Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat, hiduplah seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Mahendra. Dengan rambut hitam yang selalu berantakan dan sorot mata penuh tekad, ia membawa mimpi besar yang diwariskan oleh kedua orang tuanya.
Hari itu, di usianya yang ke-17, Mahendra telah memutuskan sesuatu yang besar: meninggalkan desa untuk menjelajahi dunia. Itulah awal dari kisah hidupnya.
---
Mahendra menarik napas panjang sambil mengemas pakaian dan persediaan makanan ke dalam ransel usangnya. Tangannya sedikit bergetar saat ia berdiri di depan meja kecil, tempat foto almarhum ayah dan ibunya diletakkan.
"Mahendra akan berkelana ke berbagai tempat, seperti mimpi Ayah dan Ibu dulu... Semoga Ayah dan Ibu tenang di alam sana," katanya dengan suara bergetar.
Saat ia melangkah keluar, Pak Kades, seorang pria tua dengan wajah penuh kerut, menghampirinya. Ia menatap Mahendra dengan pandangan berat.
"Nak, apa kau benar-benar serius akan hal ini?" tanyanya sambil memeluk Mahendra erat.
Mahendra tersenyum kecil. "Iya, Pak. Cepat atau lambat, saya harus pergi. Terima kasih atas semua yang Bapak lakukan untuk saya. Bapak sudah seperti ayah saya sendiri."
Pak Kades menepuk pundaknya. "Hati-hati di luar sana, Nak. Dunia di luar desa ini tidak selalu ramah."
Mahendra mengangguk, lalu melangkah menjauh. Ia menoleh sekali lagi, melambaikan tangan kepada penduduk desa yang melihatnya pergi. "DADAH! JAGA DIRI KALIAN!"
---
Langit mulai gelap ketika Mahendra tiba di hutan di pinggiran desa. Ia mendirikan tenda seadanya di dekat pohon besar, lalu pergi mencari kayu bakar. Namun, suara gemuruh dari dalam hutan membuatnya berhenti.
"AAAAHGGG, babi! Dasar bajingan!" terdengar suara seseorang berteriak.
Mahendra mengernyit. "Masa ada yang kalah sama babi hutan?" gumamnya sambil melangkah menuju sumber suara. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seekor babi raksasa setinggi dua meter dengan tubuh sebesar mobil.
"Apa-apaan babi itu?!" serunya, terkejut.
Babi itu menatap Mahendra dengan mata merahnya, lalu berlari menghantam pohon-pohon seperti bulldozer.
Mahendra menggenggam Mandau 7 Rupa, sebuah artefak peninggalan leluhurnya. "Mandau Angin, hembuskan pedangmu!" serunya. Angin tajam melesat dari pedang itu, menyayat kulit babi raksasa, namun hanya meninggalkan luka dangkal.
"Aku butuh serangan yang lebih kuat!" Mahendra memutar tuas kecil di ujung Mandau di tangannya. "Mandau Air, semburkan kekuatanmu!" Aliran air deras menyembur dari pedangnya, membasahi tubuh babi itu.
Kini ia tersenyum tipis. "Mandau Petir, petir, bergejolaklah!" Petir menyambar tubuh basah babi itu, membuatnya terkapar tak berdaya.
Saat Mahendra memandangi tubuh babi raksasa yang mati, ia mendengar suara lain.
"Bro, boleh bagi dagingnya nggak?"
Mahendra menoleh cepat, matanya membulat. Di atas pohon, seekor monyet hitam duduk santai sambil tersenyum lebar.
"M-Monyetnya... BICARA?!" seru Mahendra, memasang kuda-kuda.
"Tunggu dulu, bro, chill bro," kata monyet itu, mengangkat kedua tangannya seperti menyerah.
Mahendra masih memandangnya dengan penuh waspada. "Kau bicara pakai bahasa apa itu?"
"Aku juga nggak tahu," jawab monyet itu, mengambil sepotong daging babi dan melahapnya dengan lahap.
Mahendra mendesah, lalu duduk di dekat api unggun. "Ya sudah, jangan habiskan semuanya," katanya, ikut mengambil daging untuk dimakan.
Monyet itu menunjuk Mandau di tangan Mahendra. "Ngomong-ngomong, itu apa?"
"Oh, ini?" Mahendra mengangkat pedangnya. "Ini artefak peninggalan kakek buyutku. Namanya Mandau 7 Rupa."
Malam semakin larut. Mahendra tidur di dalam tenda kokoh yang ia dirikan, sementara monyet hitam itu bergelantungan di atas pohon, mengunyah sisa daging dengan santai.
---
Sekilas info:
1. Mandau adalah senjata tradisional serupa parang panjang yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak.