Red-Eriel
Tanggal 5, bulan 7, tahun 1029
"Tidak bisakah menungguku sampai pagi, Nutrin?" Loran Thazeiros membuka pintu kamarnya dan mendapati kepala pengawalnya itu.
"Tuanku, maaf telah membangunkanmu, kaa..ka..kau harus melihat ini."
"Katakan, Nutrin, ada apa?"
"Tuanku, pasukan patroli menemukan seorang asing di tepi pantai Filuir, perawakannya tidak seperti manusia."
"Apa yang kau maksud dengan tidak seperti manusia? Apakah dia berbahaya?" Dengan tergesa-gesa, mereka melangkah menuju aula pertemuan.
"Telinga runcing dan wajah yang menawan, dia memiliki aura magis yang sulit dijelaskan. Bahkan, kulitnya berkilau seperti cahaya bulan, dan bahasanya, kami tidak mengerti apa yang dikatakannya, sepertinya itu bahasa Arathia"
"Buka pintunya!" Perintah Loran, dan pengawal yang berjaga segera membuka pintu aula. Loran ditemani Nutrin dan beberapa pengawal raja melangkah masuk, mendapati sosok itu sedang memandang keluar di balkon kastil itu, mengenakan gaun yang seolah menyatu dengan cahaya bulan yang begitu magis. Rambut panjangnya mengalir lembut seperti air terjun, dan permata di kepalanya berkilau bagaikan bintang-bintang yang mengisi malam.
Mereka terkesima dalam takjub dan takut, saat sosok itu berbalik dan memandang kepada mereka, para pengawal raja mengeluarkan pedang untuk melindungi raja mereka lalu sosok itu pun mulai berbicara; "Yiterakhac man'nan ev ulha ner yahum!" ("Perintahkan orang-orangmu untuk menyarungkan pedang mereka!")
Loran yang mengerti dan fasih berbahasa Arathia pun berkata; "Nen elfhalar, an ar nen ulaim ikhar?" ("Kau seorang Elf, apa yang kau lakukan disini?") sembari mengepalkan tangannya, memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyarungkan pedang mereka.
Sosok itu tersenyum mendengar Loran berbahasa Atharia dan berkata "Nen malar, al nen elfhalar kunna" ("Kau manusia, tapi kau berbahasa elf")
"Yon elfhalar kunna, Aratharia kunna, yhan lul itarin yhan hosakh" ("Bukan bahasa elf, bahasa Atharia, kami masih mengingat asal kami") Ungkap Loran dengan nada tegas.
Ia pun mengangguk pelan, menyadari bahwa di hadapannya berdiri seorang manusia yang memahami lebih dari sekadar kata-kata, tetapi juga sejarah kuno yang terukir dalam sejarah umat manusia. "Ita rakhum, terakh ain dun Aratharia kunna lal a malar irra'dan hur ekhin, Atheran Thazirous leranan" ("Itu baik, terakhir kali aku berbahasa Atharia dengan manusia 500 tahun yang lalu, namanya Athran Thazeiros)"
"Athran? Kau pernah berbicara dengannya?" Sahut Loran dengan terkejut.
"Benar adanya, Loran putra Elion, sebelum kau menghirup udara dunia ini, aku telah berjumpa dengan Athran, leluhurmu, sang raja pertama Estravar." Ia melanjutkan, "Namaku Mírieniviel, dan aku diutus sekali lagi dari Arathia ke dunia manusia untuk bertemu denganmu."
Loran melangkah maju, mendekatinya dengan wajah yang mencerminkan ketegangan yang dingin. "Seandainya Oceareest dan Snotrezia mengetahui kehadiranmu di sini, mereka pasti akan bersatu dan mengangkat senjata melawanku. Dengan alasan apa aku harus menerima kedatanganmu dan mempertaruhkan kerajaanku, Mírieniviel, Elf dari Arathia?"
Mírieniviel menatap Loran dengan tatapan penuh kebijaksanaan dan kelembutan. "Loran, putra Elion, aku datang dengan damai. Kehadiranku di sini bukan untuk menimbulkan peperangan, tetapi untuk mencegahnya"
"Mencegahnya? Hentikan nyanyianmu itu wahai elf." Loran membantah. "Harus kuakui kau cukup berani untuk datang ke sini seorang diri dan mengaku bahwa kau pernah berjumpa dengan leluhurku. Yang benar saja, aku tidak sebodoh itu untuk percaya padamu, kau kira kecantikanmu dapat memikat pikiranku? Apakah kau lupa bahwa manusia menaruh dendam pada kaummu? Di mana para elf saat Malakar hendak membinasakan manusia? Sekarang pergilah dari hadapanku"
Loran berbalik, hendak meninggalkannya dari ruangan itu, ketika Mírieniviel berseru padanya dalam bahasa Atharia; "Ik'nurim dun'yarkha dun'lakharin, yon luk'ha dun'unamir firh ik'lakharin erek'hun" ("Di timur kutegakkan takhtahku, dan biarlah keturunanku duduk di singgasana selamanya").
Berhenti dari langkahnya, Loran pun mematung, memalingkan wajahnya kepada Mírieniviel dan bertanya dengan keheranan; "Kalimat itu, bagaimana kau bisa mengetahuinya? Itu adalah rahasia keluarga kami, hanya diketahui oleh sedikit orang. Apa maksudmu dengan membawa kata-kata itu sekarang?"
Mírieniviel menatap Loran dengan lembut, seolah-olah mengingat masa lalu yang jauh. "Ini adalah kata-kata yang diteruskan oleh para penguasa di Red-Eriel kepada para penerusnya, kata-kata inilah yang diucapkan oleh leluhurmu, Athran Thazeiros kepadaku. Aku ada di sana saat dia mengucapkannya, sebagai saksi dari sumpahnya kepada bangsa Elf untuk membangun kembali hubungan dengan Arathia."
