900 tahun yang lalu, di sebuah tempat yang kini tenggelam dalam sejarah, terdapat kekuatan misterius berbentuk segitiga yang dikenal sebagai Trishard. Kekuatan ini, hingga kini, belum diketahui oleh siapa pun, kecuali satu orang: Zhyran, seorang petualang legendaris yang hidup 600 tahun lalu. Zhyran tidak hanya dikenang sebagai petualang legendaris, melainkan juga sebagai pahlawan yang dihormati pada masanya. Dia memimpin sebuah tim yang terdiri dari sembilan anggota, masing-masing memiliki kekuatan yang luar biasa dan penuh misteri.
Namun, kekuatan Trishard kini telah hancur, terpecah menjadi tiga bagian yang masing-masing memiliki nama: Triastra, penguasa angin; Trilight, penguasa cahaya; dan Trisphere, penguasa ruang dan waktu. Kehancuran Trishard terjadi akibat Perang Dunia Ksatria Pertama, sebuah perang besar yang hampir menghancurkan dunia. Perang ini melibatkan umat manusia, kaum iblis, dan kaum malaikat—tiga kubu dengan tujuan yang berbeda untuk menguasai Trishard. Pada akhirnya, perang ini berubah menjadi neraka yang membawa kehancuran. Hasil dari perang itu tidak pernah diketahui, namun yang jelas, perang tersebut mengakibatkan tenggelamnya Elda dan kehancuran Trishard.
Di sebuah desa bernama Grandwood, desa besar yang dikelilingi oleh gunung, bukit, dan pemandangan yang memukau, hiduplah seorang anak laki-laki berusia lima tahun bernama Strohl. Strohl memiliki hobi menggambar hal-hal fantasi, dan cenderung lebih suka menyendiri daripada bermain dengan teman-temannya. Setiap hari, dia menggambar tanpa henti hingga kamarnya dipenuhi kertas-kertas gambar.
Suatu hari, Strohl menemukan sebuah buku cerita di kamar ayahnya. Buku itu mengisahkan tentang ksatria dari 600 tahun yang lalu, sebuah cerita yang sangat memotivasi Strohl. Setelah membaca buku tersebut, Strohl memiliki tekad untuk menjadi ksatria, sama seperti tokoh-tokoh dalam buku itu.
"Jika kau ingin menjadi ksatria, maka kau harus latihan," ujar ayahnya sambil tersenyum. Strohl merasa bingung, tidak tahu harus mulai dari mana. Karena belum memiliki rencana, Strohl pun memutuskan untuk melanjutkan hobi menggambarnya.
Keesokan harinya, Strohl dikejutkan oleh kedatangan kakeknya yang baru pulang setelah bekerja lama. Meski sudah tua, kakeknya tetap tampak bugar dengan tubuh yang kekar. Ayah Strohl menceritakan tentang keinginan Strohl untuk menjadi ksatria setelah membaca buku itu. Mendengar cerita tersebut, kakeknya langsung mengajak Strohl ke sebuah lapangan luas, tempat sebuah boneka kayu berdiri.
"lihat ini, Strohl," kata kakeknya sambil mengepalkan tangan. Tanpa ragu, kakeknya menghancurkan boneka kayu itu dengan pukulan keras, membuat Strohl terkejut. Mulai saat itu, Strohl dilatih oleh kakeknya dalam seni bela diri. Setelah menguasai bela diri, Strohl akan melanjutkan pelatihan menggunakan pedang bersama ayahnya.
Bertahun-tahun berlalu, Strohl kini berusia 12 tahun. Setelah berlatih keras, ia berbaring di padang rumput sambil terengah-engah. "Aku menyesal mengatakan kepada ayahku bahwa aku ingin menjadi ksatria," keluhnya. Namun, tak lama kemudian, ayahnya memintanya untuk berdiri dan kembali melanjutkan latihan dengan pedang kayu.
