlu membicarakan ini dengan serius," kata pria itu, lalu melangkah menuju ruang belakang, memberi tanda pada Rosnandar untuk mengikutinya. "Ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa kau pahami."
Rosnandar mengikuti pria itu dengan langkah yang sedikit ragu. Meskipun dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh pria itu, nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan darinya. Dan dalam hatinya, ia merasakan sebuah panggilan—sesuatu yang lebih besar dari sekadar kembali ke dunia asalnya.
Saat mereka tiba di ruang belakang, pria itu duduk di sebuah meja panjang, dengan peta dan gulungan kertas terbuka di hadapannya. Ia menatap Rosnandar dengan tatapan yang serius.
"Kau datang ke sini karena takdir," pria itu berkata, suaranya rendah dan penuh bobot. "Kami percaya bahwa dunia ini membutuhkan seorang pahlawan, dan kami percaya, kau adalah orang yang dipilih untuk itu."
Rosnandar menatap pria itu dengan bingung. "Aku? Pahlawan? Aku hanya... seorang pemuda biasa. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Begitu juga kami dulu," pria itu menjawab. "Tapi takdir tidak peduli siapa kita sebelum ini. Yang penting adalah siapa kita nanti."
Rosnandar merasa seolah ada yang berubah dalam dirinya. Satu hal yang pasti—perjalanan ini baru saja dimulai.