Kael melangkah pelan di lorong perpustakaan kota yang sepi. Tangannya meraba-raba barisan buku tua, mencoba mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya yang berat. Hujan deras di luar membuat tempat itu semakin hening, hanya menyisakan suara rintik hujan dan gelegar petir yang sesekali terdengar.
Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap bayangan seseorang di sudut ruangan. Seorang perempuan berdiri membelakanginya, mengenakan mantel hitam panjang yang basah. Rambutnya yang panjang menjuntai hingga pinggang, seperti tirai gelap yang menyerap cahaya di sekitarnya.
Kael mematung. Sosok itu terlalu familier.
"Elara?" gumamnya, hampir tak percaya.
Perempuan itu perlahan berbalik, menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh rahasia. Namun, tidak ada senyum kali ini—hanya tatapan datar yang membuat Kael merasakan ada sesuatu yang berbeda.
"Apa kau mencariku?" tanya Elara dingin, suaranya hampir berbisik namun terdengar jelas di telinga Kael.
Kael ingin menjawab, tapi kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. Kenapa dia di sini? Kenapa sekarang?
"Jika ya," lanjut Elara sambil melangkah mendekat, "kau tak seharusnya."
Kael mengepalkan tangannya. "Apa maksudmu?"
Elara tersenyum tipis, senyum yang sama seperti di masa lalu. "Ada hal-hal yang tak boleh kau ketahui, Kael. Dan aku di sini hanya untuk memastikan itu tetap seperti itu."
Saat Kael hendak menahan tangannya, Elara sudah menghilang. Hanya aroma samar bunga lavender yang tertinggal di udara, meninggalkan Kael dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab.