Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Shavo: Jalan Panjang Kriminalitas dan Cinta

🇮🇩DaoistXvIuE8
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
76
Views
Synopsis
Shavo Malakian adalah calon pemimpin keluarga mafia besar, Klan Malakian. Pembunuhan yang dia lakukan pada Jovi Dolmayan menjadi titik awal lika-liku karir mafia-nya. Dengan ketampanannya, dia mampu membuat perempuan-perempuan cantik terpikat, tidak terkecuali Kamileyna. Di usia 50 tahun, sang bos, Shavo Malakian, menderita penyakit yang memaksanya untuk tidak melakukan banyak aktifitas kerja. Apa yang terjadi pada keluarga Malakian di masa depan? Siapa yang akan mengontrol bisnis keluarga setelah pembantaian yang dilakukan oleh Borris Dolmayan pada beberapa anggota keluarganya? Apa yang terjadi pada Kamileyna, sang pendamping hidup?
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 - Tembakan di Kafe Gagenpress

BAB 1

Tembakan di Kafe Gagenpress

 

Malam itu, di Kafe Gagenpress, kedua utusan dari 2 keluarga organisasi kriminal besar di negara Akasia telah tiba. Jovi, dengan pakaian hitamnya yang ketat, duduk di kursi sebelah barat, bersebelahan dengan Thomas, si pengedar besar narkoba. Sementara Shavo, dengan penampilan yang lebih rapi, duduk di hadapan Jovi bersama pamannya angkatnya, Minggus.

Ada 4 tempat pertemuan yang disepakati bagi ketiga klan Mafia ini, tergantung dari pihak siapa saja yang terlibat negosiasi bisnis. Keempat tempat itu adalah kafe Catenacio, Tikitaka, totalfood, dan Gagenpress. Catenacio (milik keluarga Dolmayan) adalah tempat pertemuan antara keluarga Malakian dan Kaladzian, Tikitaka (milik keluarga Malakian) untuk keluarga Kaladzian dan Dolmayan, Gagenpress (milik keluarga Kaladzian) untuk keluarga Malakian dan Dolmayan, dan Totalfood (milik seorang pengusaha kaya setempat) yang merupakan tempat pertemuan bagi ketiga klan mafia itu, jika ketiganya menegosiasikan bisnis yang sama.

Kafe Gagenpress terletak di kota Tataba, provinsi Akarayu. Kafe ini bukan saja dibangun untuk mengeruk uang dari hasil penjualan makanan dan minuman belaka, tapi sebagai sarana pencucian uang oleh Klan Kaladzian.

Dengan wajah dingin, Jovi mulai berbicara tentang kesepakatan yang "menguntungkan" untuk kedua keluarga mafia itu, namun nada suaranya mengisyaratkan sesuatu yang lebih gelap. Shavo dan paman Minggus bisa merasakan ketegangan yang asing; saat itu, setiap kata terasa seperti ancaman.

Jovi menatap Shavo dengan tatapan tajam. "Shavo, kuhargai ketenanganmu saat ini, dan aku yakin kita bisa mencapai kesepakatan yang bagus."

"Jovi, kita di sini untuk berunding," Shavo menegaskan. "Aku tahu tentang tawaran kalian, tapi kau seharusnya juga tahu kalau pemimpin kami tidak akan pernah setuju dengan perdagangan narkoba."

Jovi tersenyum sinis. Dengan suara yang rendah, Jovi berkata, " Shavo, kau terlalu naif. Ya, aku tahu ayahmu menolak bisnis ini, tapi kulihat, kau sangat cerdas dalam berbisnis. Sepertinya kita sepaham dengan bisnis ini: nilainya sangat besar, Shavo!"

Jovi diam sejenak, sorot matanya seakan menusuk mata Shavo.

"Aku yakin ayahmu bisa kau bujuk, karena kulihat kau sangat berbakat dalam bisnis ini. Klan Dolmayan memiliki segala yang dibutuhkan, dan martabat keluarga kita berdua akan abadi di Akasia."

"Jovi, asal kau tahu, sebenarnya aku diutus keluarga Malakian bukan untuk bernegosiasi, tapi lebih tepatnya, aku di sini untuk menyampaikan pesan keluarga, khususnya pemimpin kami, tentang bisnis ini. Aku tahu keuntungannya akan sangat besar, berkali-kali lipat lebih besar dari bisnis tradisional keluarga kita berdua. Tapi kuyakin kau dan keluarga Dolmayan tahu seberapa besar bahaya bisnis ini."

