Chapter 1 :
Prince Charming
******
"AKU mau putus denganmu," ucap Haruki, tatkala ia tak sengaja bertemu dengan Mei di sebuah taman hiburan yang baru dibuka di kota sekitar satu bulan yang lalu. Mei yang saat itu sedang jalan-jalan dengan teman sekantornya untuk melepas penat sejenak, justru mendapatkan kejutan bak disambar petir di siang bolong tatkala melihat Haruki di ujung sana, pemuda itu tengah menggandeng seorang perempuan dan tertawa bersama seraya memakan churros.
Mei pun lantas terdiam, seluruh tubuhnya kaku tatkala melihat kekasihnya jelas-jelas sedang berkencan dengan perempuan lain. Langkahnya terhenti di tempat dan hal itu membuat teman-temannya bertanya-tanya. Kemudian, tatkala mengikuti arah pandang Mei, mereka pun sontak terperanjat. Mulut mereka menganga. Mereka akhirnya mengerti dan langsung ikut geram pada Haruki. Mereka terus mendorong Mei untuk melabrak kedua manusia tidak tahu diri itu.
Akhirnya di sanalah Mei, sudah berada di depan kedua pasangan itu. Mei pun hanya bertanya singkat seperti: 'Apa yang kau lakukan di sini?' dan 'Siapa perempuan ini?', tetapi alih-alih panik, Haruki justru menatap Mei dengan jengah. Muak. Dia bahkan mendengkus dengan santainya. Lalu, yang ia ucapkan dari mulutnya hanyalah berupa: 'Aku mau putus denganmu.'
Mei berasa bak disambar petir lagi. Tubuhnya semakin mematung seolah sudah dipaku ke permukaan bumi. Dia menatap Haruki tak percaya; matanya melebar. Ini serius, dia diputuskan? Dia dibuang begitu saja?
Salahnya Mei di mana? Setahu Mei, gadis itu selalu memperlakukan Haruki dengan baik. Mei juga tidak pernah bermain-main di belakang pemuda itu.
"Kau selalu sibuk bekerja dari pagi sampai sore," ujar Haruki, tidak menunggu jawaban dari Mei. "Kau membosankan. Tidak menarik."
Jantung Mei serasa ditembak panah bertubi-tubi tatkala mendengar hinaan demi hinaan itu. Namun, dua detik kemudian, tiba-tiba Mei jadi kesal dengan hinaan-hinaan itu.
"Aku kan selalu menghubungimu! Aku selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu denganmu!" protes Mei. Orang-orang yang lewat mulai melirik-lirik ke arah mereka.
Haruki memutar bola matanya. "Sudahlah. Aku bosan. Aku sudah ada pacar baru yang lebih oke darimu." Haruki lalu menatap perempuan berambut pirang di sebelahnya itu pun mulai tersenyum satu sama lain, lalu saling merangkul tepat di depan mata Mei. Tatkala Haruki memandang ke arah Mei lagi, tatapannya terasa begitu dingin. "Enyah kau sana."
"Kau ini—kau seperti anak-anak, tahu?! Aku tak percaya kau seberengsek ini!" geram Mei.
"Ya ya ya ya," Haruki menatap Mei dengan tatapan bosannya, meledek apa pun yang Mei katakan padanya. Seolah dia sudah malas dan tak peduli lagi dengan apa yang Mei katakan. "Terserah. Sekarang enyah dari hadapanku. Aku sudah punya kekasih lagi."
Pada akhirnya, Mei pun hanya mendengkus kesal, tubuhnya gemetar menahan amarah, dan tangannya terkepal. Napasnya memburu. Kepalanya terasa panas. Dia juga malu diperlakukan seperti ini di tempat umum. Semua orang, termasuk teman-teman sekantornya, melihat kejadian ini secara live.
Karena menahan malu, mata Mei pun akhirnya berkaca-kaca. Dia pun langsung berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.
Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Mengingat ia dan Haruki berpacaran baru tiga bulan, sebetulnya rasa cinta yang terpupuk tidak sedalam itu. Memang, dia betul-betul sakit hati. Dia baru pertama kali pacaran dan nahasnya, dia malah diselingkuhi!
Setelah kejadian itu, besoknya Mei tidak bekerja. Mei menangisi nasibnya selama satu harian itu. Rasa malu, kecewa, sakit hati, dendam, semuanya bercampur menjadi satu. Namun, untungnya Mei bisa berhenti menangis mengingat bahwa dia tidak seharusnya menangisi pemuda malas yang mukanya macam ikan jelek itu. Apalagi pemuda itu telah berselingkuh. Mei jadi tambah benci dan ilfeel. Mungkin itulah faktor yang membuat Mei berhenti menangisi nasibnya.
Maka dari itu, hari ini—hari ketiga dari kejadian itu—Mei sudah lumayan membaik. Hanya saja, kalau dia sedang melamun atau sedang sendirian seperti ini, dia jadi mengingat kejadian itu dan berakhir merasa seperti ada sesuatu yang menekan dadanya hingga dia tanpa sadar berhenti bernapas sejenak. Namun, akhirnya ia berhasil menghela napas.
Sebenarnya, Mei tidak benar-benar sendirian saat ini. Dia baru pulang dari Kantor Pelayanan Publik—tempatnya bekerja—dan memutuskan untuk mampir ke café langganannya untuk membeli vanilla milkshake kesukaannya seperti biasa. Ada beberapa orang yang duduk di dalam café tersebut, tetapi di tiap meja ada yang ditempati oleh dua orang, ada juga yang ditempati oleh tiga orang. Hanya meja Mei sendirilah yang ditempati oleh satu orang, yaitu Mei.
Mei meminum vanilla milkshake-nya lagi seraya menatap ke luar jendela. Ia memilih tempat duduk di pinggir, tepat bersebelahan dengan jendela. Jendela itu ada di samping kiri Mei; Jendela itu menghadap ke arah luar café, tempat orang-orang berlalu-lalang. Café ini terletak tepat di depan jalan dan bersebelahan dengan bangunan-bangunan lainnya.
Ketika mendengar sebuah ketukan sepatu di depannya, Mei yang tengah mengaduk-aduk vanilla milkshake-nya itu refleks langsung melihat ke arah depan. Di sana, dia melihat ada seorang pria yang memakai jas hitam (yang sebenarnya hanya ia sampirkan di tubuhnya, tidak benar-benar dipakai) dan di dalam jas itu ia memakai sebuah sweater berwarna hitam juga yang cocok sekali di tubuhnya. Celana yang ia pakai juga berwarna hitam, tetapi tidak segelap sweater-nya. Celana dan jasnya berwarna senada, yaitu hitam keabuan.
…dan pria itu memakai topi fedora berwarna hitam juga.
Tatkala pria itu datang, sosoknya yang memiliki tubuh yang bagus sebetulnya menyita cukup banyak perhatian. Minimal, orang-orang akan memberikannya tatapan kedua tatkala pertama kali menemukan sosoknya. Meski pakaiannya serba hitam, entah mengapa kelihatannya bagus-bagus saja. Cocok-cocok saja dengan tubuhnya. Justru terlihat sangat memesona, terutama pria itu juga memakai sebuah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Dia terbilang sangat fashionable.
Pria itu terlihat seperti model…atau sesuatu.
Mei saja secara tanpa sadar telah memusatkan atensinya kepada pria itu; dia benar-benar lupa bahwa dia harus segera memalingkan wajah karena bagaimanapun juga, pria itu mungkin akan terganggu dengan tatapannya. Mata Mei melebar kagum, tangannya sampai berhenti mengaduk minumannya.
Kemudian, tanpa Mei sangka-sangka, pria itu berhenti melangkah.
Berhenti tepat di depan meja Mei.
