Bab 11: Gerbang Jiwa Murni
Setelah mengikuti BoaKarsa melalui lorong gelap di dalam kuil, Wira dan teman-temannya akhirnya sampai di sebuah gerbang besar. Gerbang itu terbuat dari batu hitam yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang tampak berkilau, memancarkan aura misterius. Begitu mereka mendekat, BoaKarsa berhenti dan menoleh ke Wira.
"Di sini, hanya dirimu yang bisa masuk," kata BoaKarsa dengan suara yang penuh makna. "Gerbang ini hanya bisa dilewati oleh jiwa yang murni. Tidak ada yang bisa masuk selain dirimu, Wira Candra Tirtha."
Wira tercengang mendengarnya. "Apa maksudmu, BoaKarsa? Aku tidak mengerti."
BoaKarsa menjelaskan dengan tenang, "Gerbang ini menguji ketulusan dan kemurnian hati. Hanya jiwa yang tidak dipenuhi dengan rasa benci, dendam, atau nafsu, yang dapat melewati ambang batas ini. Itu sebabnya, hanya dirimu yang dapat masuk. Kamu yang membawa artefak ini, dan hanya jiwa yang murni yang bisa menahan beban yang tersembunyi di balik gerbang ini."
Setelah mendengar penjelasan itu, Wira terdiam sejenak, merenungkan kata-kata BoaKarsa. "Jadi, aku harus masuk sendiri?" tanya Wira, masih tidak yakin.
"Ya," jawab BoaKarsa. "Jika kamu benar-benar ingin menemukan jalan menuju Mahaguru Shakra, kamu harus melewati ujian ini seorang diri."
Dengan rasa ragu, Wira melangkah maju, mendekati gerbang besar yang terbuka perlahan seiring dengan langkahnya. Begitu dia melewati ambang pintu, tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita. Tidak ada cahaya, hanya keheningan yang mencekam. Di dalam kegelapan itu, suara-suara aneh mulai terdengar. Suara tangisan, suara pertempuran, dan teriakan-teriakan yang seakan datang dari masa lalu, menyelimuti Wira.
"W-apa ini?" Wira bertanya, tubuhnya bergetar ketakutan. "Kenapa bisa seperti ini?" Suara-suara itu semakin keras, seakan menekan pikirannya, membuatnya hampir tidak bisa bernafas. Wira merasa gelisah, kebingungan, dan ketakutan bercampur aduk. "Apa yang terjadi? Kenapa aku merasa seperti ini?"
Tubuhnya mulai lemah, dan dia hampir pingsan. "Aku tidak bisa tinggal di sini," gumam Wira. "Aku harus melanjutkan perjalanan ini."
Dengan tekad yang membara, Wira duduk di atas tanah, berusaha menenangkan dirinya. Ia menutup matanya dan mulai menggabungkan ilmu spiritualnya dengan ilmu pengobatan yang telah ia pelajari. Dengan penuh konsentrasi, ia mencoba mengendalikan diri, menyatukan kekuatan dalam tubuhnya, dan memusatkan perhatiannya.
Tiba-tiba, kekuatan dalam dirinya mulai mengalir, dan suara-suara aneh yang memenuhi ruang itu mulai mereda. Perlahan, kegelapan itu pun menghilang, meninggalkan Wira dalam keadaan hening.
Suara berat yang penuh kebijaksanaan tiba-tiba terdengar di telinganya. "Wira Candra Tirtha... akhirnya, kamu sampai juga." Suara itu mengenalinya sebagai suara Mahaguru Shakra.
"Mahaguru Shakra..." Wira bergumam, sambil membuka matanya. Di hadapannya, muncul sosok Mahaguru Shakra, seorang pria berwibawa dengan aura kedamaian yang mengelilinginya.
"Selamat datang, Wira Candra Tirtha. Aku sudah menunggumu," kata Mahaguru Shakra dengan senyum penuh kedamaian. "Aku tahu perjalanmu tidak mudah. Kini, kamu telah sampai di tempat ini, tempat yang penuh dengan ujian jiwa dan kekuatan."
Wira menunduk hormat, merasa terhormat bisa bertemu dengan Mahaguru Shakra. "Terima kasih, Mahaguru. Perjalanan ini penuh dengan tantangan. Aku telah bertemu dengan banyak mahaguru, dan setiap langkah membawa aku lebih dekat ke tujuan."
Mahaguru Shakra mengangguk, "Perjalananmu baru saja dimulai, Wira. Kami, para Mahaguru, telah lama menunggu kedatanganmu. Kamu adalah kunci untuk menyatukan artefak-artefak yang tersebar, dan menyeimbangkan kekuatan alam semesta. Namun, ujianmu masih jauh dari selesai."
Wira mengangkat wajahnya, penuh rasa ingin tahu. "Aku sudah menemukan dua artefak, Mahaguru. Namun, masih ada banyak yang harus kuhadapi, bukan?"
"Benar," jawab Mahaguru Shakra. "Setiap artefak membawa kamu lebih dekat, namun setiap langkah juga akan menguji kesungguhan dan jiwa murnimu. Bersiaplah untuk menghadapi lebih banyak tantangan. Karena hanya mereka yang siap, yang bisa mencapai tujuan terakhir mereka."
Wira mengangguk dengan penuh keyakinan, siap untuk melanjutkan perjalanannya. "Aku siap, Mahaguru. Aku akan melanjutkan perjalanan ini, untuk menyatukan semua artefak dan memenuhi takdirku."
Mahaguru Shakra tersenyum. "Kami percaya padamu, Wira Candra Tirtha. Teruslah berjalan, dan jangan pernah menyerah. Keseimbangan dunia ini ada di tanganmu."
