Lebih dari lima ratus tahun setelah terusir nya manusia oleh bangsa elf dari Negeri Arathia dan kedatangan mereka ke Santara, meletus lah Gunung Mokot yang ledakannya meninggalkan sebuah lubang besar di selatan daratan Santara.
Sihir kegelapan lahir dari dalam bumi, diikuti makhluk berkuku anak panah dan bertaring racun, kulit besi dengan tulang yang terbuat dari tembaga. Kematian tidak membuat mereka takut karena merekalah kematian. Auman mereka didengar dari pembantaian dan kerusakan yang disebabkan oleh beribu-ribu orc yang disebut dengan Tretos.
Para Tretos yang dipimpin oleh Malakar, penguasa kegelapan dan kematian, bergerak secepat Simar menutupi seluruh bagian selatan Santara dengan bayang-bayang mereka, merebut setiap kehidupan yang ada dan membawa semua kepada akhir yang menggertakkan gigi.
Berita datang dari selatan kepada Para Tuan Wangsa yang terus berseteru untuk wilayah dan kekuasaan di Timur, Barat dan Utara Santara. Seorang pembawa pesan dari selatan datang dengan sebuah gulungan surat yang menceritakan kengerian perang di selatan dengan beberapa halaman terakhir yang bertuliskan:
***
"Mereka menyerang dalam bayang-bayang yang tak terlihat, dengan kekuatan yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Selatan telah jatuh, tenggelam dalam kegelapan, berlumuran darah dan air mata. Kota-kota dan desa-desa kami menjadi santapan api kehancuran mereka, menara-menara pertahanan dan kota benteng kami tak mampu menyelamatkan jiwa kami dari kutukan yang menimpa."
"Raja kami, bapa kami, pelindung kami, melangkah maju dengan sisa pasukannya, gagah berani menghadang musuh. Maka nama raja kami menjadi nama terakhir di antara kisah para raja selatan yang agung ketika para pejuang terakhir Selatan jatuh ke dunia orang mati oleh pedang kegelapan. Hanya kami yang tersisa, bertahan dalam ketakutan di benteng terakhir kami, menunggu saat untuk menyusul leluhur dan raja-raja kami di dunia orang mati."
"Sudah terlambat untuk meminta bantuan bagi kami ketika penguasa kami merasa malu untuk meminta pertolongan dari luar selatan. Selama ratusan tahun kami berkuasa dalam kemewahan dan kebesaran di Selatan yang makmur, meninggikan diri kami dari yang lain dalam kemegahan dan memandang rendah mereka yang hidup di luar selatan, namun sekejap mata kami direndahkan oleh pedang dan tombak yang memusnahkan karena kesombongan dan tinggi hati raja-raja kami.
"Kepada para penguasa di Timur, Barat, dan Utara Santara, bercermin lah dari kehancuran kami. Tiada seorang raja atau tuan yang dapat menyelamatkan diri dari kutukan ini seorang diri. Angkatlah pedang dan maju bersama, sebab persatuan Santara-lah yang dapat menyelamatkannya dari malapetaka ini."
"Inilah riwayat dan keturunan terakhir selatan Santara, demi keturunanmu bersatulah dan hidupi riwayatmu di daratan ini."
"Ku tulis dengan harapan yang mulai memudar, empat puluh tiga pasukan dan dua ratus dua puluh tujuh pengungsi yang masih hidup sampai surat ini ditulis."
"Tanggal yang ke-5, di bulan yang ke-7, tahun 581"
"Gloldondir - Komandan Benteng Nervolis -"
***
Maka di tengah keributan dan ketakutan yang melanda, sebuah pertemuan darurat diadakan, di mana para pemimpin dari setiap wilayah berkumpul untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Maka dalam keadaan yang mendesak, para Tuan Wangsa di Timur, Barat dan Utara Santara memutuskan untuk menyatukan kekuatan mereka menjadi tiga kerajaan yang berbeda di bawah tiga penguasa.
Kerajaan Estravar yang didirikan di Timur oleh para Tuan dan Wangsa, dengan Athran Thazeiros, Tuan di Red-Eriel dari Wangsa Thazeiros, sebagai Raja pertama mereka yang agung.
Sebagai monarki pertama Kerajaan Oceareest di Barat dengan Raja Hurern Farynor, Tuan di Blustarion dari Wangsa Farynore menyatukan semua Tuan dan Wangsa di bawah satu panji.
Varmund Ravamyar, Tuan di Codinel dari Wangsa Ravamyar bertahta sebagai Raja pertama saat Para Tuan dan Wangsa di Utara yang bersalju menyatukan panji mereka di bawah kuasanya di bawah Kerajaan Snotrezia.
