Di bawah langit kelabu yang bergulung-gulung, Desa Qinghe tampak sunyi, hanya diisi dengan desiran angin yang membawa aroma tanah basah. Desa kecil ini terletak di kaki Gunung Biyun, jauh dari hiruk-pikuk dunia kultivasi. Di tengah keheningan itu, Lin Wei, seorang pemuda dengan tubuh kurus namun mata yang memancarkan semangat, sibuk menumpuk kayu bakar di halaman rumahnya.
Lin Wei hidup sederhana, yatim piatu sejak kecil, dan hanya mengenal desa sebagai dunianya. Namun, meskipun tubuhnya lemah, pikirannya selalu dipenuhi oleh mimpi-mimpi besar—menjelajah dunia di luar desa, menjadi seseorang yang lebih dari sekadar pengumpul kayu.
"Lin Wei, jangan terlalu lama di luar! Hujan akan segera turun!" suara tua Pak Chen, tetangganya yang sudah seperti keluarga, menggema dari seberang jalan.
Lin Wei tersenyum dan melambai, lalu membawa kayu-kayu itu ke dalam rumah. Rumah kecilnya, yang terbuat dari kayu tua, penuh dengan kesederhanaan. Namun, ada satu sudut di rumah itu yang selalu menarik perhatiannya—lukisan kuno yang menggantung di dinding. Lukisan itu menampilkan bunga teratai yang memancarkan cahaya lembut di tengah kolam surga.
"Kenapa bunga ini selalu muncul dalam mimpi-mimpiku?" gumam Lin Wei sambil menyentuh permukaan lukisan yang mulai usang.
Malam itu, hujan turun deras. Suara rintik hujan yang menghantam atap bercampur dengan hembusan angin dingin. Lin Wei terbangun mendadak oleh suara gemuruh yang tidak wajar. Ia segera bangkit dari tempat tidur, meraih lentera, dan keluar ke halaman.
Api menyala di kejauhan. Desa Qinghe terbakar!
"Tidak mungkin… siapa yang menyerang desa ini?" Lin Wei berlari menuju sumber api. Ia melihat beberapa pria berpakaian hitam, masing-masing membawa senjata dan menyerang warga desa tanpa ampun. Asap tebal mengepul ke langit, membuat suasana semakin mencekam. Jeritan ketakutan dan tangisan anak-anak terdengar di mana-mana, menambah kepanikan yang melanda desa. Beberapa rumah sudah rata dengan tanah, sementara yang lain masih terbakar hebat, memancarkan panas yang menyengat.
Di tengah kekacauan itu, salah satu penyerang, seorang pria berwajah bengis dengan tato ular di lehernya, memperhatikan Lin Wei. "Kau! Anak itu! Tangkap dia!" teriaknya dengan suara yang menggelegar, membuat Lin Wei semakin ketakutan. Pria itu tampak seperti pemimpin dari kelompok penyerang, dengan tatapan mata yang dingin dan penuh kebencian.
Lin Wei panik dan berlari secepat mungkin ke arah gunung. Ia tahu bahwa desa tidak memiliki kekuatan untuk melawan, tetapi entah kenapa orang-orang itu seolah mengejarnya secara khusus. Hatinya berdebar kencang, dan napasnya tersengal-sengal saat ia mencoba menghindari cabang-cabang pohon yang menghalangi jalannya. Ia bisa merasakan tanah yang licin di bawah kakinya, membuat setiap langkah terasa berat dan berbahaya.
"Kenapa mereka mengejarku?" pikir Lin Wei sambil berlari menembus kegelapan hutan. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang ia lakukan yang bisa memicu serangan ini, tetapi tidak menemukan jawaban. Rasa takut dan kebingungan bercampur menjadi satu, membuatnya semakin putus asa.
Di tengah pelariannya, Lin Wei terjatuh ke dalam jurang kecil yang tersembunyi oleh semak-semak. Ia mengaduh pelan, merasa kakinya terkilir, tetapi rasa takut membuatnya terus bergerak. Ia menyusuri jalur sempit yang membawanya ke sebuah gua yang terlihat tua, pintu masuknya dihiasi simbol-simbol aneh yang memancarkan cahaya samar. Cahaya itu tampak seperti memanggilnya, memberikan sedikit rasa aman di tengah kegelapan malam.
Dengan hati-hati, Lin Wei masuk ke dalam gua itu. Udara di dalam terasa dingin, tetapi juga dipenuhi aura misterius yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia menyalakan lentera kecilnya, dan cahaya itu memantulkan kilauan emas di dinding gua. Setiap langkah yang diambilnya menggema di seluruh ruangan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Lin Wei bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk terus maju.
