Chereads / Double-Decker / Chapter 2 - Crimson Red

Chapter 2 - Crimson Red

Chapter 2 :

Crimson Red

 

******

 

BEGITU sampai di dalam apartemennya, Mei langsung meletakkan tasnya di atas meja yang ada di dalam kamarnya, lalu beranjak mandi. Jujur saja, sejak ia berjalan pulang dari café langganannya tersebut, ia terus saja memikirkan soal Akashi beserta kedua bola mata berwarna merah menyala milik pria itu. Dia jadi teringat dengan karakter-karakter vampir atau drakula yang ada di film-film. Mereka biasanya digambarkan memiliki mata yang berwarna merah, memakai pakaian-pakaian mewah, dan terlihat seperti bangsawan. Kebanyakan dari mereka juga terlihat memiliki fisik yang sangat menawan serta etika yang sangat baik, meskipun mungkin itu adalah sebuah 'pancingan' bagi mereka untuk memikat mangsanya.

 Sampai sedang berendam di kamar mandi pun, Mei masih memikirkan soal Akashi.

Ternyata orang seperti itu ada di dunia ini, ya. Bukan hanya fiksi.

Keluar dari kamar mandi, Mei langsung memakai pakaiannya. Mei tidak bisa berhenti memikirkan betapa mengejutkannya pertemuannya dengan seseorang seperti Akashi, sampai-sampai Mei terus saja melamun tatkala sedang mengeringkan rambutnya. Bagaimana mungkin ketika menciptakan manusia, Tuhan melewatkan Akashi saat membagikan porsi 'kekurangan'? Agak tidak masuk akal sebab selama Mei hidup, Mei selalu mendengar kata-kata bahwa 'Tidak ada manusia yang sempurna'.

Akan tetapi, Akashi memang terlihat seagung itu. Mata merahnya, rambut merahnya, semuanya unik, tetapi benar-benar pas untuknya. Vibe yang dia berikan memang se-noble itu. Majestic. He looks like a royalty member or something.

Akhirnya, Mei pun membanting tubuhnya ke kasur; dia berbaring telentang. Kedua tangannya ia rentangkan dan matanya menatap lampu kamarnya tanpa berpaling, meski sebenarnya dia tidak benar-benar sedang melihat lampu tersebut. Otaknya tengah memikirkan hal lain.

Akashi.

Siapa nama lengkapnya tadi?

Oh, ya. Akashi Roan Kaiser.

Ah. Mei jadi benar-benar penasaran. Kaiser? Kok seperti pernah dengar, ya?

Apa suatu hari nanti Mei bisa bertemu lagi dengan Akashi? Atau pertemuan mereka tadi adalah pertemuan yang pertama dan terakhir kalinya?

Entahlah.

Tiba-tiba, tatkala sibuk melamun memikirkan pertemuan serta percakapannya tadi dengan Akashi, ponsel Mei berbunyi. Mei lantas mengerjap, gadis itu mulai bangkit dan berjalan menuju ke meja tempat ia meletakkan tasnya tadi. Ponsel itu masih tersimpan di dalam tasnya.

Meja kamar Mei dipenuhi dengan buku-buku dan ada juga sebuah laptop di sana. Di meja itu ada sebuah lampu karena Mei akan menggunakan meja itu kalau lembur malam-malam. Mei tidak mau menggunakan lampu kamar karena baginya lampu kamar itu terlalu terang kalau untuk bekerja di malam hari.

Setelah membuka tasnya, Mei langsung merogoh isi tas itu dan menemukan ponselnya di dalam sana. Ponsel itu berbunyi dan juga bergetar. Mei lantas mengambil ponsel itu, lalu melihat ke layarnya karena dia ingin tahu siapa gerangan orang yang meneleponnya.

Di layar itu tertulis 'Kou is calling...' dan Mei pun akhirnya ber'oh' pelan. Ternyata Kou.

"Halo?" ucap Mei langsung tatkala dia telah menerima telepon dari sahabatnya itu.

"Ah, Mei," panggil Kou dari seberang sana. "Kau sudah pulang, ya?"

