Chereads / You Deserve Better Than Me / Chapter 2 - BAB 2 MEYAKINI RASA

Chapter 2 - BAB 2 MEYAKINI RASA

3 Juni, hari di mana kau mengirimkan kue dan aku menerimanya dengan penuh sukacita. Aku bahkan mempostingnya di Instagram, membanggakanmu di close friends. Tak lama, kau mengirim pesan Gojek, bertanya kepada bapaknya, "Sudah diterima sama Amara?"

Jawaban bapak itu membuatku tersipu, "Sudah, Kak. Itu lagi ketawa-ketawa kegirangan, hahaha." Kau membalas, "Makasih, Pak."

Aku malu sekali, karena sebenarnya bukan aku yang mengambilnya, melainkan temanku. Namun, bapak Gojek itu mengira aku sendiri yang menerima, huhuhu.

Aku berterima kasih karena kau berhasil menghadirkan kebahagiaan di hariku. Aku pun mengunggah fotoku dengan sebuah caption, bertanya apakah ada yang ingin merekomendasikan buku untukku. Tak kusangka, banyak komentar masuk, membuatku tertawa membacanya. Namun, aku menahan diri untuk tidak membalas pesanmu terlalu cepat—tak ingin terburu-buru menunjukkan perasaan yang mulai tumbuh. Malamnya, aku iseng mengajakmu call, dan kita berbincang panjang tentang hari-hari yang kita lalui. Aku sempat bertanya, "Kamu sudah mendingan?" dan kau menjawab, "Sudah sehat aku." Dalam hatiku, aku ingin lebih memperhatikanmu, tetapi segalanya masih terasa terlalu awal.

Keesokan harinya, aku pergi ke spa dan akhirnya memberanikan diri mengirimkan foto selfie pertamaku kepadamu. Responsmu begitu hangat, dan aku merasa nyaman. Malamnya, kita kembali berbincang, bercanda seperti biasa. Aku ingat saat kau menyinggung betapa panjangnya namaku. Aku tak menyangka kau sampai mencari tahu lebih dalam tentangku. "Iya, aku nggak gaptek, Amara. Aku cari di PDKTI," ujarmu. Saat itu aku sedikit merasa canggung, seolah privasiku tersingkap perlahan.

Setelah tiga hari berbicara dengan rutin, aku jatuh sakit dan memilih tidur sepanjang hari, hingga lupa bahwa aku sudah berjanji dengan teman-teman kelasku. Namun, aku tetap pergi lari meskipun tubuhku masih lemah. Tiba-tiba, pesanmu datang, "Kamu tiba-tiba lari padahal lagi nggak sehat." Aku tersenyum kecil sebelum menjawab, "Aku sudah terlanjur janji dan nggak enakan." Sepulangnya, aku langsung terlelap tanpa sempat membalas pesanmu. Esok paginya, aku baru membalas, "Aku tidur seharian." Kau hanya membalas dengan lembut di telepon, "Iya, karena kamu pasti capek."

Malamnya, aku pergi ke gereja bersama cici, lalu melanjutkan perjalanan ke Braga. Aku begitu bahagia hingga menceritakan tentangmu kepadanya. "Dia anak yang baik dan soft spoken, cici. Dia bahkan mengirimkan aku kue, padahal belum pernah bertemu langsung." Cici tersenyum, "Ih, Amara, lucu banget. Dia kerja di mana?" Aku menjelaskan bahwa kau seorang anak seni yang menangani desain iklan produk. "Ih, Amara, dia baik banget. Nanti kalau ketemu lagi, kamu harus cerita lebih lanjut, ya." Kami tertawa bersama, membeli es krim, dan terus berbincang. Aku tahu, sebentar lagi cici akan pergi ke Jepang, dan momen-momen kecil seperti ini akan semakin langka.

Saat melihat pohon di Braga, aku menemukan sebuah kutipan yang menarik: "Semoga kita bisa bertemu lagi di versi terbaik kita." Aku menunjukkannya kepada cici, dan dia tertawa. Tepat di sampingnya, kutipan lain terpampang, "Semoga jadian sama HTS-ku ya Allah." Kami tertawa lebih keras, karena kami sama-sama pernah terjebak dalam hubungan tanpa kepastian.

