Saat Strohl telah siap untuk menyerang, tiba-tiba Aeris melangkah maju dengan gerakan gesit, menciptakan perisai transparan yang memantulkan cahaya keemasan untuk menghalangi serangan Strohl yang sudah hampir menghantamnya. Dengan tatapan tajam dan suara penuh tekad, Aeris berkata, "Ini bukan saatnya. Untuk sekarang, ayo lari!" Wajahnya tampak serius, seolah memperingatkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertempuran itu.
Strohl menatap Aeris sejenak, kebingungannya tampak jelas, tetapi tanpa kata-kata lebih, mereka berdua segera berlari. Setiap langkah mereka dipenuhi kecemasan, karena monster-monster mengerikan terus menghadang. Namun, dengan kecepatan dan kelincahan mereka, Strohl dan Aeris berhasil menghindari serangan-serangan mematikan yang dilemparkan oleh makhluk-makhluk itu. Selama mereka berlari, perasaan tegang semakin mengikat mereka, namun akhirnya, mereka berhasil keluar dari tempat itu, dan para monster pun berhenti mengejar.
Di tengah nafas yang tersengal, Strohl menatap Aeris dengan penuh keheranan. "Kenapa kau menghalangiku?" tanyanya, suaranya terdengar agak kesal, meskipun tidak sepenuhnya marah. Aeris berhenti sejenak, memandangnya dengan ekspresi yang campur aduk, lalu berkata dengan nada tegas, "Kau gila, ya? Para monster itu menyerang secara kelompok! Kita akan mati jika menyerang mereka secara sembrono. Jaga dirimu, Strohl."
Saat mereka melanjutkan perjalanan, sebuah suara gaduh terdengar di kejauhan, memecah keheningan yang sebelumnya terasa mencekam. Mereka menoleh, melihat ke arah barat, dan di sana, samar-samar terlihat sebuah kota besar yang ramai. Aeris menatapnya, dan Strohl tak bisa menahan senyuman yang terbit di wajahnya. "Akhirnya kita sampai," ujarnya, matanya berkilau penuh harapan, dan mereka berdua segera mengarahkan langkah mereka menuju kota itu.
Setibanya di sana, keramaian kota Sablemoor langsung menyambut mereka. Kota ini dipenuhi oleh berbagai macam suku yang terkenal di dunia. Suku Bestialis, yang merupakan manusia hewan, Suku Cornu, manusia bertanduk, Suku Ocularis, manusia dengan pupil mata biru, dan Suku Gigantis, manusia dengan tubuh raksasa, semua tampak berlalu-lalang di jalan-jalan yang sibuk. Aeris memandang sekeliling dengan rasa kagum. "Tempat ini sangat ramai, ya?" ucapnya dengan suara yang sedikit terkejut, sambil mengamati kerumunan.
Tiba-tiba, suara seorang pria dari suku Cornu terdengar dari sebuah kafe, di mana dia tengah menikmati kopi. "Hei, apa yang kita temukan di sini? Manusia?" suaranya sinis dan penuh kebencian. Dengan mata tajam, pria itu menatap Strohl, seolah ingin tahu apa yang membuatnya berbeda dari yang lain.
Bahkan beberapa orang di sekitarnya mulai berbisik, pandangan mereka tidak menyenangkan. "Apa yang dia lakukan di sini?" ujar seorang wanita, suaranya penuh rasa tidak suka. Strohl hanya menatap mereka tanpa menggubris, tetap tenang. strohl mengajak aeris pergi dari kerumunan yang semakin ramai, meskipun suasana semakin mencekam.
"Orang-orang itu membuatku kesal!" keluh Aeris, suaranya kesal. Wajahnya merona marah, dan ia mengatupkan giginya. Strohl hanya menghela napas, mencoba menenangkan temannya. "Tenanglah," jawabnya lembut, meskipun dalam hati ia pun merasa sedikit jengah dengan perlakuan orang-orang itu.