"Sudah," jawab Mei seraya mengangguk. Mata Mei terlihat agak melebar ketika menjawab pertanyaan dari Kou. "Ada apa, Kou?"

"Ke minimarket, yuk!" ajak Kou. "Sambil jalan-jalan malam, cari angin."

Mei menghela napas. Gadis itu tersenyum karena memikirkan bahwa pasti Kou sudah berada di perjalanan menuju ke rumahnya. Rumah Kou tidak jauh dari sini dan mereka sudah berteman lama. Kalau mau ke minimarket, Kou memang harus melewati apartemen Mei terlebih dahulu.

"Okeee. Aku ke luar sekarang. Kau sudah di jalan, 'kan?" tanya Mei. Yah, daripada dia terus mengendap di dalam kamar dan memikirkan Akashi, lebih baik dia cari angin ke luar bersama Kou. Ikut Kou ke minimarket. Mei mau beli es krim saja, deh.

"Yoi," jawab Kou. "Aku baru saja sampai di depan rumahmu, nih."

"Oke!" jawab Mei kemudian, gadis itu sedang mencari jaketnya, lalu seraya memakai jaket itu, ia menjawab, "Tunggu, ya!"

"Okeee," jawab Kou, lalu sambungan telepon itu diputuskan oleh Kou. Mei lantas berjalan cepat menuju ke arah rak sepatu yang ada di dekat pintu depan, mengambil sepasang selopnya yang berwarna krem, memasang selop itu, lalu membuka pintu depan apartemennya. Setelah mengunci pintu apartemennya kembali, ia pun berlari menuruni tangga untuk menuju ke bawah, berhubung kamar apartemennya ada di lantai dua.

Ketika sudah sampai di bawah, ia pun bertemu dengan Kou yang sudah menunggu di sana seraya tersenyum padanya. Malam ini Kou terlihat memakai sebuah jaket berwarna biru dengan motif garis-garis lebar berwarna putih. Berhubung rambut Kou berwarna coklat, malam itu warnanya jadi kelihatan agak gelap karena minimnya cahaya, walaupun sudah dibantu dengan lampu dari jalan. Apartemen Mei berdiri di sebelah kiri jalan yang lumayan besar. Namun, jalan itu bukanlah jenis jalan besar yang selalu ramai. Jalan itu lumayan sepi, terutama kalau malam-malam begini. Jika kau melewati jalan besar tersebut, lurus terus…hingga kau bertemu dengan sebuah jembatan besar yang menghubungkan antara sisi kanan dan sisi kiri jalan besar itu, maka di sisi kirinya kau akan melihat apartemen Mei. Apartemen Mei berdiri tepat di sisi kiri jalan dekat jembatan itu, tetapi bagian depan apartemen itu tidak menghadap ke arah jalan. Dari jalan besar itu, kau hanya bisa melihat bagian samping kanannya apartemen Mei.

Biasanya, di jembatan jalan itu tergantung sebuah billboard besar yang kadang-kadang isinya adalah iklan-iklan rokok, fashion, atau semacam itu. Namun, kali ini billboard besar itu kosong. Sedang tidak ada yang memasang iklan di sana.

"Ayo," ajak Kou dan Mei mengangguk. Mereka pun mulai berjalan berdampingan.

"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Kou ketika mereka sudah berjalan bersama sekitar tiga langkah. Mei lantas menoleh ke arahnya.

"Hm?" deham Mei, seakan ingin Kou mengulangi pertanyaannya.

"Umm…" Kou agak tertunduk, lalu menggaruk tengkuknya. Akhirnya, di antara cahaya lampu jalan malam itu, mata berwarna hazel milik Kou mulai menatap Mei dengan penuh rasa keingintahuan.

"Maksudku… Haruki," ujar Kou kemudian. "Apa kau masih sedih karenanya?"

Mata Mei membeliak. Mendadak Mei terlihat sedikit tertawa hambar dan menundukkan kepalanya.

"Ah…" ujar Mei, gadis itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya, lalu kembali mengadap ke depan seraya membuang napasnya dari mulut dengan agak kuat. "Ya…begitu, deh. Perasaanku sudah agak baikan, tetapi aku masih sangat membencinya."