Sekarang, pada usia 18 tahun, Strohl telah menguasai berbagai teknik pedang dan ilmu bela diri. Ia merasa siap untuk memulai perjalanannya sendiri. Pada siang hari, dengan tekad yang bulat, Strohl berpamitan kepada orang tuanya dan seluruh warga desa, memulai petualangan yang akan mengubah takdirnya.
Dalam perjalanan pertamanya yang penuh tantangan, Strohl menyusuri hutan lebat yang seakan tak berujung. Udara terasa sejuk namun penuh dengan misteri, pepohonan besar berdiri kokoh menghalangi sinar matahari. Strohl merasakan sesuatu yang ganjil di udara—seperti bisikan angin yang tidak biasa. Ia berhenti sejenak, menajamkan inderanya, dan mengamati sekitar. Ada sesuatu yang bergerak di antara daun-daun yang bergoyang.
Tiba-tiba, dari balik dahan pohon yang rapat, muncul sebuah cahaya kecil yang berkelip. Strohl terkejut dan melangkah mundur, namun cahaya itu meluncur dengan cepat ke arah dirinya. Dalam sekejap, cahaya itu berubah menjadi sosok peri kecil—perempuan dengan sayap transparan yang berkilauan, seolah menyatu dengan cahaya alam sekitar.
"Siapa... siapa kamu?" tanya Strohl, tak dapat menutupi keterkejutannya. Pandangannya tak lepas dari sosok peri tersebut, yang tampaknya tidak merasa takut.
Peri kecil itu tersenyum tipis, kemudian melayang sedikit lebih dekat dan menatap Strohl tajam. "Harusnya aku yang bertanya, siapa kau sebenarnya?" jawabnya dengan suara lembut, namun penuh wibawa.
Strohl sedikit terdiam, mencoba menyusun kata-kata. "Aku hanya seorang pengembara. Aku sedang berkelana dan... sampai di sini," ujarnya ragu, merasa canggung.
Peri kecil itu memandangnya sejenak, tampak merenung. "Ini adalah rumah kami, para peri kecil. Lebih baik kau cepat pergi, karena kami sangat sensitif dengan kehadiran manusia," kata peri itu, matanya tidak bersahabat.
Strohl tersenyum kecil, mencoba mengurangi ketegangan. "Baiklah," jawabnya sambil mundur perlahan, meninggalkan area itu. Ia melanjutkan perjalanan, namun semakin jauh ia berjalan, semakin lelah tubuhnya. Akhirnya, setelah menempuh jarak yang cukup jauh dari rumahnya, Strohl memutuskan untuk beristirahat. Ia mencari tempat yang teduh dan duduk di bawah pohon besar. Dengan perut kosong, ia menyantap sedikit bekal yang dibawanya, lalu memejamkan mata, beristirahat sejenak. Tak terasa, tidur siangnya pun semakin lama, hingga akhirnya matahari mulai terbenam.
"Gawat, aku ketiduran!" kata Strohl terburu-buru, bangkit dengan panik. Namun, sebelum ia sempat bersiap melanjutkan perjalanan, terdengar suara gaduh dari arah hutan, suara yang mengganggu ketenangan hutan yang selama ini damai. Strohl menarik pedangnya dan bergerak menuju sumber suara.
Setibanya di sana, ia melihat lima orang manusia yang tampaknya sedang mengacaukan sarang para peri. Mereka memasukkan peri-peri kecil itu ke dalam sangkar, tertawa kasar. Strohl merasa marah. Tanpa berpikir panjang, ia menarik pedangnya, maju dengan tegas, dan bertanya dengan suara penuh amarah, "Apa yang kalian lakukan?"
Salah satu dari mereka menoleh dan menyeringai. "Apa lagi? Kami akan menangkap peri-peri ini dan menjualnya. Lumayan, bisa dapat banyak uang!" jawabnya dengan santai.
Mata Strohl melebar. "Kalian melakukan tindakan ilegal! Menghancurkan rumah para peri dan menangkap mereka... itu tindakan yang tidak terpuji!" katanya dengan penuh semangat.