Mei yang matanya masih melebar—wajahnya blank—itu pun perlahan-lahan mendongakkan kepala; dia melihat pria itu yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya dengan mata bulat serta wajah blank-nya.
Mei kelihatan seperti orang bodoh. Dia amat tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat wujud pria yang aura kebangsawanannya menguar dengan kuat, padahal dia hanya melihat pria itu berjalan ke arahnya.
Tatkala Mei benar-benar melihat wajah pria itu dengan jelas, Mei semakin terpaku. Pria itu memiliki rambut yang berwarna merah. Crimson red. Matanya juga…berwarna sama seperti rambutnya.
Ini aneh. Apakah rambutnya diwarnai? Namun, mata? Bagaimana dengan mata? Apakah dia memakai lensa kontak? Tidak mungkin ada orang Asia yang memiliki rambut dan mata dengan warna natural semerah itu. Bahkan satu dunia pun kemungkinan tidak ada yang memiliki mata serta rambut seperti itu.
Namun, pria ini memilikinya. Sialnya, itu sangat cocok dengan wajahnya yang tampan. Hidungnya mancung dan garis rahangnya terbentuk dengan sempurna. Bentuk matanya sebetulnya terlihat tajam seperti elang, tetapi karena tatapannya lembut dan ramah, itu jadi tidak terlihat mengintimidasi. Malah terlihat seperti mahakarya. Secara penampilan, dia tampak begitu sempurna. Dengan penampilan yang unik dan luar biasa seperti ini, apakah dia pernah ditawari untuk berkerja sebagai model? Atau mungkin dia adalah seorang model?
Namun, entah mengapa… Rasanya dia terlalu majestic untuk menjadi seorang model. Rupa pria itu terlihat seolah dia memiliki garis keturunan bangsawan atau sesuatu. Paling tidak, dia mungkin merupakan orang yang keseharian hidupnya berbeda dengan orang-orang biasa. Caranya berjalan, caranya tersenyum…
Eh, sebentar, dia tersenyum pada Mei?
Mei semakin melebarkan matanya. Pria itu memang sedang tersenyum padanya! Senyumannya begitu manis, gentle, dan…
Astaga. Dia kelihatan seperti pangeran berkuda putih yang ada di dalam cerita-cerita dongeng. Sangat gentle. Benar-benar prince charming.
Kemudian, pria itu melepas topi fedoranya. Mei semakin tertegun melihat betapa tampannya pria itu dengan rambut merahnya. Dia keturunan apa, sih?
Senyuman pria itu terlihat semakin lembut dan manis. Pria itu lalu sedikit memiringkan kepalanya. "My lady."
A—apa? Apa katanya? My lady?
Oh, Tuhan. Pria itu betul-betul bersikap seperti bangsawan. Memperlakukan wanita dengan istimewa. Harusnya etika itu diajarkan kepada semua laki-laki zaman sekarang. Pria ini ini perfect sekali.
Menyadari bahwa pria itu sedang berbicara padanya, Mei pun agak panik. Dia jadi menampar dirinya sendiri secara mental, agar bisa sadar sepenuhnya dan menjawab pria itu dengan baik.
Namun, sialnya, dia masih terdengar gagap ketika menjawab, "Y—ya?"
Pria itu kemudian sedikit terkekeh.
Ah, tampan sekali.
"Boleh aku duduk di sini, my lady?" tanya pria itu dengan sopan.
For God's sake, suaranya seksi!
Mei kontan panik setengah mati, detak jantungnya entah mengapa jadi bertalu-talu. Akan tetapi, Mei tetap menjawab dengan cepat seraya menyingkirkan tasnya agar posisi tas itu jadi lebih berada di sudut. "Oh—ya, ya, boleh. Si—silakan."
Waduh, dia akan duduk satu meja dengan pria ini!
"Terima kasih, my lady," ucap pria itu, lalu pria itu mulai beranjak untuk duduk satu meja dengan Mei. Mereka duduk berhadapan.