Kou pun mengangguk. "Baguslah. Jangan habiskan waktumu untuk menangisi pria berengsek sepertinya."

Mei perlahan mengangguk. Satu senyuman tipis terbit di wajah Mei, matanya menatap nanar jauh ke depan sana.

"Oh ya," ucap Kou tiba-tiba, membuat Mei langsung menoleh ke arahnya lagi. Kou tampak melihatnya dengan mata yang membulat karena penasaran. "Kapan kau mau main ke rumahku? Ibuku terus-terusan bertanya kapan kau akan datang. Sudah lama tak melihatmu, katanya."

Mei lantas terkikik. Gadis itu pun menjawab, "Iya, deh, nanti aku datang ke rumahmu kalau aku senggang."

Setelah mendengar jawaban dari Mei, Kou pun tersenyum lega. "Oke, deh. Jangan lupa datang, ya. Aku bingung harus memberikan alasan apa lagi pada Ibu."

Mei tertawa. Seingat Mei, terakhir kali dia bermain ke rumah Kou adalah sekitar satu bulan yang lalu. Yah…mengingat mereka sudah berteman sejak lama dan kemarin-kemarin Mei memang sering bermain ke rumah Kou, wajar saja ibunya Kou jadi mencarinya seperti ini.

"Baiklah," ujar Mei, menenangkan Kou seraya tersenyum. Kou pun terkekeh.

Mereka terdiam selama beberapa detik. Hanya suara langkah kaki mereka yang menemani mereka pada saat itu. Mei melihat ke bawah; pikirannya mulai ke mana-mana lagi. Sementara itu, Kou tetap menatap ke depan dan sesekali pria itu bersiul. Dia menyiulkan lagu favoritnya.

"Kou," panggil Mei tiba-tiba. Sukses membuat Kou berhenti bersiul dan langsung menatap ke arah Mei.

"Hm?" jawab Kou. Pria itu mengangkat kedua alisnya, menunggu apa yang akan Mei katakan, tetapi gadis itu tak kunjung berbicara.

"Ada apa, Mei?" tanya Kou sekali lagi.

Mei masih tertunduk. Kou menunggu hingga tiga detik lamanya hingga akhirnya, Mei pun mulai mendongakkan kepalanya untuk menoleh ke arah Kou yang lebih tinggi darinya.

"Umm…" Mei sedikit menggigit bibir bagian dalamnya, dahinya berkerut. Ia terlihat berpikir sejenak. Setelah itu, gadis itu melanjutkan, "Apakah kau percaya dengan keberadaan seseorang yang…sempurna?"

Kou kontan menyatukan alisnya. "Eh?"

Melihat Kou yang sepertinya bingung dengan pertanyaannya, Mei pun lantas mengalihkan pandangannya dari Kou. Dia melihat ke depan, tertawa hambar, lalu menggeleng. "Ah…tidak, tidak. Tidak apa-apa. Tidak jadi."

Namun, hal yang terjadi adalah di luar ekspektasi Mei.

Beberapa detik kemudian, Kou tiba-tiba membuka suara.

"Kalau kau tanya pendapatku, sebenarnya aku tidak percaya, sih," ujar Kou, sukses membuat Mei membelalakkan matanya dan langsung menatap ke arah pria itu lagi. Setelah itu, pria itu melanjutkan, "Kalau memang di luar dia terlihat sempurna, paling tidak dia pasti memiliki satu kelemahan atau kecacatan. Hal yang paling mungkin terjadi adalah: dia menyembunyikan kelemahan itu."

Mei mendengarkan pendapat Kou dengan saksama. Begitu Kou selesai berbicara, Mei lantas mengalihkan pandangannya, sedikit tertunduk, lalu mengangguk.

"Iya, sih. Kau benar," jawab Mei pelan.

Kou menaikkan kedua alisnya lagi. "Memangnya ada apa?"