Mereka berjalan beberapa langkah lebih jauh, dan Strohl membeli sepotong roti dari pedagang di jalanan. Mereka duduk di sebuah bangku dekat pasar dan menikmati roti sambil berbicara lebih tenang. Perasaan mereka sedikit lega setelah makan, dan pikiran Aeris pun mulai reda.
"Jadi," Aeris bertanya dengan tatapan penasaran, "apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Wajahnya masih terlihat sedikit cemas, mungkin masih terganggu dengan perlakuan orang-orang di kota ini. Strohl menatapnya dengan serius, suaranya rendah dan penuh perhitungan. "Tadi, saat kita makan, aku mendengar beberapa orang berbicara tentang sebuah monster langka. Mereka bilang monster itu bisa menghancurkan kota ini."
Aeris terkejut, hampir tersedak dengan potongan roti yang baru saja digigitnya. "Apa? Tidak, tidak mungkin! Kota ini sudah dijaga oleh para ksatria dan para kaptennya! Tidak mungkin kota ini hancur begitu saja!" serunya, suaranya penuh keyakinan. Ia tampak ragu, namun ada sedikit keraguan yang mulai menyusup dalam pikirannya.
Strohl mengangkat bahu, wajahnya tetap datar dan penuh tekad. "Aku tidak tahu. Tapi, kalau monster itu benar-benar berbahaya, aku yakin para ksatria di sini tidak akan cukup kuat untuk melawan mereka. Jadi, aku berencana untuk mencarikannya."
Aeris mengernyitkan dahi, tampak bingung dan sedikit cemas. "Hah? Untuk apa? Ayolah, Strohl, ini tidak ada kaitannya dengan misi kita untuk mencari Trishard!"
Strohl tersenyum tipis, wajahnya penuh ketenangan. "Aku hanya akan mencarinya Aku tidak bilang akan melawannya. Setelah itu, aku akan melaporkan ke para ksatria di kota ini, dan mereka yang akan mengurusnya. Begitu, selesai."
Aeris menghela napas panjang, matanya menatap Strohl dengan ekspresi yang sedikit lebih lembut. "Begitu ya... Aku minta maaf," katanya, merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan Strohl.
Dengan langkah yang lebih tenang, mereka melanjutkan perjalanan, meskipun kegelapan misteri monster yang sedang mengancam kota ini masih membayangi mereka.
tiba tiba Sekelompok ksatria menunggangi kuda mereka dengan kecepatan luar biasa, menerobos keramaian jalanan. Mereka berteriak dengan suara lantang, menggema di seluruh kota. "Sang pangeran telah meninggal!" Teriakan mereka mengguncang suasana, membuat warga terdiam, seolah terkejut dan bingung. Strohl dan Aeris terperangah mendengar kabar itu.
"Ap-apa?!" seru Strohl, terkejut. Matanya membelalak. Tanpa berpikir panjang, ia segera berdiri dan berlari secepat kilat, suaranya penuh kegelisahan. "Aeris, ikuti aku!"
Aeris, yang semula kebingungan, segera menyusul Strohl dengan langkah cepat. Mereka berlari menuju pintu gerbang kerajaan. Sesampainya di sana, mereka bertemu seorang pria tua yang tampak bingung dan curiga melihat kedatangan mereka.
"Kau siapa?" Pria tua itu menatap mereka tajam, suaranya penuh keraguan.
"Beritahu aku kebenarannya!" seru Strohl, matanya penuh tekad, tubuhnya terengah-engah.
Pria tua itu menyipitkan mata, mengukur kehadiran Strohl dengan pandangan penuh makna. Ia kemudian mengangguk dan berkata, "Ikuti aku." Mereka menyusuri jalan pintas, melewati lorong bawah tanah yang gelap, hingga akhirnya sampai di sebuah ruang rahasia yang terkunci rapat. Di dalam ruang itu, terdapat sebuah peti besar, dan di dalamnya terbaring seorang pangeran, tubuhnya dipenuhi akar-akar sihir yang menyeramkan.
Pria tua itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Naros, seorang penyihir medis, memandang Strohl dengan tajam. "Seharusnya aku melarangmu masuk ke sini, tapi aku melihat matamu yang berbeda. Mata kananmu oranye... Kau dari suku Edornia, bukan?"