Kata-kata Strohl hanya membuat kelompok itu tertawa sinis. Mereka segera menghunuskan pedang, bersiap melawan. Strohl mengayunkan pedangnya dengan cepat, menjatuhkan senjata mereka satu per satu. Ia bergerak gesit, menghajar mereka dengan ilmu bela diri yang telah dipelajarinya.
Namun, jumlah mereka lebih banyak, dan Strohl merasa terpojok. Salah satu dari mereka menyerang dengan pedang dari belakang, langsung menghantam kepala Strohl. Dengan cepat, Strohl jatuh pingsan.
Beberapa menit berlalu sebelum Strohl sadar. Ia membuka matanya, merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Ketika ia mencoba bangkit, Strohl menyadari bahwa dirinya terikat dengan tali yang begitu kuat. Lima orang itu kini berdiri di sekelilingnya, wajah mereka penuh ejekan.
"Begini, kau sudah melihat tindakan kami, jadi kami tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Kalau kau menyebarkan apa yang kau lihat, itu bisa merugikan kami," kata salah satu dari mereka, wajahnya penuh ancaman.
"Kami terpaksa melenyapkanmu," lanjutnya dengan suara datar.
Strohl yang masih setengah sadar hanya bisa memandang mereka, pikiran dan perasaannya campur aduk. Ia hanya bisa teringat kampung halamannya, ketenangan yang sempat ia rasakan. "Apakah ini akhirnya untukku?" pikirnya dalam hati.
Namun, tak disangka, pedangnya—yang tergeletak di sampingnya—berpendar dengan cahaya lembut. Strohl merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba, pedangnya berbicara, suara itu terdengar begitu jelas di telinganya: "Aku adalah dirimu, dan engkau adalah aku. Engkau telah membentuk sebuah ikatan baru. Ikatan ini akan menjadi sayap pemberontakan yang mematahkan rantai belenggu. Dengan lahirnya "Arcana," engkau telah memperoleh angin berkah yang akan menuntunmu pada kebebasan dan kekuatan baru."
Mata Strohl terbelalak. Energi baru mengalir dalam dirinya. Dalam sekejap, ia melepaskan tali yang mengikatnya, seolah tali itu tak lebih dari benang halus. Para pemberontak terkejut melihat perubahan ini. Salah satu dari mereka berseru, "Apa apaan ini?!"
Strohl meraih pedangnya yang tergeletak di sampingnya dan berdiri dengan tegap. Ia menatap mereka satu per satu. "Kalian pikir kalian bisa menang dengan jumlah yang lebih banyak?" katanya dengan suara tegas.
Salah satu dari pemberontak itu terkejut, melihat pedang Strohl. "Tidak mungkin! Apakah kau seorang ksatria?!" teriaknya.
Temannya menyahut, "Itu adalah Soul Sword! Pedang yang hanya dimiliki oleh para ksatria!"
Strohl menghunus pedangnya dengan gerakan cepat, dan tanpa ampun, ia mengucapkan kata "Frosta!" Tiba-tiba, tubuh para pemberontak mulai membeku. Setengah dari mereka berubah menjadi es, tubuh mereka membeku dalam gerakan yang tak bisa mereka kendalikan.
"Sangat mudah menghancurkan tubuh kalian jika kalian sepenuhnya menjadi es, tapi membunuh bukanlah gayaku," kata Strohl dengan suara dingin.
Para pemberontak ketakutan. Mereka meronta-ronta, mencoba menghindari serangan lebih lanjut, namun es yang membekukan tubuh mereka tiba-tiba pecah. Dalam kekacauan itu, mereka melarikan diri, takut pada kekuatan Strohl yang baru saja muncul.
Setelah semuanya selesai, Strohl merasa sangat lelah. Tubuhnya hampir tidak bisa menahan kelelahan setelah pertempuran sengit itu. Tanpa bisa menahan rasa kantuk, ia pingsan lagi.
