----
Hari itu, keluarga gue, yang terdiri dari nyokap, bokap, dan Dika—kakak gue yang udah hampir 17 tahun, mutusin buat makan di luar. Biasa, sih, nyokap yang suka ngajak makan di luar kalau lagi bosen masak, dan hari itu kebetulan banget hujan deras, jadi kami semua pengen makan yang hangat-hangat.
"Yuk, makan bakso," kata bokap tiba-tiba sambil nyetir mobil.
"Gass mah, pengen banget nih," jawab Dika dari kursi belakang, sibuk main HP.
"Bakso? Di tempat yang biasanya?" tanya nyokap sambil ngeliatin bokap.
"Iya, yang itu. Kan deket dari rumah," jawab bokap.
Gue diem aja, cuma ngeliatin jalanan yang udah mulai sepi karena hujan. Gue bukan anak yang ribet soal makan, asal ada makanan, gue makan aja. Tapi, entah kenapa, perasaan gue agak aneh.
Pas nyampe di warung bakso langganan, gue ngeliat tempat itu ramai banget. Orang-orang ngantri, muka mereka senyum-senyum, kayak bener-bener seneng makan di sana. Nyokap langsung ngelirik gue sambil senyum, "Liat tuh, Wir. Ini pasti enak, orang-orang aja ngantri."
Gue cuma manggut, sambil ngerasa ada yang ganjil di tempat ini. Begitu pesenan kami datang, gue langsung diem. Bakso yang ada di depan gue... bukan bakso biasa. Gue ngeliat dengan jelas, bulatan-bulatan bakso itu bukannya kelihatan kenyal dan enak, malah kayak dua bola mata yang udah gelap, bulat, dan sedikit bening, kayak ngeliatin balik ke gue.
Gue langsung berasa mual. Mie yang biasanya keriting dan menggiurkan, di mata gue malah jadi cacing-cacing kecil yang hidup, menggeliat-geliat di dalam kuah panas. Perasaan takut gue makin kuat, dan gue gak bisa tahan buat gak ngomong.
"Gue... gue gak bisa makan ini," gue narik napas berat sambil liat ke mereka satu-satu, mencoba tenang. "Ma, Pa, Dika, jangan makan ini. Ini aneh banget!"
Nyokap ngeliatin gue, mukanya bingung. "Kenapa, Wira? Ini kan cuma bakso. Kamu ini kenapa, sih?" Dia coba ngambil sendok dan nyuap sedikit baksonya.
"Apa-apaan sih?" Gue hampir teriak, tapi gue tahan. "Itu... itu bukan bakso, Ma. Liat deh! Itu mata, dan mienya... itu cacing! Jangan dimakan!" Suara gue makin naik, tapi mereka cuma saling pandang satu sama lain, sementara orang-orang di sekitar kita makan dengan santai.
Dika ngeliatin gue sambil nyengir lebar. "Lo serius, Wir? Itu kan cuma mie biasa. Jangan lebay deh."
Gue cuma bisa liatin mangkok gue sambil nahan rasa mual. Perut gue bener-bener gak enak. Nyokap dan bokap malah nyuapin baksonya dengan tenang, sementara gue terus merhatiin cacing-cacing itu yang makin jelas gerak-geriknya di depan gue.
Bokap melirik gue dengan senyum tenang. "Wira, kamu cuma kecapean. Mungkin kamu cemas karena hujan atau kelelahan ya? Udah, makan aja, bakso ini enak kok."
Gue cuma bisa tarik napas panjang sambil ngejauh dari mangkok itu. Mau ngomong lagi, tapi rasanya percuma. Mereka gak percaya. Semua orang di sini seolah makan dengan bahagia, padahal apa yang gue liat jelas-jelas ngeri.
Setelah selesai makan, kami akhirnya keluar dari tempat itu dan balik ke mobil. Gue duduk di kursi depan, cuma diem. Nyokap, bokap, dan Dika ngobrol biasa aja, sementara pikiran gue masih terfokus ke bayangan bakso tadi. Di kepala gue, makanan itu, orang-orang di sana, semua kerasa kayak ilusi, kayak ada yang gak beres.