Strohl terkejut mendengar itu. Ia segera mencari cermin, dan begitu melihat refleksinya, ia terhenyak. Mata kanannya kini benar-benar berwarna oranye. "Apa yang terjadi, Aeris?" Strohl bertanya kebingungan.
Aeris menghela napas, wajahnya tampak serius. "Aku kira kau sudah menyadarinya. Mata oranye itu muncul saat kau membangkitkan Soul Sword-mu."
Naros mengangguk pelan. "Jika kau belum tahu, sebaiknya kau membaca buku sejarah tentang suku Edornia. Tapi untuk sekarang, kita harus bicara soal pangeran." Naros mengarahkan pandangannya pada peti yang berisi sang pangeran. "Pangeran ini tidak meninggal. Ia hanya terkena kutukan yang hanya bisa dihancurkan jika pengirim kutukan itu dibunuh."
Aeris dan Strohl terkejut mendengar penjelasan itu, dan Naros melanjutkan, "Aku berusaha mencegah agar pangeran tidak dikubur. Karena jika ketahuan, aku terpaksa melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang ingin menguburnya, bahkan terhadap orang tua sang pangeran sekalipun."
Strohl dan Aeris mengangguk perlahan, memahami situasi yang mereka hadapi. Tanpa banyak bicara lagi, mereka pun pergi dari kerajaan dan mencari tempat untuk beristirahat. Mereka duduk di bawah pohon besar di taman, merenung sejenak sambil merencanakan langkah selanjutnya.
Tiba-tiba, seorang pria muncul di hadapan mereka. Ia mengenakan jubah hitam sederhana, dengan pedang terhunus di tangan. Ia memandang Strohl dengan tatapan misterius dan berkata, "Kira-kira, apa yang akan terjadi pada dunia ini?" Suaranya bergetar penuh tanda tanya, dan ia tersenyum lebar.
"Ya, ada yang bisa kubantu?" tanya Strohl, sedikit bingung dengan kedatangan pria itu.
"Tak ada," jawab pria itu cepat, sambil tertawa kecil, membuat Strohl dan Aeris semakin bingung. Pria itu memandang Soul Sword Strohl dan bertanya, "Kau seorang ksatria?"
"Bukan," jawab Strohl singkat, "Aku baru saja memulai perjalanan ini."
Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi. "Dilihat-lihat, sepertinya kau sudah membangkitkan Soul Sword-mu. Bagaimana kalau kita latihan bertarung sekali? Hanya sekali saja."
Strohl ragu, tapi akhirnya ia berdiri, meskipun dengan sedikit keraguan. "Baiklah."
Dengan senyum lebar, pria itu membimbing Strohl ke sebuah lapangan luas tak jauh dari hutan. "Serang duluan," ujar pria itu sambil melangkah ke tengah lapangan, menantang Strohl.
"Jujur saja, aku masih belum terlalu hebat dalam menyerang," kata Strohl, merasa kurang yakin.
"Serang saja," pria itu menjawab penuh percaya diri. "Tidak apa-apa."
Mendengar perintah itu, Strohl langsung bergerak cepat. Pedangnya terayun, mencoba menebas pria itu. Namun, pria itu hanya melemaskan tubuhnya, menghindari serangan Strohl dengan gerakan yang begitu halus. Strohl pun mundur sejenak, menyadari bahwa pria ini bukanlah sembarang orang.
"Apakah sudah selesai?" Pria itu tiba-tiba berkata, suaranya menggema. Tanpa peringatan, Strohl merasa tubuhnya kaku, seolah ada energi misterius yang menahannya. Ia tak bisa bergerak, bahkan untuk berbicara pun sangat sulit.
"Aeris, bergeraklah!" teriak Aeris, khawatir melihat Strohl yang terdiam.
Pria itu menghunus pedangnya dan berkata dengan tenang, "Keluarlah, Siegfried."