Keesokan harinya, Strohl terbangun di bawah pohon besar, di tengah suasana sejuk. Angin berhembus lembut, seolah alam menyambutnya kembali. Tak lama kemudian, peri kecil yang ia temui kemarin muncul, wajahnya terlihat lebih cerah. "Terima kasih," katanya sambil tersenyum. Strohl merasa bahwa lukanya telah sembuh dengan sendirinya.
"Hei, apakah kau seorang ksatria?" tanya peri itu dengan rasa penasaran.
Strohl menggelengkan kepala. "Aku baru saja memulai perjalanan," jawabnya.
Peri itu mengangguk, seolah memahami. "Tapi kau memiliki Soul Sword, pedang yang hanya dimiliki oleh para ksatria," katanya dengan penuh perhatian.
Strohl mengernyitkan dahi. "Pedang ini diberikan oleh ayahku. Aku tidak tahu banyak tentangnya."
Peri itu mengamati Strohl, kemudian tersenyum. "Kalau begitu, lupakan. Jika kau berkelana, berarti kau memiliki tujuan, bukan?"
Strohl menatap langit, pikirannya melayang. "Mungkin... mencari bagian-bagian Trishard yang pecah," jawabnya, matanya menyiratkan tekad yang baru ditemukan.
Peri itu terkejut, lalu berkata dengan serius, "Banyak yang menganggap pecahan Trishard itu hanya mitos, namun kami para peri masih mempercayainya, karena kami memiliki hubungan dengannya. Izinkan aku bergabung dalam pencarianmu."
Strohl terdiam, berpikir sejenak. "Tapi... bagaimana dengan rumah kalian? Rumah kalian hancur oleh para manusia itu, kan?"
Peri itu tersenyum tipis. "Kami akan pindah ke tempat yang lebih aman, di hutan berkabut. Kami akan membangun rumah di atas pohon tertinggi."
Strohl mengangguk, seolah menerima keputusan itu. "Aku akan berangkat sekarang. Apa kau yakin?"
"Yakin," jawab peri itu dengan mantap. "Ini sebagai bentuk terima kasih karena kau telah menyelamatkan kami. Sekarang beri aku waktu untuk berpamitan dengan para peri lainnya. Namaku Aeris. Dan kau?"
"Strohl," jawabnya, sambil melangkah menuju petualangan yang baru.
Langit cerah namun berangin saat Strohl dan Aeris memulai perjalanan mereka menuju kota Sablemoor Namun, untuk sampai ke sana, mereka harus melewati Death Desert, sebuah gurun yang dipenuhi monster ganas.
"Death Desert..." gumam Strohl, menatap peta lusuh di tangannya. "Kita tidak mungkin menyeberanginya begitu saja."
Aeris, peri kecil dengan sayap bercahaya lembut, melayang di dekat bahunya. "Kalau memaksakan diri, kita cuma jadi makanan monster. Sebaiknya kita cari jalan memutar."
Strohl mengangguk. "Gunung di utara mungkin lebih aman, meskipun lebih lama."
Tanpa membuang waktu, mereka memutar arah, mendaki jalur berbatu yang curam. Sepanjang perjalanan, Aeris mengisi keheningan dengan cerita-cerita tentang masa lalunya sebagai penjaga hutan suci, sementara Strohl sesekali tertawa kecil mendengar tingkah lucunya di masa lalu.
Namun, kedamaian itu segera terganggu. Saat mereka mendekati puncak sebuah bukit kecil, sekelompok pria bersenjata keluar dari balik batu besar. Bandit gunung.
"Kenapa selalu mereka?" Aeris mendesah frustrasi. Ia melayang lebih tinggi, bersiap jika keadaan memburuk.
Pemimpin bandit, seorang pria besar dengan bekas luka melintang di wajahnya, melangkah maju. "Hei, bocah! Apa yang ada di tasmu itu?" tanyanya sambil menunjuk tas Strohl dengan ujung pedangnya.
"Hanya makanan dan beberapa buku," jawab Strohl datar, mencoba untuk tidak memprovokasi.