Mei melihat pria itu meletakkan topi fedoranya di atas meja. Sesaat setelah pria itu duduk, ada seorang pelayan café yang mengantarkan minuman pesanan pria itu ke atas meja. Pria itu tampak memesan cappuccino.
"Ah—terima kasih," ucap pria itu kepada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Pria itu memberikan senyuman yang manis kepada pelayan tersebut. Pelayan itu lalu mengucapkan 'Sama-sama, Tuan.' dan merunduk hormat sebelum akhirnya pergi meninggalkan meja mereka.
Tatkala kepala pria itu kembali menghadap ke arah Mei, Mei mulai gugup lagi. Rasanya canggung sekali. Apakah mereka akan mengobrol? Atau hanya diam-diaman saja?
Pria itu meminum cappuccino-nya sejenak, lalu matanya mulai menatap ke arah Mei. Seraya tersenyum, pria itu pun mulai berbicara.
"Apakah kau sering datang ke sini, my lady?"
Mei yang sedari tadi lupa memalingkan pandangannya, kini jadi gelagapan bukan main. Dia langsung mengaduk minumannya dengan 'agak' kencang, matanya beralih melihat ke arah minumannya itu, lalu ia tertawa hambar. "Ah—haha, i—iya. Aku sering ke sini sepulang bekerja."
"Oh..." ujar pria itu, tetapi Mei tidak melihat wajahnya. Jadi, Mei tidak tahu ekspresinya seperti apa. Mei terlalu gugup untuk melihat wajah mengagumkan milik pria itu.
"Jika kau berkenan, apakah aku boleh bertanya di mana kau bekerja, my lady?" tanya pria itu lagi.
Mei pun mulai mengangkat kepalanya. Dia menatap ke arah pria itu yang kini masih tersenyum ramah padanya.
Mei menatap pria itu lamat-lamat dan menyadari bahwa warna merah yang dimiliki oleh pria itu indah sekali. Seperti melihat bunga mawar yang tumbuh di taman kerajaan. Mereka tumbuh dengan anggun dan mulia. Agung.
Setelah mengedipkan matanya satu kali, Mei pun meneguk ludahnya. Menyiapkan diri karena mungkin saja, percakapan mereka akan berlanjut. Kemungkinan besar, keadaan di antara mereka berdua tidak akan menjadi canggung. Mereka tidak akan diam-diaman.
Akhirnya, Mei pun menjawab. "Aku…bekerja di Kantor Pelayanan Publik. Tidak jauh dari sini."
"Oh, apakah kau seorang PNS?" tanya pria itu lagi. Matanya sedikit melebar tatkala menanyakan hal itu.
Mei menganggukkan kepalanya perlahan. Gadis itu pun tersenyum tipis, sedikit canggung, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah…iya."
Wah, untuk sejenak, Mei jadi lupa bahwa dia baru putus hubungan. Pria ini benar-benar menyita perhatiannya.
Pria itu pun berdeham sedikit panjang, lalu mengangguk. Dia meminum cappuccino-nya lagi dan kembali menatap ke arah Mei setelah meletakkan minumannya kembali ke atas meja. Tatapannya lembut dan ramah, terlihat benar-benar menghormati perempuan.
Benar-benar seperti bangsawan. Seolah dia adalah bagian dari keluarga kerajaan di Eropa zaman dahulu. Apakah pria ini memiliki kekurangan? Dia terlihat begitu sempurna. Tutur katanya begitu sopan, gentle, berkelas, dan tertata. Pakaiannya rapi dan wajahnya tampan. Caranya menghormati dan menghargai wanita juga patut diacungi jempol.
Karena tidak ingin membuat pria itu merasa seperti mesin penanya satu arah—padahal pria itu tidak berpikiran demikian—Mei pun berinisiatif untuk bertanya balik pada pria itu.
"Bagaimana denganmu? Apakah kau bekerja di sekitar sini juga?"