"Dunia kita terhubung lebih dari yang kau bayangkan, Loran putra Elion, keturunan Athran "
Perlahan, kecurigaan Loran mulai memudar, digantikan oleh rasa hormat dan sedikit rasa ingin tahu. "Apa yang kau inginkan dariku, Mírieniviel?"
"Kepercayaan. Engkau harus percaya akan kebenaran yang akan kukatakan kepadamu"
"Kebenaran apa?"
Mírieniviel menjawab dengan bisikan "Malakar, penguasa kegelapan dan kematian, dia masih hidup di antara bayang-bayang yang tidak kau sadari"
Loran menatapnya dengan terkejut, hatinya bergetar mendengar nama yang telah lama dianggap sebagai legenda semata. "Malakar? Bukankah dia telah dikalahkan berabad-abad yang lalu? Leluhurku Athran sendirilah yang membinasakannya di lembah Blackrock, bagaimana mungkin dia masih ada?"
"Aku akan memperlihatkanmu apa yang sebenarnya terjadi lima ratus tahun yang lalu," ujar Mírieniviel sambil meletakkan sebuah cermin yang dibawanya di atas meja.
"Apa ini?" tanya Loran, penuh rasa ingin tahu.
"Ini adalah masa lalu yang akan disingkapkan kepadamu. Kemarilah dan lihatlah ke dalamnya."
Dengan hati-hati, Loran mendekati cermin itu, sementara Nutrin dan para pengawal raja mengawasi dengan waspada dari belakang. "Tidak ada apapun di cermin ini, hanya ada wajahku," keluhnya.
"Perhatikan lebih lagi, wahai keturunan Athran," jawab Mírieniviel, sebelum melafalkan sebuah mantra sihir yang menggema dengan aura magis yang kuat; "Lurnak'har ardum nim, lurnak'har lurnak'har serknum." Seketika, cermin itu memancarkan cahaya menyilaukan yang memenuhi seisi ruangan, lalu mulai memperlihatkan apa yang seharusnya diperlihatkan dan Mírieniviel mulai menceritakan masa lalu yang sesungguhnya.
***
"Jauh di masa silam, setelah umat manusia meninggalkan Arathia dan menjejakkan kaki di Santara, kami, bangsa Elf, menjadikan Arathia sebagai rumah bagi kaum kami, dipenuhi dengan kejayaan dan kemakmuran. Dalam keabadian, Arathia dipimpin oleh mereka yang dikenal sebagai Ararnior. Mereka memimpin dalam harmoni tujuh Ararnior di Ordo Aratharion, dengan kekuatan dan kebijaksanaan yang melampaui makhluk manapun, karena merekalah para pelayan Arfa dan Afra."
"Namun, seiring berjalannya waktu, salah satu dari mereka, yaitu Malakar, yang merasa bahwa Arathia tidaklah cukup bagi dirinya, memalingkan perhatiannya kepada Santara dan ingin menaklukannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan oleh Ordo Aratharion yang berdiri teguh menentang pemikiran Malakar yang yang terperosok dalam ketamakan. Malakar, yang telah rusak dan telah melupakan jati dirinya sadar bahwa selama Ordo Aratharion masih ada ia takkan bisa menguasai dunia"
"Maka ia meninggalkan cahaya dan masuk dalam kegelapan. Dengan hatinya yang suram tak butuh waktu lama bagi Malakar untuk menguasai kekuatan dari kegelapan yang dalam. Ia pun datang menantang para Ararnior hendak mengakhiri Ordo Aratharion dan berhasil membinasakan dua Ararnior dengan kekuatan kegelapannya. Ke empat Ararnior yang tersisa dalam kekhawatiran menggabungkan kekuatan mereka kemudian datang untuk melawan kekuatan gelap Malakar dan dengan kekuatan yang teguh Malakar berhasil ditundukkan"
"Mereka kemudian mengusirnya dan mengurung Malakar di dalam kegelapan di bawah bumi. Sejak saat itu, namanya tak pernah lagi menggema, dan kedamaian pun berhasil dipulihkan di Atharia. Dalam ketakutan akan nasib yang menimpa Malakar, para Ararnior yang tersisa memutuskan untuk membubarkan Ordo Aratharion, menyerahkan kekuasaan Arathia kepada kami, agar kami dapat memimpin bangsa kami sendiri. Setelah itu, mereka berkelana, tak pernah terlihat, tak pernah terdengar lagi."
"Lalu terjadilah, kejatuhan Selatan Santara. Kabar itu sampai kepada kami tepat saat Aldar, salah satu Ararnior yang telah lama hilang, datang mencoba untuk memperingatkan kami akan kebangkitan Malakar, sebab ia dapat merasakan kembalinya kegelapan. Aldar, yang mengetahui bahwa Malakar bangkit di Santara, kemudian meminta kepada raja tertinggi kami untuk berlayar membawa pasukan demi membantu umat manusia dari kehancurannya. Namun, sejarah mencatat bahwa kami lah yang telah mengusir mereka dari Arathia, dan raja tertinggi kami tahu bahwa manusia menaruh dendam terhadap kami. Pergi ke Santara berarti membawa pedang manusia melawan kami, sehingga tiada pilihan bagi kami selain menunggu kabar dari daratan Santara yang malang."
"Aldar yang merasa bahwa ia bertanggung jawab untuk melenyapkan Malakar sekali lagi untuk selamanya tidak berdiam diri. Dengan restu dari raja tertinggi elf, ia mengumpulkan sekumpulan kecil kesatria Elf yang berani dan setia, untuk berlayar ke Santara. Aku, salah satu dari mereka"