Di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, terdapat sebuah gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal Salmah, Arjuna, dan ketiga anak mereka—Amira, Jie, dan Jio. Gubuk itu berdiri di tepi jalan yang jarang dilalui orang, dikelilingi semak belukar dan tanah yang tak terawat. Dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah usang, dan atap dari daun rumbia yang mulai berlubang di sana-sini. Saat hujan turun, bocorannya semakin parah, membuat lantai tanah mereka semakin becek dan dingin.
Amira, anak pertama dari tiga bersaudara, baru berusia 15 tahun, tetapi beban yang ia tanggung jauh lebih berat dari usianya. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan keterbatasan. Pakaian layak dan makanan enak hanyalah sesuatu yang bisa ia lihat dari kejauhan. Hidupnya penuh dengan kerja keras dan pengorbanan, sementara sang ayah, Arjuna, lebih memilih menghabiskan waktunya dengan berjudi dan mabuk-mabukan di warung kopi desa.
"Amira, tolong ambilkan air dari sumur, ya? Ibu mau masak," suara lembut Salmah terdengar dari dalam rumah. Meski terdengar tenang, ada kesedihan yang sulit disembunyikan dari wajahnya yang mulai tampak pucat.
"Iya, Bu," jawab Amira cepat. Ia menatap ibunya yang tampak begitu lelah. Kerutan di wajah Salmah semakin dalam, mungkin bukan hanya karena usia, tetapi juga karena hidup yang begitu keras.
Amira segera beranjak, melangkah ke luar rumah menuju sumur yang letaknya agak jauh. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi banyak hal. Ia teringat masa kecilnya, ketika dunia masih terasa penuh harapan. Dulu, ia bercita-cita menjadi guru, ingin mengajar anak-anak di desa agar mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Tapi kini, impian itu terasa semakin jauh.
Saat menatap bayangannya di permukaan air sumur, Amira menghela napas panjang. Ia merasa begitu lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun, ia tidak punya pilihan selain terus bertahan. Dengan cepat, ia menarik ember penuh air dan kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, ia melihat ibunya masih sibuk di dapur. Jie dan Jio berlarian kecil di sudut ruangan, tertawa tanpa beban. Mereka masih kecil, baru berusia 7 tahun, dan belum mengerti bagaimana sulitnya hidup.
"Bu, ini airnya," Amira meletakkan ember di dekat ibunya.
"Terima kasih, Nak," Salmah tersenyum tipis, meski matanya tetap menyimpan kelelahan.
Amira menatap ibunya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, "Bu... kenapa Ayah tidak pernah membantu kita?"
Salmah terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Ibu juga tidak tahu, Nak. Mungkin... dia punya cara berpikir sendiri."
"Tapi, kita selalu kesulitan, Bu," suara Amira melemah. "Ayah bahkan tidak pernah peduli."
Salmah tersenyum kecil, meski hatinya terasa perih. "Kita masih punya satu sama lain, Amira. Ibu, kamu, Jie, dan Jio. Itu sudah cukup."
Amira menggigit bibirnya, menahan rasa sesak di dadanya. Ia ingin protes, ingin marah, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apa pun.
Dalam hatinya, ia berjanji, suatu hari nanti, kehidupan mereka akan berubah. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia tahu satu hal—ia tidak boleh menyerah. Meskipun dunia mereka gelap, ia percaya bahwa suatu saat nanti, cahaya akan datang.