Malam itu, aku mengirimkan foto di Braga kepadamu, dan tanggapanmu membuatku tersipu. "Cantik," katamu singkat. Dua hari kemudian, aku memiliki kegiatan di Pangalengan, dan baru tahu bahwa orang tuamu tinggal di sana. "Ortu aku tinggal di situ," katamu. Aku kaget, "Oalah, baru tahu aku. Enak banget suasananya." "Iya, enak banget, nanti kita kesana sama sama" balasmu. Malamnya, aku bertemu sahabat aku dan pulang ke rumah, lalu baru mengabarimu. Aku bercerita bagaimana aku sempat ketiduran saat harus turun ke toilet. "Gila kan? Aku sampai minta berhenti di tengah jalan buat ke WC," ceritaku, dan kau tertawa. "Kamu clingy banget ternyata," godamu. Aku menjawab, "Nggak, cuma capek. Terlalu aktif mungkin." Kita kembali mengobrol, lalu aku tertidur dan keesokan paginya jatuh sakit.

Kau begitu perhatian, terus menanyakan keadaanku melalui telepon, bahkan menawarkan untuk membelikan obat. "Kamu minum obat, ya? Aku beliin biar daya tahan tubuh kamu kuat, Amara." Aku menolak dengan halus, "Aku baik-baik saja. Kamu nggak usah mikirin aku." Tapi kau tetap bersikeras, "Nggak, Amara, kamu lagi nggak sehat." Tak lama kemudian, banyak paket datang, dan aku terkejut. Kau mengirimkan tiga coklat sekaligus. "Makasih ya, tapi aku nggak enakan," ujarku. Kau hanya membalas, "Nggak apa-apa, aku senang kok." Aku kembali memposting semuanya, karena bagiku, kau adalah seseorang yang patut dibanggakan.

Hari itu, 15 Juni, menjadi tanggal yang akan selalu kuingat. Hari di mana akhirnya kita bertemu setelah sekian lama hanya berbicara melalui layar ponsel. Rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata.

Kita berjanji bertemu pukul dua belas siang. Aku sempat menyarankan agar kamu naik ojek online saja, khawatir jika membawa mobil kamu akan tersesat. Tapi ternyata kamu datang dengan mudah, seolah semesta memang mengarahkan langkahmu ke tempatku.

"Kamu di mana, Ona? Aku sudah di bawah," suaramu terdengar di telepon. Aku tersenyum kecil, ada debaran di dada yang sulit kujelaskan.

"Oh, sudah di bawah? Bentar ya," jawabku, berusaha terdengar tenang.

Saat aku melihatmu berdiri di luar pagar, aku merasa jantungku berlari lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan bahagia yang bercampur dengan kegugupan, mungkin karena ini pertama kalinya aku bertemu dengan seseorang yang begitu berarti. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu saat itu, tapi aku yakin kita berdua merasakan hal yang sama: sebuah getaran yang tak terduga.

"Masuk dulu, tunggu sebentar di sini," ujarku sambil menunjuk kursi yang ada di dekat pintu.

Kamu menyerahkan paper bag kepadaku. "Ini buat kamu, aku titip tas juga ya."

Aku mengambil tasmu tanpa berkata banyak. Entah kenapa, setiap kali berada di dekatmu, kata-kata selalu terasa berat untuk keluar. Aku hanya bisa menggenggam benda yang kamu berikan, sementara hatiku sibuk menerjemahkan semua perasaan yang berkecamuk.

Saat aku naik ke atas, teman-temanku menyadari kegugupanku.

"Dia sudah di bawah. Kenapa aku deg-degan, ya?" ucapku lirih.

Mereka hanya tertawa. "Santai saja! Kamu cantik banget hari ini, kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirin."

Aku, Amara yang biasanya begitu percaya diri dan tak peduli pada omongan orang, kini justru merasa begitu kecil di hadapanmu. Perlahan, aku menarik napas dalam dan memberanikan diri untuk turun.

"Ayo, kita jalan," ujarku saat berdiri di hadapanmu.

"Bentar, aku habisin rokok dulu," jawabmu santai.

Aku mengangguk, masih enggan menatap matamu terlalu lama. Ada sesuatu dalam caramu menatapku yang membuatku kehilangan keseimbangan.

"Mau ke mana? Biar aku pesan Grab," tanyaku.

"Ke Ambrogio, katanya pastry di sana enak."

Aku tersenyum kecil, senang karena kamu sudah menyiapkan semuanya. Bersama-sama, kita keluar gang, melangkah berdampingan untuk pertama kalinya. Aku memperhatikanmu diam-diam, masih tak percaya bahwa hari ini benar-benar terjadi.

