Chapter 3 - setengah???

Setelah kembali tenggelam dalam kecanggungan di sepanjang perjalanan akhirnya Nathan buka suara saat setelah turun dari mobil. "Tersenyumlah." Tukas pria itu sambil turun membuat Celine memutar matanya malas lalu tersenyum manis saat pintu mobil bagiannya di buka oleh pria itu, suaminya.

"Ku pikir akan lebih lama menunggu, tapi kalian sepertinya sangat antusias menjemputku, ya?" Tutur wanita tua yang sudah berdiri dan menunggu di pintu masuk. "Selamat pagi, nek?" Sapa Celine pada sosok tua yang menyambut kedatangan mereka secara langsung.

Awalnya wanita tua ini menjadi salah satu yang menentang pernikahan Nathan dan Celine, mungkin karena Celine yang lemah lembut membuat wanita ini luluh dan menerimnya dengan tangan terbuka.

"Bagaimana? Apa kamu sudah mengikuti saranku, hem?" Bisik wanita tua itu pada cucu menantunya yang kini mendadak merah, Nathan yang melihat perubahan warna wajah istrinya itu hanya bisa meninggikan sebelah alisnya bingung.

"Apa yang kalian bicarakan, nek?" Tutur Nathan menyela di antara wanita tua itu dan Celine. "Ck, ini urusan wanita, kamu jangan ikut campur, sayang." Tukas wanita yang di tuakan itu membuat Nathan merengut. "Tidak adil!" Rutuknya merengek membuat wanita tua itu tertawa.

"Line, pokoknya kalau bisa nenek mau cicit perempuan, ya." Tukas wanita itu berbisik lagi pada cucu menatunya yang tersenyum kecut. Entah apa yang akan terjadi pada wanita tua ini kalau tahu kalau mereka akan berpisah dua bulan lagi.

"Sepertinya sulit, nek. Aku suka anak laki laki." Balas Celine dengan mengulum senyum membuat wanita tua itu memutar mata. "Anak laki laki itu merepotkan, sayang. Mereka rewel dan manja, kamu akan kesulitan merawat mereka nanti." Cetus wanita itu membuat Celine terkekeh geli.

"Kan ada nenek yang membantu Celine untuk menjaga mereka, jadi aku tidak perlu khawatir, kan? Hehe..." gurau Celine membuat wanita tua itu menatap dengan sorot mencibir. "Cih, dasar anak tidak tahu malu!" Umpatnya.

"Terserah saja, yang penting aku punya cicit." Tukas wanita tua itu membuat Celine menarik senyum kecut lalu melirik sosok suaminya yang melipat tangan dengan tatapan bingung dan penasaran.

"Nathan, aku ingin bicara sebentar denganmu sebentar, sayang." Tukas wanita itu melirik pada cucu tersayangnya. "Kamu tinggal sebentar ya,sayang? Tidak akan lama, kamu bisa membawa koper nenek, kan?" Tutur wanita itu lembut pada Celine yang mengangguk paham.

"Iya, nek." Tukas Celine lalu pergi menuju kamar wanita tua itu, wanita tua itu melirik cucunya yang diam dengan tatapan bertanya. "Ikuti nenek!" Perintahnya masih dengan suara lembut membuat Nathan jadi mengekor.

"Ayahmu menitipkan pesan sebelum dia meninggal, ayahmu membuat surat warisan tanpa sepengetahuanku." Tukas wanita itu membuat Nathan kaget. "Kalau masalah warisan bukannya sudah jelas, nek? Untuk apa nenek membicarakan masalah ini?" Ujar Nathan menjelaskan tapi wanita itu hanya diam.

"Ayahmu membagi warisannya, Nathan!" Tukas wanita itu cepat. "APA?!" Tukas Nathan kaget. "Apa maskud nenek?" Lanjutnya dengan wajah panik, entah kenapa dia punya kesimpulan aneh dalam pikirannya saat melihat wajah sang nenek.

"Jangan bilang..." ucapnya gantung. "Ya, kamu benar, sayang. Seperempat warisannya adalah milik Celine dan seperempat lagi milik anak yang akan lahir di antara kalian, Nathan." Tukas wanita itu menjelaskan secara singkat.

"Gila! Ini tidak masuk akal, nek!?" Pekik Nathan tak terima. "Jangan bercanda, nenek serius?" Lanjutnya masih sulit untuk percaya.

"Jadi maksudnya aku hanya dapat setengah, begitu?" Ujar Nathan lagi membuat wanita tua itu mengangguk. "Ya, itu benar." Wanita itu memebenarkan.

Brakkk

Nathan menghantam meja sofa empuk yang ia duduki dengan penuh amarah. "Jangan bercanda, bisa bisanya... sialan!" Umpatnya merutuk kesal pada mendiang ayahnya.

Bajingan itu tahu semuanya, ya? Cih, dia masih merepotkan bahkan setelah dia mati, apa yang dia pikirkan soal anak di antara kami, bangsat! Aku tidak berniat sampai sejauh itu, sialan!

Rutuk batin Nathan sambil mengusap wajahnya kasar, sedangkan wanita tua itu hanya diam dan mengamati.

Ingatan tentang hari di mana ia berbicara dengan mendiang putrany terlintas.

"Ibu, aku akan membagi warisanku untuk Celine dan anak yang akan lahir darinya, Nathan mungkin akan menceraikan Celine setelah aku mati, tapi menantuku tidak boleh hidup melarat, ku harap ibu mau membantuku."

Ucapan Aron melintas dalam pikiran wanita tua itu, Kalia.

"Kenapa kamu sepanik itu, sayang. Tidak ada salahnya jika istri dan anakmu mendapatkan bagian, kan?" Tutur wanita itu membuat Nathan menggeram kesal. "Tidak akan ada anak di antara kami, nek. Nenek seharusnya tahu kalau Celine itu mandul!" Tukas Nathan membuat Kalia mengencangkan rahang marah.

"Pria yang bahkan belum pernah menggaulinya bicara seolah istrinya benar benar mandul! Di mana urat malu mu, nak?!" Geram Kalia membuat Nathan kaget. Bagaimana bisa neneknya tahu kalau dia tidak pernah menyentuh istrinya?