Di sinilah awal mula pertemuan maut di kafe Gagenpress yang menggemparkan kehidupan bawah tanah organisasi kriminal yang melibatkan 2 klan mafia paling berpengaruh di negara Akasia, yaitu klan Malakian dan klan Dolmayan.
Thomas, seorang pengedar besar narkoba cerdik dari negara Grizlik, merencanakan langkah besar dalam bisnis gelapnya. Dia ingin mengepakkan sayap bisnisnya di negara besar Akasia. Namun, semuanya tidak berjalan mulus seperti yang dia harapkan. Dia harus menghadapi 3 klan mafia terkemuka di negara itu, dan harus menyepakati banyak hal untuk mencapai keuntungan signifikan. Tanpa melewati persetujuan dari ketiga klan itu, narkoba sudah pasti tidak bisa diedarkan dalam jumlah besar.
Setelah menyepakati pertemuan yang telah dijadwalkan, Thomas dan rombongannya memasuki rumah mewah pimpinan klan Malakian di pusat Kota Kasemepa, Provinsi Bulagi. Thomas, seorang pria berkepala plontos dengan tubuh kekar dan wajah yang dipenuhi bekas luka, berdiri di hadapan Sam Malakian, pemimpin klan Malakian yang terkenal bijaksana namun tegas. Sam Malakian, dengan sorot mata tajamnya, mendengarkan tawaran yang diajukan oleh Thomas.
Tanpa banyak basa-basi, Thomas mulai buka suara, "Tuan Sam, saya ingin mengajak Anda berbisnis. Saya punya pasokan narkoba yang sangat menguntungkan untuk distribusikan di Akasia. Saya datang dari Grizlik untuk menawarkan kesepakatan yang menguntungkan bagi kita semua," kata Thomas dengan nada rendah, namun penuh keyakinan. "Bisnis narkoba di negara Akasia sangat menjanjikan, dan saya memiliki jaringan yang luas dengan sistem peredaran antar negara yang sangat aman. Keluarga Malakian adalah yang terkuat di Akasia, dan saya yakin kita bisa bekerja sama dengan baik."
Namun, keyakinan Thomas akan kesepakatan itu tidak terjadi. Dengan nada sopan, Sam Malakian mengutarakan penolakannya. "Tuan Thomas, saya menghormati usaha Anda, tapi kami tidak bisa terlibat dalam peredaran narkoba. Akasia tidak mentolerir jenis bisnis ini. Kami sudah membangun reputasi yang baik, dan kami tidak ingin menjalani risiko hukum yang tinggi. Hukum di sini tidak main-main dengan hal semacam itu. Keluarga Malakian telah membangun kekuasaan yang kuat selama bertahun-tahun tanpa berurusan dengan bisnis narkoba, meskipun keuntungannya sangat besar."
Wajah Thomas tampak datar setelah mendengar penolakan itu. Belum menyerah, Thomas kembali membujuk Sam Malakian, "Berdasarkan informasi yang saya dengar, anda memiliki koneksi yang besar di pemerintahan, politisi, jaksa, dan polisi. Anda bisa mengatur hukum di sini. Saya menawarkan keuntungan yang besar. Kita bisa menjadi mitra yang saling menguntungkan."
Thomas memandang Sam Malakian dengan raut wajah kecewa, namun ia tidak menyerah. "Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali, tuan Sam. Tapi baiklah, saya akan mencari jalan lain." Dengan langkah berat, Thomas meninggalkan ruangan, meninggalkan Sam Malakian yang masih memikirkan kata-katanya.
Setelah pamit, Thomas langsung menuju markas klan Dolmayan di Kota Serese. Di sana, ia disambut oleh Borris, kepala klan yang terkenal licik tetapi pintar dalam berbisnis. "Apa yang anda tawarkan padaku, tuan Thomas?" tanya Borris, memandangi Thomas dengan penuh rasa ingin tahu.