Turun dari mobil, kita masuk ke Ambrogio. Kamu bertanya, "Kamu mau makan apa? Pastry atau sesuatu yang lain?"

"Aku cake saja."

"Nggak makan nasi?" tanyamu heran.

Aku menggeleng. Ekspresimu seketika berubah, seolah itu adalah hal yang mengejutkan. Aku tersenyum kecil melihat reaksimu.

Kita memilih tempat duduk di dalam karena hujan mulai turun. Kamu menikmati makananmu, sementara aku hanya menggigit sedikit kue yang kupesan.

"Kenapa nggak makan nasi aja?" tanyamu.

Aku tertawa kecil. "Aku nggak terlalu suka nasi."

Matamu berbinar, seakan baru menemukan satu fakta penting tentangku.

Setelah dari sana, kita melanjutkan perjalanan ke Narapark. Hujan masih turun rintik-rintik, dan tanpa banyak kata, kamu melindungi kepalaku dengan tasmu. Aku terdiam, hatiku menghangat. "Terima kasih," ucapku dalam hati.

Hari itu, kita berbagi tawa, cerita, dan sedikit rasa canggung yang manis. Kamu memastikan aku makan, meski aku tak terlalu berselera. Kamu memesan banyak makanan, tapi akhirnya tak habis juga. Aku tersenyum melihatmu yang begitu perhatian.

Malam semakin larut. "Ayo kita pulang, aku sudah pesan taksi," ujar dia.

Sesampainya di rumah, Aku yang sudah mengantuk pun tertidur sebentar di meja, dan entah sejak kapan, kamu sempat mengabadikan momen itu dalam foto. Saat aku bangun, kamu hanya tersenyum kecil. Aku tak bertanya, tapi aku tahu itu adalah caramu menyimpan kenangan.

aku mengantarmu ke depan gerbang. Ada kehangatan yang masih tertinggal dalam hatiku.

"Terima kasih untuk hari ini," katamu.

"Iya, kamu juga. Selamat malam."

Aku masuk ke dalam dan langsung terlelap. Pagi harinya, aku terbangun dengan perasaan yang masih sama: bahagia. Namun, aku menunggu kamu menghubungiku lebih dulu. Entah kenapa, aku ingin kamu yang memulai hari ini. Namun, dia hanya terlelap, tak kunjung menjawab pesanku. Aku tertawa kecil, sudah kuduga, dia pasti terlalu lelah.

"Kamu sudah bangun?" akhirnya pesan itu datang.

Aku tersenyum. "Sudah. Kamu?"

"Sore ini kita gereja sama-sama ya, aku sudah bilang ke Mama," tulis dia di pesan.

Tak lama, aku membalas, "Oh, nggak jadi pergi sama Papa dan Mama, ya?"

"Iya, bangunnya terlambat," jawab dia sambil terkekeh.

"Oke, gereja jam enam, ya?" balasku.

Dia mengiyakan, lalu aku memilih tidur lagi. dia hanya tersenyum, sudah hapal kebiasaan aku. Sore harinya, dia mengabariku bahwa dia sedang dalam perjalanan dari Pangalengan. Jaraknya cukup jauh, butuh dua jam untuk sampai ke sini, tetapi dia tetap ingin datang. Aku terkejut sekaligus terharu.

"Udah sampai mana?" tanyaku.

Ternyata dia datang saat waktu sudah mepet. Aku sedikit kesal karena aku selalu datang tepat waktu ke gereja, tak pernah terlambat. Namun, saat dia meminta maaf dengan tulus, aku merasa bersalah karena sempat kesal padanya.

"Maaf ya, aku bikin kamu terlambat. Aku ikut kamu aja mau ke mana, kalau mau aku pulang juga nggak papa," katanya.

"Nggak dong, Do. Nggak papa," jawabku, menepis rasa kesal yang sebelumnya sempat muncul.

Kami pun masuk ke dalam gereja dan duduk di barisan depan. Aku bisa merasakan orang-orang menoleh karena kami datang terlambat. Aku sedikit malu, dan entah kenapa, sepanjang ibadah aku merasa mataku begitu berat. Tiba-tiba, ibadah selesai. Aku baru sadar, aku ketiduran. Aku menoleh ke arahnya, dan dia menatapku dengan senyum geli.

"Kamu tidur, kan, tadi?" godanya.

Aku buru-buru menggeleng. "Nggak, aku cuma nutup mata, tapi masih dengar kok."

"Oh ya? Coba sebutin poin khotbahnya tadi," tantangnya.