Jovi mengerti posisi Shavo. "Kami juga menyadari bahayanya bisnis ini, tetapi ayahku akan mengendalikan penjualannya, dan keluarga Malakian tetap aman tanpa terlibat secara langsung di lapangan. Yang perlu dilakukan keluarga Malakian hanya mengantongkan uang receh di saku baju para pejabat Akasia, Shavo, tidak perlu mengotori tangan kalian dengan butir-butir heroin. Kita bisa bekerjasama lewat jaringan kuat yang kita miliki," katanya sambil mengamati raut wajah Shavo.

"Tidak ada jaminan keamanan untuk bisnis semacam ini, Jovi," tegas Shavo.

"Apa gunanya relasi besar Malakian dengan jendral-jendral polisi dan bajingan-bajingan politisi itu, Shavo? Kita bisa menguasai mereka dengan uang hasil penjualan narkoba. Pajak-pajak yang harus kita berikan untuk mereka bahkan tidak lebih dari nilai kuku jari yang kita potong. Sadarlah, Shavo, butir-butir mutiara ada di depan mata!"

"Kau tahu, Shavo," lanjut Jovi dengan senyuman tipisnya, "jika kita tidak mencapai kesepakatan malam ini, mungkin harus ada yang dikorbankan."

Shavo tetap duduk, sorot matanya berubah menjadi dingin. "Jovi, kau tidak perlu mengancam. Kau dan aku di sini untuk berbicara. Sebuah penolakan seharusnya tidak memerlukan tetesan darah."

Shavo terus menanamkan perintah sang ayah sebelum meninggalkan rumah pada pikirannya —"Apa pun tawarannya, jika itu tentang kesepakatan narkoba, tolaklah!"— dan tidak akan berubah sedikit pun.

Detik-detik menegangkan terus berjalan. Shavo melihat gerakan tangan Jovi ke arah saku dalam jaket ketika Jovi menjelaskan lebih lanjut tentang tawarannya. Kewaspadaan Shavo meningkat sambil menggerakkan tangannya untuk menggapai pistol yang juga dia sembunyikan di balik jaketnya. Shavo merasakan keputusan yang harus diambil tanpa memberikan kesempatan sedikit pun bagi Jovi untuk mendahuluinya. Dalam sekejap, tanpa berpikir panjang, Shavo menodongkan pistol dan langsung menembakkannya tepat di kepala dan jantung Jovi, dan dengan cepat, gagang pistol beralih pada kepala Thomas.

DORRR! DORRR! DORRR!

Suara tembakan memekakkan telinga sebanyak 3 kali. Jovi terkulai lemas, tubuhnya tergeletak di atas meja, darah mengalir di antara tumpukan dokumen dan cangkir kopi, sedangkan tubuh Thomas jatuh ke lantai di samping kursinya. Sekejap, wajah Shavo berubah pucat. Dia baru saja mengakhiri hidup 2 orang. Namun dia tidak punya waktu memikirkan hal lain kecuali keluar dari ruangan neraka ini tanpa kehilangan nyawanya sendiri.

Dengan keheningan yang menakutkan akibat kejadian tersebut, suara langkah kaki terdengar dari luar. Pasukan pengawal yang menunggu di luar kafe menerima sinyal bahwa situasi telah berubah menjadi lebih berbahaya. Mereka berlari masuk dengan senjata siap sedia. Pertarungan tak terhindarkan terjadi.

"Lari ke belakang, Shavo!" teriak paman Minggus.

Suara tembakan dan teriakan menggema, menciptakan kekacauan. Dia melihat beberapa pengawal Jovi di belakang, mengarahkan senjata padanya dan paman Minggus. Shavo segera berlari ke arah dapur kafe. Paman Minggus, yang ditugasi Sam Malakian untuk melindungi Shavo, tetap berada di tempat itu sembari menundukkan badannya, berlindung di balik meja.

Pintu belakang kafe tampak kokoh tertutup di mata Shavo, namun pintu itu bagaikan tanda bahwa jalan menuju kebebasan ada di depan mata—dan mungkin juga ke arah bencana berikutnya. Kaki Shavo melangkah mantap, lalu membuka pintu belakang. Detak jantungnya berdebar semakin cepat. Begitu keluar, ia berlari menuju rumah sepupunya yang tidak jauh dari kafe. Rumah itu adalah tempat yang aman untuk bersembunyi dari segala kejahatan malam itu.

