Hari itu adalah hari di mana aku tak memiliki aktivitas apa pun. Aku terlelap begitu dalam hingga seorang temanku bertanya, "Sedang apa? Kenapa hanya diam? Pergilah jalan-jalan!" Aku hanya membalas dengan malas. Melihatku yang seperti mayat hidup, dia pun menawarkan sebuah ide, "Cobalah pakai aplikasi Bum. Siapa tahu kau bisa menemukan teman baru."
Awalnya, aku ragu. Namun, karena tak ada yang lebih baik untuk kulakukan, aku pun mencobanya. Aku mulai menjelajahi aplikasi itu, hingga suatu saat sebuah profil menarik perhatianku. Namanya Doflor, seorang anak seni. Kami mulai mengobrol seperti biasa, namun aku tak terlalu tertarik, hanya sekadar ingin berteman. Beberapa hari berlalu, dan aku tak lagi membalas pesannya di Bum. Namun, ketika aku membukanya kembali, ada pesan darinya yang bertanya, "Di mana biasanya kau aktif?"
Aku pun menjawab, "Instagram."
Akhirnya, dia meminta untuk saling mengikuti, dan obrolan kami berpindah ke sana. Awalnya, aku masih acuh tak acuh, hingga suatu malam aku iseng mengajaknya untuk melakukan panggilan suara. Tak kusangka, dia menyetujuinya. Malam itu, kami berbincang tanpa henti, seolah dunia hanya milik kami berdua.
Keesokan paginya, aku harus mengikuti bimbingan, sementara dia sibuk bekerja. Hari-hari berlalu, percakapan kami semakin hangat dan penuh makna. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Namun, suatu hari, ia menghilang tanpa kabar. Hatiku diliputi tanda tanya, meski tak ingin terlalu berharap. Hingga siang hari, ponselku bergetarāsebuah panggilan darinya. Suaranya terdengar lemah, ia sakit.
Sebagai bentuk permintaan maaf, ia menawarkan untuk mengirimiku kue. Aku terkejut dan menolak, namun ia bersikeras. "Jika kau tak ingin menerimanya, tak apa," katanya dengan nada lirih. Kata-kata itu mengusik hatiku, hingga akhirnya aku menerimanya. Dua jam kemudian, sebuah paket kue dari The Harvest tiba di tanganku. Aku tersenyum bahagia. Hari itu, aku merasa begitu lelah dan terbebani oleh kuliah, namun perhatian kecil darinya berhasil menghangatkan hatiku.
Sejak saat itu, komunikasi kami semakin erat. Dia bahkan menawarkan untuk datang ke Bandung pada tanggal 15 Juni. Hari itu adalah pertemuan pertama kami, pertemuan yang mengubah segalanya. Aku melihatnya dari sudut yang berbeda.
Aku masih ingat hari itu, hari ketika aku menemukanmu di tengah pencarianku akan jati diri. Aku bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang berusaha memahami makna hidup dan tujuan yang sebenarnya. Namun, di antara kebingungan itu, kau hadirāseperti cahaya di tengah kegelapan, seperti embun pagi yang menyejukkan tanah gersang.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa kehadiranmu bukan sekadar kebetulan. Kau datang di saat yang tepat, di saat aku merasa sendiri dan lelah dengan kehidupan. Dari obrolan ringan yang tak berarti, kini kau menjelma menjadi seseorang yang selalu ada, memberikan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini kucari.
Aku tak tahu ke mana kisah ini akan bermuara, namun satu hal yang pasti, aku bersyukur telah mengenalmu. Terima kasih telah hadir. Kau adalah senja yang menenangkan, angin sepoi yang membelai luka, dan cahaya yang menuntunku pulang.
>>> lanjut