Di tengah gua, terdapat altar batu dengan sebuah kitab yang terlihat kuno namun megah. Kitab itu memancarkan cahaya lembut, seolah menyambut kedatangan Lin Wei. Altar itu dikelilingi oleh patung-patung kecil yang tampak seperti penjaga setia, dengan ekspresi wajah yang serius dan penuh kewaspadaan. Lin Wei merasa seolah-olah sedang diawasi oleh mata-mata tak terlihat.
"Kitab apa ini?" Lin Wei mendekati altar dengan hati-hati. Saat ia menyentuh kitab itu, suara tua dan berat bergema di dalam kepalanya. Suara itu terdengar seperti berasal dari zaman yang sangat jauh, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.
"Wahai anak muda, kau telah dipilih oleh takdir. Tubuhmu adalah kunci untuk membangkitkan warisan yang telah lama hilang." Suara itu bergema di seluruh gua, membuat Lin Wei merasa kecil dan tak berdaya.
Lin Wei terkejut. "Siapa kau? Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar. Ia mencoba mencari sumber suara itu, tetapi tidak menemukan apa-apa selain bayangan dirinya sendiri yang dipantulkan oleh dinding gua.
Namun, suara itu tidak menjawab. Sebaliknya, cahaya dari kitab itu menyelimuti tubuh Lin Wei, dan sebuah tanda berbentuk teratai muncul di punggungnya. Tanda itu bersinar sebentar sebelum meresap ke dalam tubuhnya. Lin Wei merasakan panas yang menyengat di punggungnya, tetapi juga kekuatan yang mengalir melalui setiap urat nadinya.
Lin Wei merasa tubuhnya dipenuhi oleh kekuatan yang aneh namun mengagumkan. Ia memandang ke arah kitab itu, yang kini telah terbuka, menampilkan halaman-halaman pertama yang dipenuhi tulisan kuno. Tulisan itu tampak hidup, bergerak-gerak seolah-olah sedang menari di atas kertas. Lin Wei mencoba membaca beberapa kata, tetapi bahasa itu terlalu asing baginya.
Saat Lin Wei mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, suara langkah kaki mendekat dari luar gua. Para penyerang telah menemukannya.
"Jadi, kau memang berada di sini, anak kecil!" Pria bertato ular itu melangkah masuk dengan senyum dingin. "Berikan kitab itu, dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup." Suaranya penuh dengan ancaman, membuat Lin Wei merasakan ketegangan yang semakin meningkat.
Lin Wei merasakan adrenalin mengalir deras. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak mau menyerah begitu saja. Dengan tanpa sadar, tangannya membentuk segel aneh yang tertulis di kitab. Segel itu tampak hidup, berkilauan dengan energi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Cahaya biru terang muncul, menciptakan perisai di antara dirinya dan para penyerang. Pria bertato itu melompat mundur dengan terkejut. "Anak ini… dia memiliki bakat langka!" teriaknya dengan nada kagum bercampur ketakutan. Para penyerang lainnya tampak ragu-ragu, tidak yakin bagaimana cara menghadapi kekuatan yang baru saja ditunjukkan oleh Lin Wei.
Namun, Lin Wei tahu ia belum cukup kuat untuk menghadapi mereka semua. Ia menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri lebih dalam ke gua, yang ternyata memiliki jalan keluar lain. Dengan napas terengah-engah, ia akhirnya mencapai hutan yang gelap. Hutan itu tampak seperti labirin, dengan pohon-pohon tinggi yang menjulang dan bayangan yang menari-nari di bawah cahaya bulan.
Malam itu, Lin Wei tidak hanya kehilangan desanya, tetapi juga hidup lamanya. Di bawah hujan yang terus mengguyur, ia bersumpah untuk mencari tahu kebenaran tentang kitab itu, tanda di punggungnya, dan alasan mengapa ia menjadi target. Ia merasa ada beban besar yang kini harus ia pikul, tetapi juga ada tekad yang kuat untuk tidak menyerah.
"Jika ini adalah takdirku, maka aku akan menghadapi semuanya," bisiknya pada dirinya sendiri. Ia merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, memberikan harapan di tengah kegelapan. Lin Wei tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk menghadapi segala rintangan yang akan datang.
Dengan langkah gontai, Lin Wei meninggalkan desa Qinghe, memulai perjalanan yang akan mengubah hidupnya dan dunia Tianling selamanya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tetapi ia yakin bahwa setiap langkah yang diambilnya akan membawanya lebih dekat kepada kebenaran. Di kejauhan, suara gemuruh petir terdengar, seolah-olah alam semesta sendiri menyaksikan awal dari takdir baru yang akan ia jalani.