Pria itu sedikit terkekeh, lalu menggeleng. Dia menatap Mei lagi dan tersenyum. "Tidak, my lady. Aku hanya kebetulan ingin minum kopi. Jadi, aku mampir ke sini."
"Apakah tempat kerjamu jauh?" tanya Mei dengan mata bulatnya; dia bertanya murni karena sedikit penasaran.
Pria itu pun sedikit mengerutkan dahinya, matanya menoleh ke samping; ia tampak seperti tengah berpikir. "Hm… Bisa dibilang begitu."
Kemudian, pria itu kembali menatap ke arah Mei. Dia pun tersenyum lagi.
"Ah…begitu, ya," ujar Mei, kepala gadis itu mengangguk-angguk. Dilihatnya pria itu mulai duduk bersandar, kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia duduk dengan kaki yang menyilang.
Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, masih tersenyum seraya memperhatikan Mei.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa. Sanggup membuat jantung Mei berdegup kencang seolah baru saja berlari sejauh dua kilometer. Penampilannya menyilaukan.
Namun, karena tidak mau responsnya menggantung, Mei pun berusaha keras untuk menggelengkan kepalanya dan menyampingkan rasa kagumnya untuk sementara. "Jadi…apakah kau pulang lewat sini?"
"Tidak juga," ucap pria itu. Tatapannya pada Mei saat ini terlihat sedikit lebih…dalam. "Hanya kebetulan lewat sini karena ada sebuah pekerjaan, my lady."
Mei pun mengangguk-angguk mengerti; pupil matanya masih terlihat melebar karena jujur, kau akan melakukan itu ketika ada sesuatu yang membuatmu tertarik.
Pria itu tersenyum lagi. "Boleh aku tahu siapa namamu, my lady?"
Mata Mei pun membeliak. Napasnya sedikit tertahan tatkala mendengar pertanyaan itu. Ia kaget dengan kenyataan bahwa pria itu ingin tahu namanya.
Setelah melipat bibirnya sejenak, Mei pun akhirnya meneguk ludahnya dan mengangguk.
"Namaku… Mei," ucap gadis itu.
"Mei…?" Pria itu memiringkan kepalanya, matanya menatap Mei dengan penuh tanda tanya. Dia menunggu. Seolah masih ingin tahu sesuatu.
Ah. Dia ingin nama lengkap, ya.
"Shiori. Shiori Mei," ucap Mei, memperjelas namanya.
Pria itu pun kembali meluruskan kepalanya, lalu tersenyum puas. Kemudian, suaranya terdengar kembali. "Nama yang sangat cantik, my lady."
Seketika pipi Mei merona. Dia pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah vanilla milkshake-nya yang esnya sudah mencair, pura-pura mengaduknya dengan sedotan lagi, lalu meminumnya dengan cepat.
Reaksi itu membuat pria tersebut terkekeh dengan manisnya. Mei semakin dibuat salah tingkah setengah mati. Bisa-bisa Mei jadi naksir pada orang yang baru saja dia temui, kalau begini caranya.
Habisnya, manusia apa yang sesempurna ini?
Karena tidak ingin terus-terusan malu, Mei pun mengalihkan perhatian. Dia mencoba sekuat tenaga untuk berbicara agar pria itu tidak terus-terusan melihat dirinya yang tengah salah tingkah karena malu.
"B—bagaimana denganmu? Siapa namamu?" tanya Mei dengan tempo cepat. Dia salah tingkah, soalnya.
Pria itu kembali tersenyum. Seolah memberikan senyuman adalah spesialisnya. Dia sepertinya sadar bahwa senyuman manisnya itu memberikan efek yang mematikan untuk perempuan. Atau jangan-jangan dia tidak sadar?
Dengan senyumannya itu, pria itu pun menjawab, "Akashi Roan Kaiser, my lady."
Wah. Wajah dan tubuhnya sempurna. Etikanya bagus. Suaranya sangat seksi. Sekarang, namanya pun bagus. Cocok sekali dengan orangnya.