Kontan saja Mei menegakkan kepalanya, membulatkan mata, lalu menoleh ke arah Kou dan mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan ke kanan. "A—aahhh, tidak, tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya iseng saja. Iseng. Haha…" Mei tertawa hambar, Jujur saja, dia malu menceritakan soal Akashi kepada Kou. Malu karena dia tak bisa berhenti memikirkan Akashi, apalagi pada dasarnya, Akashi itu adalah orang asing. Orang asing, kan, memang biasa lalu-lalang di dalam kehidupan kita.

Alhasil, walaupun Kou mengernyitkan dahinya keheranan—agak curiga juga sebenarnya—dia pun tetap mengedikkan bahu. Yah, sudahlah. Mungkin Mei memang hanya iseng saja.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai di depan minimarket yang mereka tuju. Keduanya lantas masuk ke dalam minimarket itu dan mulai berbelanja. Mei, yang memang hanya ingin menemani Kou sekaligus mencari angin, hanya membeli es krim dan satu snack coklat untuk menemaninya mengobrol bersama Kou malam itu.

 

******

 

Jam alarm milik Mei berdering kencang. Bunyinya sangat kencang di telinga Mei, sangat memekakkan, sampai-sampai Mei spontan menggeliat di kasurnya dan mengerang. Dia langsung merengek, menghadap ke kanan dan ke kiri, lalu perlahan-lahan mengulurkan tangannya untuk mematikan jam alarm yang ia letakkan di atas nakasnya itu.

"Heeennngggggg," keluh Mei. Sumpah, dia masih malas bangun. Tubuhnya masih pengin lengket di kasur, tertempel di sana hingga siang. Kasurnya terasa nyaman sekali. Matanya masih mengantuk.

Ah, kerja lagi, deh. Huaaaa.

Aduh, rasanya malas sekaliii! Mei mau tidur saja sampai siang. Namun, nanti Mei tidak punya uang kalau tidak berangkat kerja. Ini weekend kapan datangnya, sih?

Andaikan Mei bisa diberikan uang tanpa harus bekerja.

Menjadi istri seorang miliarder, misalnya. Atau istri seorang pangeran.

Haha. Gara-gara malas bangun, Mei jadi banyak berkhayal.

Mendengkus kesal, Mei lantas berdecak dan bangkit. Ia duduk di kasurnya sejenak dengan mata yang separuh terpejam—mengumpulkan nyawa, mungkin—lalu beberapa saat kemudian, dia menggaruk kepalanya dan akhirnya kakinya turun ke lantai. Berdiri dan mulai berjalan dengan lesu menuju ke kamar mandi. Dia mengeluh soal bangun pagi, tetapi akhirnya tetap bangun juga. Tetap kerja juga. Ya soalnya kalau dia tidak kerja, nanti dia tidak bisa membeli es krim. Tidak bisa jajan. Tidak bisa membayar apartemennya. Tidak bisa makan.

Hah. Menyebalkan sekali.

Setelah mandi dan bersiap-siap, Mei pun sarapan sejenak. Ia hanya memanggang roti yang ia berikan selai kacang, lalu menyiapkan segelas susu hangat. Gadis itu memakan sarapannya seraya memainkan ponsel, lalu setelah sudah selesai, ia pun meletakkan piring dan gelas kotornya ke dalam wastafel. Setelah mencuci piring dan gelas kotor itu sejenak, ia pun akhirnya siap untuk berangkat kerja.

Tatkala baru saja mengambil sepatu kerjanya dari dalam rak sepatu, tiba-tiba ponsel Mei berbunyi. Mei lantas merogoh tasnya, lalu mengambil ponsel itu dan melihat bahwa yang meneleponnya adalah ibunya. Mei mengangkat telepon itu dan meletakkan ponselnya di telinganya, menahan ponsel itu dengan bahunya.

"Ya, Ibu," jawab Mei sambil meletakkan sepatunya ke lantai, lalu memakai sepatu itu. Ketika Mei sudah memakai sepatu itu dan baru saja mau membuka pintu depan, Ibunya pun menjawab, "Oh, Mei! Sudah bangun, Nak?"

"Sudah, Bu," jawab Mei seraya keluar dari apartemennya. Gadis itu kini sedang mengunci pintu apartemennya kembali. "Aku baru saja mau berangkat kerja."