---
Bab 12: Artefak Ketiga yang Mengeluarkan Petir
Di hadapan Wira, Mahaguru Shakra mengangkat tangannya, dan dari udara yang hening, tiba-tiba sebuah cahaya besar muncul di depan mereka. Cahaya itu bersinar terang, hampir membuat Wira terpesona, dan dalam sekejap, bentuk sebuah artefak yang mengeluarkan petir muncul di tangan Mahaguru Shakra.
Wira terkejut dan mundur sedikit. "Apakah itu artefak ketiga, wahai Mahaguru?" tanya Wira, matanya tidak dapat melepaskan pandangannya dari artefak yang bersinar dengan energi petir yang menggelegar itu.
Mahaguru Shakra tersenyum bijaksana dan mengangguk. "Iya, ini adalah artefak ketiga yang kamu cari. Namun, seperti yang kamu tahu, setiap artefak yang kamu temui harus kamu gabungkan dengan artefak yang kamu bawa. Tapi hati-hati, Wira. Artefak ini akan menguras energimu, bahkan lebih dari yang sebelumnya. Kamu harus siap."
Wira menatap artefak itu dengan penuh tekad, meskipun dalam hatinya, ia merasa sedikit gentar. "Aku siap, Mahaguru. Aku akan melakukannya."
Mahaguru Shakra memberi isyarat untuk memulai. "Gabungkanlah kedua artefak itu, Wira. Jangan ragu, percayalah pada dirimu sendiri."
Dengan hati yang penuh keberanian, Wira mengangkat artefak yang ia bawa dan mendekatkannya dengan artefak ketiga yang ada di tangan Mahaguru Shakra. Begitu kedua artefak itu bertemu, seketika aura energi yang sangat kuat muncul, memancar keluar dan mengelilingi Wira. Petir yang menggelegar menyambar ke segala arah, membuat Wira hampir terhuyung oleh kekuatan itu. Energi yang mengalir melalui tubuhnya begitu besar, seolah-olah seluruh tubuhnya ingin terpisah dari kekuatan yang tak terkendali itu.
Namun, Wira tetap bertahan. Dengan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya, ia fokus dan menenangkan diri, mengarahkan aliran energi itu sesuai dengan ilmunya. Dalam sekejap, kedua artefak itu mulai menyatu, dan dalam ledakan cahaya yang mengaburkan seluruh ruang, kedua artefak itu akhirnya menyatu, berubah menjadi sebuah pedang bercahaya yang mengeluarkan petir. Pedang itu berkilauan dengan cahaya yang sangat terang, dan petir menyambar-nyambar di sekitar pedang itu, menunjukkan betapa kuatnya energi yang ada di dalamnya.
Wira terengah-engah, merasa sangat lelah karena besarnya energi yang terkuras, tetapi ia merasa puas. "Aku berhasil..." Wira berkata dengan napas terengah, memandang pedang yang kini berada di tangannya. Pedang itu berkilau dengan cahaya yang begitu mempesona, petir yang mengelilinginya memberi kesan kekuatan yang tak terbatas.
Mahaguru Shakra tersenyum puas, matanya memancarkan kebanggaan. "Kamu benar-benar luar biasa, Wira Candra Tirtha. Kamu telah mengikuti jejak gurumu, Empu Tirtha. Memang, takdirmu adalah untuk menyatukan artefak-artefak ini, sama seperti gurumu dahulu."
Wira menunduk dengan hormat. "Terima kasih, Mahaguru. Tapi, aku ingin tahu lebih banyak tentang guruku, Empu Tirtha. Apa yang membuatnya begitu penting dalam perjalanan ini? Dan apa yang membuat artefak-artefak ini begitu kuat?"
Mahaguru Shakra memandang Wira dengan tatapan yang penuh makna, lalu ia mulai menceritakan kisah masa lalu yang terlupakan. "Empu Tirtha adalah seorang mahaguru yang sangat kuat dan bijaksana. Beliau bukan hanya seorang ahli dalam ilmu spiritual dan pengobatan, tetapi juga pemegang kunci dari artefak-artefak kuno yang menjaga keseimbangan alam semesta. Beliau dan aku, bersama dengan para mahaguru lainnya, menjaga agar dunia tetap seimbang."
Mahaguru Shakra melanjutkan ceritanya, "Namun, dalam perjalanan waktu, kekuatan gelap muncul yang ingin menguasai dan memanipulasi kekuatan artefak-artefak ini untuk kepentingan mereka sendiri. Itulah sebabnya artefak-artefak ini harus terpecah, agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Empu Tirtha, sebagai pemimpin kami, memutuskan untuk menyembunyikan artefak ini dan membagi-bagikan kekuatan mereka kepada orang-orang terpilih, termasuk kamu, Wira."
Wira mendengarkan dengan seksama, semakin mengerti tentang perannya dalam takdir ini. "Jadi, aku adalah bagian dari takdir besar yang dimulai dengan guruku, Empu Tirtha?"
"Benar," jawab Mahaguru Shakra, matanya berbinar dengan kebijaksanaan. "Sekarang, kamu yang harus melanjutkan perjuangan ini. Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah kekuatan yang diwariskan dari Empu Tirtha. Dan hanya kamu yang bisa menyatukan semua artefak ini untuk menjaga keseimbangan dunia."
Wira menggenggam pedang itu dengan lebih kuat, tekadnya semakin bulat. "Aku akan melakukannya, Mahaguru. Aku akan melanjutkan perjuangan ini untuk menjaga keseimbangan dunia, dan memenuhi takdir yang telah digariskan untukku."
Mahaguru Shakra tersenyum lagi, merasa yakin bahwa Wira akan mampu melanjutkan perjalanan ini dengan penuh keberanian dan kebijaksanaan.