Aku panik sejenak, lalu menyebutkan empat poin yang masih kuingat. Dia tertawa kecil, seakan menikmati kebingunganku. Aku hanya bisa tertunduk malu.

"Ayo kita makan dulu. Ke PVJ, yuk?" ajaknya.

Aku mengangguk. Kami pun pergi ke PVJ dan mencari tempat makan. Saat sedang memilih menu, dia tiba-tiba bercerita, "Adik aku yang nomor dua kerja di sini. Dia mandiri banget, kerja sambil kuliah."

Aku tersenyum kagum. "Hebat dong adik kamu."

Kami pun mulai makan. Aku yang biasanya tidak suka makan banyak malah dipaksa olehnya. "Makan, Amara, ini aku suapin," katanya sambil menyodorkan sushi ke arahku.

Aku kaget. "Eh, nggak usah, aku sendiri aja."

"Nggak papa, sini," katanya tetap menyuapiku. Aku tak bisa menolak dan akhirnya hanya menurut sambil tertawa kecil.

Kami menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal. Seperti biasa, kami berfoto bersama. Dia memposting foto kami, sementara aku hanya berani memposting di Close Friends. Aku tahu dia sedikit kesal, tapi aku belum siap jika keluargaku tahu soal ini.

"Ayo kita pulang," kataku setelah kami selesai makan.

Dia pun mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, dia langsung pergi menemui temannya di sebuah kafe. Ada cerita lucu yang dia bagikan—tentang pengalamannya ingin pergi ke toilet di mall, tapi ternyata toilet itu sangat kotor, membuatnya geli dan menahan keinginan untuk pergi sampai akhirnya dia menemukan tempat yang lebih bersih. Aku tertawa membayangkan ekspresinya saat itu. Malam itu, aku mengirim pesan padanya.

"Makasih ya buat hari ini."

"Iya, kamu juga makasih ya. Tidur sekarang, ya?" balasnya.

Aku tersenyum sambil mengetik, "Iyaaa."

Keesokan paginya, aku sudah bangun, tetapi aku menunggu dia menghubungiku lebih dulu. Aku tidak tahu kenapa, aku hanya ingin dia yang memulai lebih dulu. Tetapi ternyata aku yang memulai

"Kamu udah bangun? Wosh, jam berapa ini?" tulis aku akhirnya.

"Udah, ini udah dalam perjalanan. Semuanya nganterin aku," balas dia.

"Kamu mau aku anterin juga?" tanyaku.

"Nggak, Amara. Kejauhan. Kasihan kamu baliknya sendiri."

"Nggak apa-apa, aku nggak masalah kok," kataku, mencoba meyakinkan.

"Nggak usah, ini Mama, Papa, dan adik kecilku juga ikut mengantar," katanya, membuatku merasa lebih tenang.

"Oalah, iya. Hati-hati di jalan, ya. Kalau sampai, kabarin."

"Iya, ini aku udah OTW Jakarta. Nanti ketemu lagi, ya."

"Iya, Dolfor," jawabku sambil menatap layar ponsel, merasa ada sesuatu yang hilang.

Setelah dia sampai, dia mengirimi aku foto sepanjang perjalanan. Kami masih terus mengobrol, menghabiskan malam dengan telepon panjang. Aku merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa nyaman. Entah dari caranya berbicara, perhatiannya, atau hanya sekadar keberadaannya yang selalu membuat hariku lebih berwarna. Aku merasa dia begitu mirip dengan kakakku, sosok yang mampu menggambarkan keluarga dalam hidupku, membuat aku merasa sangat nyaman.

Aku tak pernah menduga, bahwa perasaan yang tumbuh dalam hatiku ini bisa begitu kuat. Setiap detik yang kami habiskan bersama bukan sekadar waktu berlalu, melainkan serangkaian pelajaran tentang kehidupan dan cinta. Dia mengajarkanku untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih sederhana, namun kaya akan makna. Aku mulai menyadari bahwa hadirmu dalam hidupku bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari perjalanan yang Tuhan tuliskan untukku.

Kini, aku semakin yakin bahwa aku ingin kamu ada dalam masa depanku. Aku ingin berbagi kebahagiaan, impian, dan segala kemungkinan yang datang. Hatiku mantap, dan aku ingin kamu tahu betapa aku menghargai setiap detik yang kita lalui bersama. Namun, aku juga menyadari bahwa keyakinanku saja tak cukup jika hatimu belum sepenuhnya sejalan dengan apa yang aku rasakan.