Dari setiap sudut Santara, tiga kerajaan dengan tiga raja mereka maju di bawah tiga panji menuju lembah gunung Blackrock untuk menghadang iblis-iblis neraka.
Pada hari itu, tanah bergetar ketika lebih dari lima puluh ribu pasukan pemberani berbaris maju serempak ke selatan memasuki lembah di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi di sebelah kanan dan kiri. Meskipun penuh dengan perbedaan satu dengan yang lain, mereka memiliki tujuan yang sama, menghancurkan musuh dan keluar hidup-hidup.
Aliansi Tiga Kerajaan berbaris melalui lembah, menunggu dengan napas tertahan, karena itu adalah hari-hari tergelap bahkan bagi prajurit yang paling gagah berani sekalipun. Pasukan Estravar berbaris di sebelah kanan, pasukan Ocearest berada di sisi kiri, dan di tengah berdiri pasukan Snotrezia.
Juga makhluk perang para raja dibawa menuju medan pertempuran. Keluarga Wangsa Thazeiros memimpin lusinan Simar yang adalah singa dengan tubuh raksasa, termasuk Raja Athran Thazeiros, yang menunggangi Simar terbesarnya. Selain itu, saudari Raja, Linura Thazeiros, menunggangi Simar yang kecil namun yang tercepat di daratan. Raja Hurern Farynore menunggangi Elrak yaitu Elang yang sangat besar dengan kemampuannya untuk terbang ke ketinggian tertinggi, begitu pula lusinan Elrak milik keluarga Wangsa Farynore lainnya. Raja Varmund Ravamyar menunggangi Gamorth miliknya dari Coldenice, badak berbulu dengan tanduk baja dan kaki sekuat pohon cedar, serta selusin Gamorth lainnya yang dikuasai oleh keluarga Wangsa Ravamyar.
Setiap makhluk perang, menjadi simbol harapan dan kekuatan bagi para pasukan. Mereka adalah pilar keberanian yang akan menahan laju kegelapan. Aliansi yang dibangun di atas persatuan dan kepercayaan ini, meskipun datang dari latar belakang yang berbeda, kini berdiri bersama dalam satu tujuan mulia.
Hingga dalam keheningan yang tegang, suara angin yang menerpa lembah terasa seperti bisikan dari masa lalu, mengingatkan mereka akan pertempuran yang akan datang. Para prajurit, mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah sinar matahari yang samar, memegang senjata mereka dengan kuat, siap menghadapi ancaman yang datang.
***
Hari yang pertama, di bulan yang ke-8, pada tahun 581
Saat matahari mulai tenggelam di balik puncak gunung yang tinggi, suara gemuruh menggema di kejauhan. Pasukan aliansi menarik napas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk menghadapi musuh yang berasal dari mimpi terburuk mereka sampai ketika malam tiba, bintang-bintang mulai bermunculan di langit, seolah-olah menyaksikan dengan cemas dari atas, menantikan hasil yang akan menentukan nasib negeri bebas Santara.
Lalu terdengarlah, dentingan besi dan gemuruh nyaring dari selatan lembah menenggelamkan semua suara yang ada. Keributan itu terlalu keras untuk melakukan percakapan, tetapi para prajurit kesatria aliansi tiga kerajaan sungguh percaya pada kemenangan karena kemenangan adalah satu-satunya pilihan. Menang dan hidup atau kalah dan musnah selamanya.
Dengan semangat membara, mereka berlari menuju pertempuran, menerjang ke tengah medan dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Para Simar, Elrak, dan Gamorth mengaum dan meraung, menjadi garda terdepan yang melindungi para prajurit dari serangan musuh yang datang. Maka terjadilah perang itu, pasukan aliansi maju menghadang para Tretos yang mulai membinasakan garis terdepan pasukan aliansi.
Di tengah hiruk pikuk, Raja Athran Thazeiros mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, memimpin pasukannya yang berada di sisi kanan aliansi dengan seruan yang menggema. "Lel Esterava, lel Santaria, elel corunos malar" teriaknya dalam bahasa kuno Arathia yang berarti; "Untuk Estravar, untuk Santara, untuk kejayaan manusia!", dan teriakan itu disambut dengan sorakan gemuruh dari para pasukan Estravar yang mengikutinya, menghadang para tretos di sisi kanan.
Sementara itu, di tengah medan, Raja Varmund Ravamyar dan pasukan Snotrezia, dengan kekuatan Gamorth mereka, mendorong maju dengan kekuatan yang tak terbendung. Gamorth, dengan tubuh besar dan kekuatan seperti baja, menerjang musuh dengan tanduk mereka, membuka jalan bagi pasukan Snotrezia untuk menembus pertahanan Tretos dan mulai menusuk garis pertahanan musuh mereka.