Kaiser. Artinya…seorang kaisar, 'kan?
Well, he looks like one.
"Namamu…sangat bagus." Mei memuji dengan tulus. "Cocok untukmu."
Pemuda itu tertawa pelan.
Dia tertawa.
Kalau saja Mei bisa melukis, Mei akan betul-betul menjadikan pria ini sebagai muse-nya. Dia terlihat seperti seorang pangeran yang baru saja turun dari sebuah kerajaan di surga.
"Not really, my lady," ucap pria itu. "Bolehkah aku memanggilmu 'Mei', my lady?"
Oh, ya Tuhan. Nama Mei enak sekali didengar tatkala diucapkan oleh lidah pria itu. Namanya jadi terdengar begitu indah tatkala disebutkan oleh suara seksi milik pria itu. Mei jadi merona.
Akhirnya, Mei pun mengangguk. Agak perlahan karena dia masih lumayan tertegun mendengar namanya disebut oleh pria itu.
"Boleh…" ujar Mei kemudian. Namun, tiba-tiba Mei tersadar sesuatu. "Kalau aku? Dengan apa aku memanggilmu?"
Lagi-lagi pria itu terkekeh lembut di depan Mei. Menatap Mei dengan mata yang bersahabat. Lembut dan ramah. "Akashi. Panggil saja Akashi, my lady."
Akashi…
Namanya bagus sekali. Begitu berkarisma, seperti orangnya.
"Baiklah, Akashi," ucap Mei, merona tatkala memanggil Akashi untuk pertama kalinya. Mei meneguk ludahnya perlahan.
Akashi pun mengangguk. Pria itu lalu mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh Mei. "Salam kenal, Mei."
Dengan gerakan yang ragu sekaligus malu-malu, Mei pun menyambut uluran tangan pria itu. Ketika bersalaman dengannya, Mei merasa bahwa tangannya kecil sekali jika dibandingkan dengan tangan pria itu. Tangan pria itu tampak kuat. Lengannya terlihat berotot dari balik sweater hitamnya.
Mencoba untuk menyingkirkan segala pikirannya sebelum menembus batas wajar, Mei pun mengangguk. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk bertatapan dengan Akashi. Mata mereka berserobok. Kemudian, dalam waktu singkat, tatapan mereka terlihat saling menerawang. Mei merasa seakan terhisap masuk ke dalam kepekatan warna merah dari mata milik Akashi. Terjerumus dengan warna merah yang begitu menarik perhatiannya. Merah yang memiliki daya tarik luar biasa. Memiliki kekuatan. Gairah. Begitu intens, membuat Mei merasa terjerat di dalamnya dalam waktu yang sangat singkat.
Ini berbahaya.
Jika Mei berada di sini lebih lama lagi,
…bisa-bisa Mei benar-benar akan menyukai pria itu. Pria yang bernama Akashi itu.
Mei tidak yakin dia akan bertemu lagi dengan Akashi di kemudian hari, jadi Mei tak mau menanggung risiko untuk jatuh cinta pada Akashi yang merupakan orang asing. Terutama Mei baru saja mengalami patah hati. Sepertinya hal yang seperti ini harus cepat-cepat dicegah. Tidak lucu kalau dia harus mengalami patah hati dua kali berturut-turut dalam waktu kurang dari satu minggu.
Meski sangat enggan melepaskan diri dari tatapan mata Akashi, Mei tetap berusaha sebisa mungkin untuk mengalihkan pandangannya. Dia membuang seluruh rasa inginnya saat ini—meski itu terbilang nyaris mustahil mengingat betapa luar biasanya daya tarik dari kedua mata Akashi—dan dia menguatkan dirinya karena berpikir bahwa ini adalah keputusan terbaik. Dia tak mau terbawa suasana ataupun terbawa perasaan.