Setibanya di rumah sepupunya, Shavo menutup pintu dengan keras di belakangnya dan bersandar, mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Belum hilang kepanikan dalam pikirannya. Nyawa Jovi telah melayang di tangannya, dan kini nyawanya sendiri mungkin hanya menunggu waktu untuk melayang meninggalkan jasadnya. Kini, ketika memasuki rumah sepupunya, dalam sekejap ia berpikir nyawa sepupu dan anggota keluarganya juga tidak akan terlepas dari rantai balas dendam yang mengerikan ini.

Alev merupakan anak dari Karina, adik kandung Sam Malakian. Saat Shavo datang, Alev tengah menyantap makan malam. Setelah mendengar kegaduhan di pintu depan, dia berlari ke arahnya, dan muncul di depan mata Shavo dengan ekspresi cemas.

"Shavo, ada apa? Kenapa kau terlihat seperti ini?" tanya Alev.

"Bukan saatnya banyak bicara, Alev. Sekarang, kau tunjukkan ke mana aku harus bersembunyi. Tempat yang paling aman!" ujar Shavo.

"Oke, kusiapkan mobil. Ayo ikut aku," ujar Alev, wajahnya pucat pasi.

Suasana di luar semakin mencekam; Sirene mobil polisi mulai terdengar dari kejauhan, menjelma menjadi lagu kematian yang mendekat.

Tanpa banyak bertanya, Alev mengikuti naluri pelindungnya dan membawa Shavo ke tempat persembunyian rahasia —sebuah rumah tua kecil yang tersembunyi di pedalaman desa terpencil di kota Kasemepa yang hanya dia ketahui. Tempat itu aman, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan lebih penting lagi, jauh dari orang-orang yang mungkin mengejarnya.

Sesampainya di dalam rumah tua itu, Alev menyalakan saklar lampu. Cahaya temaram membuat bayangan samar di lantai rumah. Shavo menghempaskan tubuhnya di kursi reot. Shavo melepas pakaiannya, lalu mengganti pakaian yang telah disediakan Alev, mencoba lebih tenang dari sebelumnya.

"Jelaskan padaku, Shavo, apa yang terjadi?" tanya Alev dengan tatapan yang serius.

Sambil mengganti bajunya, Shavo mulai bercerita. "Jovi mengancamku, Alev. Tidak hanya mengancam, tapi kulihat tangannya berusaha mengambil pistol di saku jaketnya. Pikiranku sudah sangat jauh, dan aku tidak punya pilihan selain membunuhnya lebih dulu. Dia terlalu berbahaya."

"Kalian belum mencapai kesepakatan apapun?" Alev bertanya, matanya melebar.

"Tidak akan ada kesepakatan. Menerima atau menolak bukan kuputuskan sendiri," jawab Shavo, suaranya bergetar, "aku datang hanya untuk menyampaikan keputusan ayahku tentang bisnis narkoba itu."

Alev terdiam, mencoba mencerna semuanya, lalu berkata, "Kau tidak perlu khawatir, Shavo. Keluarga akan melakukan yang terbaik, dan akan selalu melindungimu."

"Aku khawatir pada paman Minggus. Dia ikut bersamaku, tapi dia tidak ikut berlari. Alev, aku butuh bantuanmu." ungkap Shavo, matanya menatap sepupu dengan serius.

"Apa pun yang kau butuhkan, aku ada di sini," jawab Alev, meski dia tidak bisa menutupi rasa takutnya. Pertaruhan sementara di antara mereka adalah hidup dan mati. Dan dalam dunia mafia, segalanya bisa berubah dalam sekejap.

"Bagus, aku percaya padamu. Dengar, Alev; tengah malam nanti, jemput semua anggota keluargamu, dan bergegaslah ke rumah ayahku. Untuk sementara waktu, istri dan anakmu menginap di sana, dan kau temani aku di sini, mengerti?"

Alev mengerti keadaan dan konsekuensi yang terjadi. Kini keluarga kecilnya tidak luput dari ancaman pembalasan dendam klan Dolmayan.

Sementara itu, kafe Gagenpress telah dipasangi garis polisi. Banyak polisi yang tampak berjaga-jaga di area kafe, dan yang lain, tengah menyelidiki tempat kejadian, di mana terdapat 6 jasad laki-laki, termasuk paman Minggus.