"Kau sudah sarapan, 'kan? Jangan lupa sarapan, Nak," kata ibunya. "Makan dulu sebelum bekerja. Jangan sampai sakit."

Mei tersenyum. Berhubung ibunya Mei tinggal jauh dari Mei, wanita paruh baya itu rajin menelepon hanya untuk menanyakan apakah Mei sudah makan atau belum..

"Sudah, Bu. Aku sudah makan, tadi," jawab Mei seraya menuruni tangga apartemennya. Ketika sudah sampai di bawah, Mei kembali berbicara lagi, "Ibu sudah makan?"

"Sudah. Tadi Ibu makan nasi dan sup," ujar ibunya. "Mei, sudah dulu, ya, Nak. Ada tetangga yang memanggil Ibu. Nanti Ibu telepon lagi, ya. Nanti siang jangan lupa makan!"

Mei mengangguk, meski ia tahu bahwa ibunya tak bisa melihat anggukannya. "Oke, Bu. Aku pergi kerja dulu."

"Hati-hati, Sayang," pesan ibunya dari seberang sana.

"Iya, Bu. Aku tutup dulu, ya."

"Iya."

Tepat setelah jawaban terakhir dari ibunya itu, Mei pun menutup teleponnya. Gadis itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam tasnya seraya tersenyum. Mei sangat bersyukur memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya, meskipun ia tak lagi memiliki ayah. Ayah Mei sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.

Pagi ini, pikiran soal Akashi tidak begitu hinggap lagi di kepala Mei, atau setidaknya belum benar-benar hinggap. Dia sejak tadi hanya fokus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Jadi, ingatan soal Akashi belum begitu mampir di otaknya. Ada lewat sekilas, sih, tetapi karena dia tak ingin terlambat akibat melamun, dia pun akhirnya menggeleng dan memilih untuk fokus bersiap-siap saja dulu.

Urusan melamunkan Akashi itu nanti saja, deh. Takutnya malah jadi tidak berangkat kerja kalau terus-terusan memikirkan Akashi. Akashi saja belum tentu memikirkannya. Mereka, kan…orang asing.

Mei terus berjalan…sampai akhirnya ia sampai di depan Kantor Pelayanan Publik tempat ia bekerja. Benar, jarak dari rumahnya ke kantor tidak begitu jauh sehingga biasanya dia hanya menempuhnya dengan berjalan kaki.

 

******

 

Akashi memperhatikan Mei dengan mata yang sedikit memicing dari dalam mobilnya. Ia duduk di kursi penumpang, bersandar di sana seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Jendela mobil mewah berwarna hitam itu terbuka; mobil itu terparkir jauh di seberang Kantor Pelayanan Publik, tetapi Akashi masih bisa melihat area kantor itu dengan jelas.

Pria itu hari ini memakai sebuah jas panjang berwarna coklat muda. Jas itu panjangnya seperti mantel, tetapi ia hanya menyampirkannya di tubuhnya. Di dalam jas itu, ia memakai sebuah vest yang berwarna senada dengan jasnya. Dasinya berwarna coklat tua dan kemejanya berwarna putih. Lengan kemeja itu ia lipat hingga ke bagian lengannya, menampilkan lengan kekarnya yang terlihat berurat. Ada sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Kedua mata Akashi masih fokus melihat ke depan sana. Sebuah senyuman simpul terbit di wajahnya tatkala ia melihat Mei mulai muncul di depan Kantor Pelayanan Publik itu dan masuk ke dalam sana.

"Boss, mengapa Anda ingin mampir ke sini?" tanya sopir mobil itu yang sebenarnya adalah salah satu anak buahnya Akashi. "Apakah ada sesuatu yang harus kami ketahui?"

 Tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Mei, dengan masih tersenyum simpul, Akashi pun menjawab, "Tidak. Aku hanya ingin memastikan."

Anak buahnya Akashi—yang hari ini kebagian menjadi sopirnya itu—mengerutkan dahinya. Alisnya menyatu. "Memastikan apa, Boss?"