Mei pun akhirnya berhasil mengalihkan pandangannya. Mei menggeleng sejenak, lalu dia melepaskan tangannya dari genggaman Akashi. Dia pun lalu mengambil tas selempangnya yang masih ada di atas meja, lalu memakai tas tersebut.
Akan tetapi, mau tidak mau dia harus tetap menatap ke arah Akashi lagi untuk berpamitan. Dia harus bersikap sopan dan menghargai Akashi. Sama seperti bagaimana Akashi memperlakukannya sedari tadi.
Tatkala telah melihat ke arah Akashi kembali, Mei pun berusaha untuk tersenyum, meski senyumannya itu malah menjadi senyuman kikuk. Canggung. "Uh—um… Aku pulang dulu, ya, Akashi. Ini sudah sore. Aku harus…uh…mencuci pakaianku."
Akashi terlihat melebarkan matanya, tubuh pria itu sedikit menegap. "Ah—begitu, ya? Di mana rumahmu, Mei? Pulang naik apa? Mau kuantarkan pulang?"
Kontan saja Mei terbelalak, dia buru-buru menggeleng dan memajukan kedua tangannya, menggerakkan kedua tangannya itu ke kanan dan ke kiri, menolak Akashi dengan sangat cepat. Dia panik. "T—tidak, tidak usah, Akashi. Aku tinggal di daerah sini, kok. Aku bisa berjalan kaki dari sini."
"Benar di daerah sini?" tanya Akashi lagi, memastikan. Dahi pria itu agak berkerut, seolah dia khawatir dengan Mei.
Mei mengangguk. "Iya. Apartemenku ada di dekat sini. Aku duluan, ya, Akashi."
Akhirnya, Akashi pun mengangguk. Pria itu menghela napas pelan, terlihat seakan sudah menerima kepergian Mei dari sana serta menerima Mei yang tidak mau diantar olehnya.
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati, ya, Mei," ujar Akashi, pemuda itu pun tersenyum lembut pada Mei.
Mei mengangguk. Gadis itu pun balas tersenyum pada Akashi, lalu ia berpamitan. "Terima kasih, Akashi. Aku duluan, ya."
Setelah melihat Akashi mengiyakannya, Mei pun merunduk singkat pada Akashi, lalu ia berdiri dan beranjak keluar dari meja itu. Ia mulai berbalik membelakangi Akashi untuk berjalan menuju ke pintu masuk café.
Ketika Mei keluar dari café, Mei tahu bahwa untuk berjalan ke apartemennya, dia butuh berjalan lurus ke arah kanan. Jadi, dia akan kembali melewati jendela tempat ia dan Akashi tadi duduk.
Tatkala Mei melewati jendela itu, Mei melihat Akashi yang masih duduk di sana, melihat ke arahnya melalui jendela yang terbuka itu. Akashi memberikannya sebuah senyuman manis, kemudian pria itu melambaikan tangan padanya.
Dengan senyuman yang masih sedikit canggung, Mei pun balas melambaikan tangan padanya. Kemudian, Mei mulai berjalan meninggalkan café itu.
******
Akashi menurunkan jemarinya yang tadi sedang melambai kepada Mei. Dia masih melihat ke arah Mei yang tengah berjalan menjauhi café. Kepalanya menoleh ke samping kanan, matanya melihat ke belakang, berhubung arah pulang Mei itu berlawanan dengan posisi duduknya saat ini.
Senyuman yang tadi ia berikan kepada Mei itu masih menghiasi wajah tampannya, tetapi kini senyuman itu terlihat sedikit berbeda. Sedikit menipis.
Tatapan matanya yang tadinya ramah dan lembut itu perlahan-lahan kembali mengikuti bentuk aslinya. Bentuk mata yang tajam seperti elang. Sensual. Misterius. Kedua bola mata berwarna merahnya mengikuti langkah Mei yang semakin lama terlihat semakin jauh. Dia memicingkan mata seraya memperhatikan Mei lamat-lamat dalam diamnya. Cahaya merah dari kedua matanya seakan-akan mampu mengunci Mei dari jauh, mengurungnya di dalam penjara yang ia ciptakan di dalam kepalanya.