"Serahkan!" bentak bandit itu, menarik paksa tas dari tangan Strohl.
Strohl tidak melawan. Dia hanya menatap saat para bandit menghamburkan isi tasnya ke tanah. Dua buku tua dan tiga bungkus makanan jatuh, membuat para bandit tampak kecewa.
"Tidak ada yang berharga," gerutu salah satu bandit. Namun, mata mereka kemudian tertuju pada pedang Strohl yang digenggamnya erat.
"Kalau begitu, pedang itu saja," kata pemimpin bandit sambil menyeringai.
"Jangan coba-coba," Strohl memperingatkan, menggenggam pedangnya lebih erat.
Ketegangan memuncak. Pemimpin bandit menarik kerah baju Strohl, membuatnya terseret beberapa langkah. Aeris bergegas mendekat, mencoba menggunakan sihir kecil untuk menghentikan mereka, tetapi tak berhasil.
"Berhenti sekarang juga!" Suara lantang memecah keributan.
Semua orang menoleh. Seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut pirang yang berkilauan di bawah sinar matahari muncul dari balik bebatuan. Tanduk kecil melengkung menghiasi dahinya, menambah aura mistis pada kehadirannya.
"Kalian benar-benar tak tahu malu, ya, bandit gunung?" katanya, menghunus pedang panjang yang bersinar samar, mirip dengan milik Strohl.
"Siapa kau?!" Pemimpin bandit mendengus.
"Orang yang akan membuat hidup kalian lebih sulit," jawab pria itu dengan santai, menyerang tanpa peringatan.
Pertarungan sengit pun terjadi. Meski pria bertanduk itu tangguh, empat bandit menghadapi dia secara bersamaan. Sambil bertarung, dia berteriak pada Strohl dan Aeris, "Cepat pergi! Jangan khawatirkan aku!"
"Tapi—" Strohl mencoba membalas, namun pria itu memotongnya.
"Pergi sekarang! Kalau aku mati di sini, setidaknya aku mati terhormat!"
Dengan enggan, Strohl melangkah mundur, namun tanpa sadar ia berdiri terlalu dekat dengan tebing. Kakinya kehilangan pijakan, dan tubuhnya jatuh ke bawah.
"Strohl!" jerit Aeris, segera mengejarnya. Ia menciptakan perisai sihir di sekitar tubuh Strohl, memperlambat kejatuhannya. Mereka mendarat dengan keras di dasar lembah, tetapi perisai Aeris melindungi Strohl dari cedera serius.
"Bangun, Strohl!" Aeris mendorong bahunya dengan panik. "Kita masih punya misi!"
Strohl mengerang, membuka matanya perlahan. "Aku cuma... istirahat sebentar. Jangan ribut."
Dia bangkit perlahan, menepuk-nepuk pasir yang menempel di pakaiannya. Saat memandang sekeliling, matanya membesar. Mereka berada di tengah padang pasir luas yang dipenuhi batu besar.
"Death Desert," gumam Aeris, wajahnya pucat. "Ini tempat para monster."
Dari kejauhan, bayangan-bayangan besar mulai bergerak, wujudnya tak berbentuk, hanya siluet yang mengintimidasi.
"Kita harus pergi tanpa membuat suara. Jangan menarik perhatian mereka," bisik Aeris dengan nada mendesak.
Namun, langkah mereka terhenti ketika tanah tiba-tiba bergetar hebat. Sebuah cacing raksasa dengan rahang melingkar menerobos permukaan pasir, mengeluarkan suara gemuruh mengerikan.
"Ya ampun!" jerit Aeris, melayang lebih tinggi untuk menjauh.
Strohl menarik pedangnya dengan tegas, memutar tubuh untuk menghadapi makhluk itu. Dia memandang Aeris dengan tenang, meskipun keringat membasahi dahinya.
"Sepertinya dia ingin menjadikan kita makan malamnya," katanya, bersiap untuk bertarung.
-BERSAMBUNG-