Tiba-tiba, di hadapan Strohl muncul sosok ksatria transparan, dipenuhi energi sihir yang kuat. Ksatria itu melancarkan tebasan menuju tubuh Strohl.
Namun, anehnya, Strohl merasakan dirinya kembali bisa bergerak, dan tubuhnya tidak terluka sama sekali. Ternyata, itu semua hanyalah kekuatan ilusi yang dimiliki pria itu. Pria misterius itu tersenyum puas, seolah senang melihat reaksi Strohl.
"Yah, sampai sini dulu," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Namaku Darius Rhyvaron. Aku bukan dari suku mana pun, aku hanya seorang manusia biasa."
Aeris dan Strohl menatap pria itu dengan wajah serius, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Darius melanjutkan, "Kau tahu, Soul Sword itu seperti kita, mereka hidup dalam bentuk pedang. Setiap Soul Sword memiliki nama dan kekuatan khususnya masing-masing. Contohnya, pedangku ini bernama Siegfried. Dan ada tahap pelepasan yang disebut 'Taishin'. Soal itu, kau akan tahu nanti."
Dengan itu, Darius berbalik, meninggalkan mereka di lapangan. "Sampai jumpa," katanya sambil melambaikan tangan, lalu pergi begitu saja.
Strohl dan Aeris terdiam, mencoba memahami setiap kata yang baru saja mereka dengar, dan memikirkan langkah mereka selanjutnya.
Malam itu, langit di atas kota dipenuhi kerlip bintang, namun suasana hati Strohl dan Aeris jauh dari damai. Setelah semua yang terjadi, mereka memutuskan untuk mencari penginapan terdekat. Udara dingin menyelimuti jalan-jalan berbatu, dan kota terasa tenang meski di bawah permukaannya ada ketegangan yang tak terlihat.
Di dalam kamar penginapan sederhana itu, Strohl mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. Aeris yang duduk di kursi dekat jendela, memperhatikan tumpukan buku tersebut dengan mata penasaran. Salah satu judul menarik perhatiannya: "The Soul Fantasy".
"Hei, itu buku apa?" tanya Aeris, memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.
Strohl menoleh, tersenyum tipis. "Buku ini menggambarkan dunia fantasi. Kau mau lihat?" katanya sambil menyodorkan buku itu.
Aeris mengangguk antusias. Strohl membuka halaman demi halaman, memperlihatkan gambar-gambar yang memukau. Di dalam dunia fantasi itu, banyak benda futuristik yang tidak pernah mereka bayangkan. Kendaraan udara melayang bebas, membawa manusia ke berbagai tempat, sementara mobil-mobil berteknologi canggih berbaris di jalanan penuh cahaya neon. Semua terlihat seperti mimpi dari masa depan yang tak terjangkau.
"Buku ini menakjubkan. Siapa yang menulisnya?" Aeris bertanya, matanya berbinar.
"Seorang penulis misterius bernama Bibelot. Dia belum pernah menunjukkan dirinya ke dunia," jawab Strohl, suaranya mengandung kekaguman.
Percakapan mereka berlangsung cukup lama, sampai akhirnya rasa kantuk mengalahkan rasa ingin tahu. Keduanya tidur dengan pikiran yang masih dipenuhi imaji dunia fantasi dari buku itu.
---
Keesokan paginya, hiruk-pikuk kota kembali mengisi udara. Di luar penginapan, para ksatria tengah membawa peti mati yang dikawal ketat menuju upacara penguburan. Strohl yang melihat keramaian itu dari jendela memasang wajah penuh tanya.
"Apakah Tuan Naros gagal?" gumamnya pelan.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya dari belakang. Strohl menoleh cepat, sedikit terkejut. Di depannya berdiri Naros, dengan jubahnya yang berayun pelan ditiup angin pagi.
"Heh, bocah Edornia," sapa Naros dengan nada rendah, namun cukup tegas.
"Tuan Naros? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Strohl bingung.
Naros menatap Strohl dengan mata tajam. "Yang ada di peti itu bukanlah pangeran. Itu hanya boneka replika. Pangeran yang asli masih tersembunyi di ruang bawah tanah kerajaan."