Tidak lama kemudian, Akashi pun menoleh ke depan. Ke posisi awal. Kemudian, pria itu meraih topi fedoranya yang ia letakkan di atas meja, memakai topi tersebut, lalu pergi keluar dari café itu.
Tatkala berjalan ke luar café dengan langkah tegapnya, orang-orang yang ada di dalam café tersebut kembali melihat ke arah Akashi dengan tatapan terpukau. Dia tidak seperti orang 'biasa'. Antara artis, model, atau…keluarga prestigious. Seperti punya status yang tinggi.
Tatkala Akashi sudah berada di luar café, pria itu pun menghampiri sebuah mobil limosin hitam, Rolls Royce Phantom Limousine, yang sudah terparkir di depan café itu. Menunggunya.
Ada beberapa orang berjas hitam yang terlihat menunggu di depan limosin tersebut. Mereka semua berpakaian rapi, berjas hitam dan di dalamnya mereka memakai kemeja putih. Mereka semua berdiri berjajar dengan rapi, mulai merunduk hormat tatkala melihat Akashi keluar dari café. Menyambut Akashi dengan hormat.
Begitu Akashi berdiri tepat di depan mereka, salah satu dari mereka yang tengah memegang jas hitam panjang langsung sigap mengganti jas yang tengah Akashi kenakan dengan jas hitam panjang tersebut.
"Boss," sapa salah satu dari mereka, menyambut Akashi. Dia membukakan pintu mobil untuk Akashi. "Sudah selesai?
"Hm," deham Akashi. Pria itu mulai masuk ke dalam mobil, lalu pintu mobil itu ditutup kembali oleh pria yang tadi membukakan pintu untuknya. Ada dua orang yang ikut satu mobil dengan Akashi, sementara beberapa pria yang lain mengikuti dari belakang dengan mobil hitam yang berbeda. Mengawal mobil Akashi.
Ketika mobil baru berjalan, suara Akashi mulai terdengar.
"Di mana apartemen yang jarak tempuhnya bisa berjalan kaki dari sini?"
Pria yang duduk di depan, seorang capo yang tengah menyetir mobil itu, tampak sedikit melebarkan matanya tatkala mendengar pertanyaan dari bosnya. Dia mengerutkan dahi, berpikir sejenak, lalu melebarkan matanya lagi karena sudah mendapatkan jawabannya. Dia ingat sesuatu.
Kemudian, pria itu menjawab, "Ah, mungkin yang ada di depan sana, Boss. Sekitar seratus meter, sebelah kiri. Di sana kalau tidak salah ada apartemen tiga lantai."
Suara Akashi kembali terdengar di dalam mobil itu. Suaranya yang begitu dingin, sarat akan kepemimpinan, tetapi sangat menggoda untuk didengar. Tipe-tipe suara yang membuatmu ingin mendengarnya lagi dan lagi. Jika ia bertelepon denganmu dengan suara itu, kau akan merasa seakan meleleh hanya karena mendengarkan suaranya.
Dia berkata, "Begitu, ya."
"Memangnya ada apa, Boss?" ujar salah satu capo-nya itu, sesekali melihat Akashi melalui spion dalam. Capo yang duduk di sebelah Akashi pun tengah menatap ke arah Akashi, ingin tahu mengapa bos mereka menanyakan hal itu. Mereka menunggu Akashi berbicara.
Akashi pun mulai menatap ke arah jendela mobil yang ada di samping kanannya, lalu di bibirnya terbit seulas senyum tipis. Matanya menatap ke luar dengan tatapan yang dingin. Berkilat dan tajam layaknya mata seekor elang. Mengunci apa pun yang sedang ia lihat.
"Tidak ada," ujar Akashi kemudian. "Besok aku akan pergi ke café yang tadi lagi." []