Senyuman Akashi tampak semakin merekah, tetapi masih terlihat penuh dengan rahasia. Di pagi hari yang cerah ini, wajahnya terlihat begitu tampan dan segar. Dia adalah seorang pria matang yang produktif. Rambut berwarna merahnya disisir ke belakang dan menggunakan pomade, tetapi ada beberapa helaian rambut yang terjatuh ke bagian dahinya dan membentuk koma. Kedua matanya memiliki bentuk seperti siren eyes, membuatnya terlihat tajam, sensual, dan penuh dengan misteri,

Suara Akashi pun kembali terdengar. "Wanita…biasanya akan membuat pertahanan jika dia memiliki suatu kecurigaan. They'll run…or lie."

Anak buahnya Akashi masih mendengarkan.

Senyuman Akashi kini berubah. Perlahan senyuman simpulnya itu mulai berganti menjadi senyuman miring. Pria itu pun melanjutkan, "…tetapi dia tidak berbohong padaku."

Kini anak buahnya Akashi semakin mengernyitkan dahi. Ia sedikit melihat ke arah Akashi melalui bahunya dan berkata, "…Wanita? Siapa, Boss?"

Akashi mengalihkan pandangannya dari Kantor Pelayanan Publik itu. Kini ia tidak menghadap ke jendela mobilnya lagi; kepalanya beralih menghadap lurus ke depan. Si Sopir lantas melihat Akashi melalui kaca spion dalam mobil; dia melihat Akashi yang sudah kembali menghadap ke depan sepenuhnya. Dia juga melihat senyuman miring yang menghiasi wajah tampan pemimpin mereka itu.

Namun, sepertinya pertanyaannya belum bakal dijawab oleh boss-nya itu.

Akashi, boss-nya, justru berkata:

"Ayo berangkat. Aku ada meeting hari ini."

Akhirnya, tanpa mengatakan apa pun, Si Sopir—anak buahnya Akashi—lantas mengangguk (kepalanya menoleh sedikit ke arah Akashi dan dia merunduk hormat), lalu berkata, "Baik, Boss."

Mobil hitam itu pun melaju dengan pelan, meninggalkan Kantor Pelayanan Publik itu.

 

******

 

Mei menikmati vanilla milkshake yang ia pesan seraya duduk di spot favoritnya, yaitu di ujung dekat jendela café. Berhubung dia memang pengunjung setia di café itu—karena sangat menyukai vanilla milkshake buatan mereka—dia pun jadi merasa ada yang kurang apabila tidak berkunjung ke café ini minimal tiga hari sekali.

Duduk di sini sekarang sudah tidak terasa 'biasa' lagi sejak ia bertemu dengan Akashi kemarin. Biasanya ia selalu duduk sendirian di sini. Kalau misalnya spot ini sudah keburu terisi, dia akan mencari spot nyaman lainnya di mana dia bisa duduk sendirian. Namun, sekarang di spot ini dia jadi terus mengingat keberadaan Akashi yang kemarin duduk di seberangnya. Cara Akashi menyapanya dengan sebutan 'my lady', pergerakan tubuh Akashi yang begitu gentle seperti bangsawan, wajah Akashi yang tampan, pakaiannya yang elegan... Dia seperti seorang gentleman dari abad ke-21. Caranya menghormati perempuan, caranya berbicara, tata kramanya, semuanya berhasil membuat Mei terperangah. Mei kira, di zaman yang sudah gila ini, pria seperti itu sudah punah. Ternyata belum.

Ah. Apakah kapan-kapan ia bisa bertemu lagi dengan Akashi?

Ketika pikiran itu melintas di otaknya, Mei lantas mengerjap dan menggeleng. Ya ampun, ada-ada saja. Akashi itu orang asing, apalagi kemarin Akashi hanya kebetulan ingin minum kopi dan mungkin pria itu hanya berhenti di café terdekat secara random.

Mei bersandar di kursinya. Ia lantas merogoh ponselnya yang ia letakkan di dalam saku blazernya. Tatkala sudah mendapatkan ponsel itu, Mei pun membuka kuncinya dan berencana untuk minum vanilla milkshake-nya seraya melihat video-video di sosial media.