Di mobil, gue coba ngomong lagi. "Ma, Pa, Dika... kalian gak ngerasain ada yang aneh di tempat itu?"
Bokap ngeliat gue dari kaca spion, mukanya gak ada rasa khawatir sama sekali. "Gak ada yang aneh, Wir. Semua biasa aja. Lagipula, baksonya enak kok, kamu aja yang kebanyakan mikir."
Nyokap angguk setuju sambil sesekali ngelirik gue. "Iya, kamu cuma kecapean aja, sayang. Udah gak usah dipikirin."
Gue nahan emosi, "Enggak, Ma. Itu bukan kecapean. Gue ngeliat mata dan cacing di mangkok itu. Gue gak gila!" Nada suara gue naik, hampir kayak teriak karena gue frustasi gak ada yang percaya.
Dika di belakang malah ketawa kecil. "Lo ngaco, Wir. Itu bakso, biasa aja. Kapan-kapan aja lo jangan terlalu banyak mikir."
Gue cuma bisa diem, merasa sepi di tengah-tengah mereka semua yang malah nyangka gue bercanda atau halusinasi. Perasaan takut dan bingung itu makin nyata, tapi gak ada yang bisa gue lakuin.
Kami mulai keluar dari area parkir. Gue duduk di kursi depan, nyoba fokus ke jalan sambil ngelihatin sekitar dari kaca jendela. Tiba-tiba, di sudut mata gue, gue liat sesuatu yang bikin darah gue seolah berhenti mengalir. Di depan warung bakso itu, ada barisan pocong—pocong-pocong yang seolah muncul dari kegelapan.
Bukan cuma berdiri biasa, mereka tampak lebih... menyeramkan. Mata mereka kosong, penuh amarah, dan tangan-tangan mereka yang menjulur keluar dari kain kafan penuh darah. Satu per satu mereka mengeluarkan tubuh yang penuh luka, seolah-olah mereka abis dicincang. Mereka berdiri di sekitar gerobak bakso, dan gue liat jelas mereka ngeluarin lidah panjang yang menjulur, meneteskan air liur kental ke dalam mangkok-mangkok bakso yang tersaji.
Pemandangan itu bikin perut gue makin mual. Seolah-olah mereka menikmati setiap detik saat air liur kotor itu bercampur dengan makanan yang baru aja disantap orang-orang, termasuk keluarga gue.
Seketika mata gue beralih ke tukang bakso yang berdiri di depan gerobak. Dia berdiri di sana, ngelihatin gue sambil menyeringai, matanya tajam dan penuh sinis. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Di dalamnya, ada aura kebencian yang begitu dalam, seperti dia tau gue bisa liat semua yang terjadi, sementara yang lain gak sadar apa-apa.
Gue pengen teriak, pengen bilang sesuatu, tapi bibir gue rasanya terkunci. Nggak ada suara yang keluar. Gue cuma bisa menatap mereka semua, dalam bisu, di dalam mobil yang mulai bergerak menjauh. Keluarga gue ngobrol biasa aja, seolah-olah gak ada yang terjadi,
sementara...itu
Di tengah perjalanan, gue akhirnya ngumpulin keberanian buat bicara lagi. "Ma, Pa... kalian nggak ngerasa apa-apa, ya?" Suara gue pelan, berusaha tenang, tapi ada nada panik yang nggak bisa gue sembunyikan.
Bokap menoleh sebentar, lalu tertawa kecil sambil terus nyetir. "Kamu ini kenapa, Wir? Sejak kapan makan bakso bikin kamu paranoid gini?"
Gue nggak tahu gimana cara ngejelasinnya lagi. Setiap kali gue coba bicara, mereka nggak pernah dengerin atau malah nganggep gue bercanda. Tapi gue nggak bisa, perasaan ini terlalu nyata buat diabaikan. Bayangan pocong-pocong yang berdiri di depan warung bakso tadi masih jelas di kepala gue, begitu juga senyum menyeramkan tukang bakso yang seolah memperingatkan gue akan sesuatu.
Gue cuma bisa duduk diam, menguatkan diri buat nggak melihat ke belakang lagi. Entah kenapa, perasaan takut itu nggak hilang, malah makin menekan. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengikuti kami sejak dari warung bakso itu.