Chereads / THE LOST TWELVE -kisah Amira / Chapter 2 - Pengorbanan tanpa batas

Chapter 2 - Pengorbanan tanpa batas

Pagi itu, aroma ubi rebus menyebar di dalam gubuk reyot yang menjadi tempat berlindung keluarga kecil itu. Salmah duduk di depan tungku api yang sudah mulai meredup, dengan telaten mengaduk panci tua berisi beberapa potong ubi. Itulah satu-satunya makanan yang bisa ia hidangkan hari ini. Wajahnya tampak letih, tapi ia mencoba tersenyum saat melihat Amira menghampirinya.

Amira duduk di samping ibunya, memperhatikan ubi yang mulai matang. Matanya menyiratkan kelelahan, tetapi bibirnya tetap terkunci rapat. Ia tak ingin menambah beban pikiran ibunya.

"Amira, setelah sarapan, kamu langsung berangkat kerja, ya?" suara Salmah terdengar lembut namun lemah. Ia tahu putrinya bekerja terlalu keras, tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan? Hidup sudah begitu sulit bagi mereka.

"Iya, Bu," jawab Amira pelan. "Aku akan berangkat lebih awal biar nggak terlambat."

Salmah mengangguk, meletakkan panci ubi di atas alas kayu yang sudah lapuk. Ia membagi ubi itu ke dalam tiga piring kayu kecil. Jumlahnya sedikit, bahkan mungkin tidak cukup untuk mengenyangkan perut mereka. Tapi Salmah tak punya pilihan lain.

"Bangunkan Jie dan Jio, ya. Biar mereka sarapan dulu sebelum main."

Amira mengangguk, berjalan ke sudut gubuk tempat adik-adiknya tidur. Jie dan Jio masih meringkuk di atas tikar anyaman yang tipis. Wajah mereka terlihat begitu polos, tak menyadari kerasnya kehidupan yang harus mereka jalani.

"Jie... Jio... bangun, yuk," Amira menggoyangkan tubuh keduanya dengan lembut. "Kita sarapan dulu."

Jie membuka matanya perlahan, wajahnya terlihat kusut dan kantuk. Sementara itu, Jio menggeliat, menolak untuk bangun.

"Nggak mau... lapar... tapi capek," gumam Jio dengan suara serak.

Amira tersenyum tipis, meski hatinya terasa perih. Ia paham, adik-adiknya mungkin sudah lelah hidup dalam kekurangan. Tapi mereka masih kecil, dan tidak seharusnya merasakan beban seberat ini.

"Ayo, makan dulu. Nanti perut kalian sakit," bujuk Amira lembut. Akhirnya, Jie dan Jio bangkit dengan malas, mengikuti kakaknya menuju dapur.

Saat mereka duduk melingkari piring ubi yang sudah dibagi, suara pintu terbuka dengan keras. Tubuh mereka tersentak kaget saat melihat Arjuna berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah padam, matanya sembab, dan bau alkohol tercium kuat dari tubuhnya.

"Apa ini?!" suara Arjuna menggelegar. "Cuma ubi?! Kalian makan makanan busuk kayak gini?!"

Amira merasakan tubuhnya gemetar. Jie dan Jio bersembunyi di belakang tubuh kakaknya, ketakutan. Sementara Salmah berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi.

"Ma-maaf, Pak... hanya ini yang kita punya..." suara Salmah gemetar saat menjawab.

Arjuna mendekat dengan langkah terhuyung-huyung. Ia menatap piring ubi dengan wajah jijik, lalu menendangnya hingga isinya berhamburan di lantai tanah yang kotor. Jie dan Jio mulai menangis pelan, sementara Amira berdiri di depan ibunya, mencoba melindunginya.

"Ubi! Ubi! Selalu ubi!" Arjuna berteriak, wajahnya penuh amarah. "Apa gunanya punya anak kalau cuma bisa kasih makan kayak gini?! Dasar pemalas semua! Cuma bikin malu!"

Amira mengepalkan tangannya erat-erat. Ia ingin membela ibunya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tahu, melawan ayahnya hanya akan memperburuk keadaan.