Mei tersenyum tatkala melihat video-video kucing imut yang lewat-lewat di beranda sosial medianya. Setelah satu menit berlalu, sebelah tangan kanan Mei mulai meraih cup vanilla milkshake-nya, lalu mengantarkan cup itu ke mulutnya. Namun, sebelum Mei sempat meminum vanilla milkshake itu, tiba-tiba ada sebuah suara yang memecah fokusnya.

 

"Mei."

 

Suara itu berasal tepat dari depannya. Membuat mata Mei sedikit melebar.

Entah mengapa Mei seperti…kenal dengan suara ini.

Seperti suara yang sudah Mei tandai.

Mei lantas mengangkat pandangannya; matanya berhenti menatap ke arah ponselnya. Kepalanya perlahan terangkat ke atas…hingga ia mendongak. Tak ayal, kini kedua matanya sukses melihat ke atas, ke arah seseorang yang tengah berdiri di depannya seraya memanggil namanya itu.

…dan tepat setelah itu, kedua mata Mei kontan terbelalak.

Mulut Mei menganga. Pada momen itu, Mei merasa jantungnya seolah berhenti berdetak.

…sebab yang dilihatnya adalah:

 

Akashi.

 

Akashi Roan Kaiser.

 

Pria itu berdiri di hadapannya, tersenyum sangat manis kepadanya seraya sedikit memiringkan kepala. Hari ini pria itu…memakai tuxedo berwarna coklat muda. Demi dunia dan segala isinya, pria itu terlihat begitu tampan. Begitu seksi. Begitu menggoda.

Tanpa Mei sadari, sebenarnya seisi café itu juga sedang terperangah karena melihat sosok Akashi. Namun, Mei terlalu terkejut untuk menyadari semua itu.

"A—" Mei mencoba untuk bersuara, tetapi sialnya dia malah tergagap. "Aka…shi?"

"Eh-hm," deham Akashi. Pria itu pun memberi salam kepada Mei dengan anggukan singkat. "Halo, Mei. Kita bertemu lagi, ya."

"A—ah… Halo," sapa Mei balik. "Apakah kau…ingin minum kopi?"

Ah, sial! Ya jelas dia mau minum kopi, Mei! Buat apa dia datang ke café kalau bukan mau minum kopi?!!

Mei merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Ia menggigit bibirnya seraya mengutuk otaknya yang mendadak jadi sangat bodoh kalau sedang salah tingkah. Ketahuan sekali kalau dia sedang salah tingkah sebab pertanyaan yang ia keluarkan terdengar begitu bodoh.

Namun, di sisi lain…sekarang ada Akashi di depannya. Dia…bertemu lagi dengan Akashi. Akashi datang ke café ini lagi…

Diam-diam, jantung Mei mulai berdegup kencang. Ada rasa senang yang hinggap di hatinya.

Meskipun pertanyaan Mei terdengar bodoh, ternyata respons dari Akashi tidak sama sekali membuat Mei merasa malu. Akashi tampak mengangguk dan tertawa kecil. "Iya. Kebetulan lewat sini. May I sit here?"

Mata Mei melebar. "Oh—ya, boleh. Silakan."

Akashi sedikit merundukkan kepalanya kepada Mei sebagai bentuk respect, lalu dia mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lembut kepada Mei. "Terima kasih, Mei."

"E—em." Mei mengangguk cepat.

Akashi pun mulai beranjak duduk di hadapannya. Pria itu menarik kursi yang berseberangan dengan kursi Mei, lalu duduk di sana. Ketika Akashi duduk di hadapan Mei, aroma tubuh pria itu menguar semakin jelas di sekeliling Mei. Aroma tubuh Akashi sangatlah harum, segar, dan maskulin. Itu adalah jenis aroma yang akan membuatmu berpikir seperti, 'Aku akan mengekori pria mana pun yang mengenakan parfum ini di jalan.'