Strohl menghela napas lega, tetapi kekhawatirannya belum sepenuhnya hilang. "Begitu ya..." katanya pelan.
Namun suasana mendadak berubah kacau. Teriakan orang-orang memenuhi udara. Beberapa ksatria yang mengusung peti tiba-tiba ambruk tanpa sebab yang jelas. Dari tengah kerumunan, seorang pria dengan wajah sinis melangkah maju. Dia mengenakan pakaian khas suku Cornu dan memasang kaki kanannya di atas peti.
"Aku, Louis Varcolac, akan menjadi pemimpin baru negeri ini!" serunya lantang, suaranya menggema di seluruh alun-alun.
Sorakan mendukung terdengar dari kelompok suku Cornu, sementara suku-suku lain memandangnya dengan ketidakpercayaan.
Tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Langit mendung bergemuruh, dan dari atas muncul wajah raksasa berbatu dengan mata yang bersinar terang. Ia memasang ekspresi murka yang membuat semua orang bergidik.
"Namaku Tartarus," suara beratnya menggema, "Aku adalah perwakilan dunia. Ketika ada perpecahan dalam memilih pemimpin, akulah yang akan menentukan siapa yang berhak memimpin negeri ini!"
Seketika, tanah terangkat, membentuk sebuah kastil besar dengan lantai yang terlihat tak terbatas. Bangunan itu berdiri menjulang, megah dan menakutkan.
"Siapa pun yang mampu mengalahkanku di puncak kastil ini, akan menjadi pemimpin negeri ini!" Tartarus mengumumkan sebelum perlahan menghilang.
Louis tersenyum sinis dan tanpa ragu melangkah masuk ke dalam kastil. Sementara itu, orang-orang di sekitarnya berlarian ketakutan, berusaha menjauh dari kastil raksasa itu.
Di tengah kekacauan, seseorang menghampiri Strohl dan Aeris. Strohl mengenali pria itu. Dia adalah ksatria yang pernah menyelamatkannya dari bandit gunung.
"Dunia semakin kacau, bukan?" kata pria itu sambil tersenyum tipis.
Aeris langsung mengenalinya. "Strife! Terima kasih atas bantuanmu waktu itu," katanya senang.
Strife tertawa kecil. "Senang melihat kalian selamat. Tapi, apa rencanamu sekarang?" tanyanya sambil melirik ke arah kastil.
Strohl berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak akan masuk ke kastil itu sekarang. Terlalu berbahaya. Aku akan berkeliling dunia, mencari kekuatan, dan berlatih. Ini mungkin akan menjadi perjalanan panjang."
Strife mengangguk pelan. "Kalau begitu, izinkan aku ikut. Aku punya dendam pribadi pada Louis. Dia menghancurkan desaku, dan aku satu-satunya yang selamat."
Strohl terkejut mendengar cerita itu. "Louis menghancurkan desamu? Bukankah kalian berasal dari suku yang sama?"
Strife mengepalkan tangan, suaranya bergetar penuh emosi. "Dia membunuh pemimpin suku kami untuk merebut takhta. Desaku menolak mendukungnya, jadi dia menghancurkannya tanpa ampun."
Aeris yang mendengar cerita itu terlihat terkejut. "Louis benar-benar kejam..."
Strohl memandang Strife dengan tatapan tegas. "Baiklah. Kalau kau ingin ikut, bersiaplah. Ini akan menjadi perjalanan yang berat."
Strife mengangguk mantap. "Aku sudah siap."
naros berkata "izinkan aku ikut bersamamu juga, karena akan bahaya jika aku tetap disini"
strohl bertanya "bagaimana dengan pangeran ?" lalu naros menjawab "dia sudah berada di tempat yang terjamin aman"
Dengan tekad yang sama, keempatnya memulai perjalanan baru, meninggalkan kota yang kini berdiri di bawah bayang-bayang kastil Tartarus. Di dalam hati mereka, ada harapan dan tekad untuk mengubah nasib dunia yang mulai dilanda kekacauan
-BERSAMBUNG-