Salmah menghapus air matanya yang mulai jatuh. "Pak... maaf... besok aku coba cari sayuran di kebun... mungkin masih ada yang bisa dipetik..."

Arjuna meludah ke tanah, matanya melotot marah. "Cari! Cari! Kau pikir aku mau makan daun?! Dasar nggak berguna!"

Amira menahan nafas, punggungnya terasa kaku. Ia tak tahan lagi melihat ibunya diperlakukan seperti ini. Tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Arjuna sudah berjalan keluar rumah dengan langkah terhuyung-huyung.

Suara tangisan Jie dan Jio terdengar semakin jelas. Amira berlutut di depan mereka, mengusap kepala adik-adiknya dengan lembut. "Sudah... jangan nangis. Kakak di sini."

Salmah duduk lemas di lantai, wajahnya penuh kesedihan. "Maafkan Ibu... maafkan Ibu, Nak..."

Amira menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia tahu, ibunya tidak bersalah. Yang salah adalah keadaan mereka yang terlalu sulit. Hidup yang begitu kejam hingga mereka bahkan tak bisa makan dengan tenang.

Amira meraih potongan ubi yang berserakan di lantai, membersihkannya sebisa mungkin sebelum memberikannya kepada Jie dan Jio. "Makan, ya... nanti kalian sakit kalau nggak makan."

Jie mengangguk pelan, sementara Jio memakan ubi itu dengan mata berkaca-kaca. Amira merasa dadanya sesak. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus bekerja lebih keras agar bisa mengubah nasib keluarganya.

Dengan cepat, Amira membersihkan sisa ubi di lantai. Ia tak sempat sarapan karena waktu sudah semakin mepet. Ia tahu, jika terlambat sedikit saja, majikannya akan marah besar.

"Ibu, aku berangkat sekarang," ujar Amira sambil berdiri. "Jie, Jio... kalian jangan nakal, ya. Dengerin kata Ibu."

Jie dan Jio mengangguk pelan, masih terisak kecil. Sementara Salmah menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Hati-hati di jalan, Nak... jangan sampai terlambat."

Amira mengangguk. "Iya, Bu."

Dengan langkah cepat, Amira berlari keluar rumah. Jalan setapak yang penuh dengan kerikil tajam dan lumpur becek harus ia lalui setiap hari untuk mencapai rumah tempat ia bekerja. Sepatu yang sudah usang tak mampu melindungi kakinya dari dinginnya tanah pagi itu. Tapi ia terus berlari, melawan dingin dan rasa lapar yang menggerogoti perutnya.

Tiba-tiba, kakinya tersandung batu besar yang tersembunyi di balik semak-semak. Amira terjatuh ke tanah keras, lutut dan telapak tangannya terluka. Rasa perih menyebar, darah mulai mengalir pelan. Namun, ia tak bisa berhenti. Ia tak boleh terlambat.

Dengan susah payah, Amira bangkit kembali. Rasa sakit di lututnya tak dihiraukan. Ia berlari secepat mungkin, hingga akhirnya sampai di depan gerbang besar rumah mewah tempatnya bekerja.

Saat Amira mencoba mengatur napas, gerbang itu terbuka dengan kasar. Seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah keras berdiri di sana. Itu adalah Hartawan, majikannya. Matanya melotot tajam saat melihat Amira yang datang terlambat.

"Kamu tahu jam berapa ini?! Berani-beraninya datang terlambat!" suara Hartawan menggelegar, penuh kemarahan.

Amira menunduk dalam-dalam. "Maaf, Pak... saya..."

"Jangan cari alasan!" bentak Hartawan. "Kalau nggak niat kerja, bilang dari awal! Dasar pemalas!"

Amira menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tahu, ia tak bisa membantah. Ia hanya bisa meminta maaf. "Maafkan saya, Pak..."

Hartawan mendengus kesal. "Cepat masuk dan bersihkan rumah! Jangan buang-buang waktu!"

Amira mengangguk patuh, lalu melangkah masuk dengan kepala tertunduk. Dalam hatinya, ia berjanji untuk terus bertahan. Demi ibu dan adik-adiknya, ia tidak akan menyerah.