Aroma ini merupakan aroma yang bisa membuatmu jatuh cinta kepada seorang pria. Baunya seperti…campuran dari bergamot, neroli, green tangerine…dan ada juga aroma…rosemary? Ada campuran wangi daun nilam juga, sepertinya. Semua aroma itu…kalau dicampur ternyata jadi begitu segar seperti ini. Aroma segar yang sangat maskulin. It also smells very expensive. Aroma-aroma 'mahal'. Sesuai dengan Akashi.

Tepat setelah Akashi duduk di seberang Mei, segelas kopi pesanan Akashi pun datang ke meja mereka. Sang Waitress yang mengantarkan pesanan Akashi itu sempat bengong sebentar, matanya tanpa sadar menatap Akashi tanpa berkedip. Ia bengong selama beberapa detik karena terlalu tercengang melihat betapa tampannya pelanggan yang sedang ia layani itu, lalu akhirnya ia tersadar ketika Akashi tersenyum padanya dan mengucapkan, "Terima kasih."

"Ah—ya—maaf, Tuan. Silakan menikmati." Waitress itu lantas merunduk hormat dengan pipi yang memerah karena malu, lalu langsung pergi menjauh dari meja mereka dengan terburu-buru.

 Mei melihat Akashi mulai menghadap ke depan kembali. Pria itu memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya pada meja. Setelah itu, ia menyatukan jemari tangannya.

Seraya tersenyum simpul, Akashi pun mulai membuka pembicaraan.

"Aku mulai tertarik dengan café ini," ujar Akashi. Pria itu terlihat mulai menoleh ke kiri…lalu ke sekeliling ruangan yang masih bisa ia jangkau dengan kedua matanya. Setelah itu, pandangan matanya kembali tertuju kepada Mei. Setelah bertatapan kembali dengan Mei, Akashi pun kembali memberikan senyumannya.

Mei berkedip. Sedari tadi ia terus memperhatikan Akashi; kedua matanya seolah enggan meninggalkan sosok semegah Akashi.

"Ah…begitu, ya..." Mei akhirnya bersuara. Gadis itu mengangguk perlahan, kedua matanya masih memperhatikan sosok Akashi. Namun, kali ini tatapannya terlihat seperti tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu.

Perlahan Mei memiringkan kepalanya, lalu gadis itu pun mulai bertanya, "Mengapa kau…tertarik?"

Akashi sedikit tertunduk, lalu pria itu tertawa kecil. Goddammit, tawa kecilnya itu membuatnya terlihat seratus persen lebih menakjubkan. Dia tampak seperti pangeran berkuda putih atau seorang bidadara yang baru saja turun dari langit! Tak tahukah dia bahwa tawa kecilnya itu seatraktif itu? Seakan-akan ada background bunga-bunga yang mekar di belakang tubuhnya ketika ia tertawa. Seakan ada sayap-sayap malaikat yang melebar di belakang tubuhnya. Dia terlihat memabukkan. Membuat candu. Menawan. Seksi.

Tepat setelah tawa kecilnya itu, Akashi pun kembali menatap ke arah Mei dan tersenyum. Pria itu mulai membuka tautan jemarinya dan meraih pegangan gelas kopinya.

Tubuh Akashi mulai bersandar ke kursi. Sejak tadi ia duduk dengan kaki yang bersilang sehingga ketika ia bersandar, sosoknya terlihat begitu elegan dan berwibawa. Akashi mulai mendekatkan gelas kopi itu ke arah bibirnya. Namun, sebelum meminum kopi itu, Akashi menyempatkan dirinya untuk menjawab Mei.

"Aku tertarik karena kopinya enak," ujar Akashi, matanya menatap lurus ke arah Mei. Kedua kelopak matanya terlihat sedikit turun. Tatapan dari mata tajamnya itu terpusat pada Mei. Begitu penuh arti, tetapi sulit untuk diartikan. Ada sebuah kilat yang penuh dengan rahasia di kedua bola mata berwarna merahnya. Ia tampak seperti sedang memerangkap Mei menggunakan tatapan matanya.

Momen itu terasa begitu mendebarkan…dan begitu menggairahkan.

"Selain itu, pemandangannya…" Akashi masih menatap Mei dengan tatapan yang sama, lalu pria itu mulai tersenyum miring. "…juga bagus." []