Raja Hurern Farynore terbang dengan elraknya, meninggalkan pasukannya yang dapat bertahan menghadapi para tretos. Dari ketinggian dia menerjang garis belakang pasukan tretos dengan cakar tajam Aras, mengacaubalaukan sisi kiri para tretos. Suara pekikan Elrak yang membahana di udara menambah semangat juang para prajurit Ocearest di bawah, membuat mereka berjuang lebih keras dan maju perlahan.
Di jantung gempita pertempuran yang berkecamuk di lembah Pegunungan Blackrock, Raja Athran Thazeiros yang terus maju dengan gagah berani tersesat dalam kepungan para tretos. Di depannya, terlihat sosok dengan mata berkobaran api, Malakar yang menakutkan dengan aura kegelapan yang menyelubungi sekelilingnya.
Athran melompat dan membiarkan simarnya membinasakan para tretos di belakang dan dengan berani ia maju menantang Malakar. Maka pertarungan itu pun terjadi, dengan keduanya bertukar serangan yang memancarkan cahaya dan kegelapan. Setiap tebasan pedang menggetarkan tanah di bawah mereka, menciptakan resonansi yang menggema di lembah.
Kemudian dengan amarah yang dahsyat, Malakar dengan sihirnya menghempaskan Athran yang membuatnya hampir tak berdaya, Malakar kemudian memegang leher raja Estravar itu dan mengangkatnya ke udara hendak menghabisi hidupnya, lalu tak terduga raja Varmund datang dan melempar tombaknya dari Gamorth yang ditungganginya, menghunus punggung Malakar yang kemudian membuatnya berteriak dan menjatuhkan Athran ke tanah, lalu dari udara raja Hurern melompat dari elraknya dan menghantam kepala Malakar dengan pedangnya sehingga hantaman itu melepaskan ketopong berduri dari kepalanya dan membuatnya terjatuh dengan lututnya ke tanah, maka dengan sigap raja Athran bangun mengambil pedangnya dan dengan sekali tebasan ia memisahkan kepala Malakar dari tubuhnya.
Malakar yang hebat itu, tergeletak ke tanah dan tubuhnya yang gelap kemudian bercahaya dan terbakar menjadi abu tak tersisa. Para tretos yang mengetahui bahwa penguasa mereka telang binasa dalam api mulai berlari dalam ketakutan meninggalkan medan perang kembali ke Selatan. Pasukan aliansi yang sudah terlalu lelah tidak berdaya untuk mengejar mereka membiarkan para tretos itu pergi dalam bayang-bayang kehancuran selatan.
Di tengah kelegaan dan letih, para prajurit Aliansi yang masih bernafas melihat ke sekeliling medan perang yang kini mulai tenang. Langit pun menjadi saksi bisu, menyimpan kisah bahwa umat manusia telah meraih kemenangan dalam pertempuran ini.
Maka pada hari yang ke-2, di bulan yang ke-8, pada tahun 581, diberitakan lah kepada seluruh Santara bahwa di lembah Blackrock umat manusia memilih untuk tetap hidup. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada huru-hara sukacita atas kemenangan yang berpihak sebab mereka mengingat kepada beribu-ribu prajurit di lembah itu, kepada umat manusia di kerajaan selatan yang telah sirna dari catatan kehidupan.
***
Setelah umat manusia meraih kemenangan atas kegelapan, bayang-bayang ketakutan masih menghantui, terutama terhadap para tretos yang masih bersembunyi di Selatan yang runtuh. Sebuah gagasan disetujui oleh tiga raja, dinding besar akan dibangun di lembah Blackrock, sebagai benteng yang akan menahan kegelapan dan mengisolasi Selatan yang kelam selamanya.
Selama bertahun-tahun yang akan datang, Dinding Agung Santara menjadi saksi bagi generasi baru yang tumbuh dengan cerita tentang keberanian dan pengorbanan leluhur mereka. Setiap batu yang disusun mengandung sebuah kisah, mengingatkan semua orang akan kekuatan persatuan dan keteguhan hati.
Dinding Agung Santara, meskipun berdiri sebagai penghalang, juga menjadi jembatan simbolis yang menghubungkan hati dan semangat seluruh rakyat Santara. Sebuah pengingat bahwa meskipun kegelapan pernah mengancam, cahaya dan persatuan selalu dapat mengatasi segala rintangan.
Dan demikianlah, negeri Santara meneruskan perjalanan mereka, menjaga warisan yang telah dibangun dengan darah, keringat, dan air mata, siap menghadapi masa depan dengan keyakinan dan keberanian yang baru.