"Borris, saya ingin mengajak keluarga Dolmayan untuk bergabung dalam distribusi narkoba di Akasia. Dengan jaringan kalian, kita bisa menguasai pasar," jawab Thomas, menatap langsung mata Borris.
Borris mengernyitkan dahinya sejenak sebelum menjawab. Borris tahu bahwa klan Dolmayan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan bisnis narkoba sendirian. "Saya tahu risiko ini, tapi apa yang kau tawarkan lebih dari sekadar keuntungan biasa. Tentu saja, kita juga perlu berbicara dengan keluarga Malakian. Mereka memiliki pengaruh yang signifikan di negara ini."
Thomas merasa senang mendengar jawaban Borris. Kesepakatan sudah mulai terbentuk. Borris dan Thomas sepakat untuk bernegosiasi bersama dengan klan Malakian. "Mari kita jalankan rencana ini secepatnya. Aku akan mengirimkan seseorang untuk bertemu dengan mereka," ujar Borris penuh semangat.
Borris memutar gelas anggur di tangannya, matanya memancarkan ketegasan. "Aku akan menghubungi keluarga Malakian. Mungkin ada jalan lain untuk mencapai kesepakatan. Kita perlu melibatkan mereka. Jika tidak, kita akan kesulitan mengendalikan peredaran. Kalau nanti mereka sepakat untuk bertemu, anda akan pergi bersama seseorang dari pihakku."
Telepon berdering di ruangan Sam Malakian, dan dia mengangkatnya dengan cepat. Suara Borris terdengar dingin dan tegas.
"Sam, ada orang Grizlik yang menawarkan bisnis padaku, dan katanya dia sudah bertemu denganmu."
"Benar, Borris. Tapi aku menolaknya. Keluarga Malakian tidak akan terlibat dalam bisnis narkoba, dan aku harap keluarga Dolmayan juga begitu."
Borris tersenyum sinis. "Sam, aku memahami keputusanmu. Tapi, aku ingin mengusulkan sesuatu. Bisakah kita berunding? Kita bisa mengutus orang yang kita percaya untuk berunding di suatu tempat. Mungkin anak-anak muda yang punya pandangan lebih baik dari kita tentang bisnis masa depan. Kita bisa bertemu di tempat netral dan mendiskusikan hal ini secara damai."
Sam Malakian terdiam sejenak, memikirkan tawaran Borris. Setelah memikirkan kata-kata sahabat bisnisnya itu, Sam memutuskan untuk mengirim orangnya untuk berunding, namun bukan untuk menyepakati tawaran, melainkan hanya untuk menghormati Borris sebagai sahabat. "Baiklah, Borris, aku setuju. Kita akan mengirim utusan masing-masing dan mendengarkan lebih lanjut tentang tawaran Thomas. Adakan pertemuan itu di Kafe Gagenpress, tempat biasa kita melakukan negosiasi, besok malam. Pastikan orang yang kau utus memahami situasi dengan baik. Dan jangan lupa, hubungi Kaladze."
Borris mengangguk, "Terima kasih, Sam. Aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."
Setelah telepon ditutup, Borris memanggil anak pertamanya, Jovi, yang terkenal dengan sifat temperamennya. "Jovi, kau akan mewakili keluarga Dolmayan dalam negosiasi ini. Pergilah dengan orang Grizlik itu ke Kafe Gagenpress dan temui utusan keluarga Malakian. Ingat, ini adalah kesempatan besar bagi kita. Pengaruhi siapa pun orang yang diutus keluarga Malakian. Tapi Ingat, putraku, dalam negosiasi ini, kau harus hati-hati. Malakian bukanlah keluarga yang suka main-main."
Jovi yang sebelumnya duduk bersama ayahnya saat pembicaraan tawaran itu, mengangguk paham. Dia tahu betul tentang reputasi klan Malakian yang sangat serius dalam setiap transaksi yang dilakukan. Mereka adalah klan yang sangat menjunjung tinggi kepercayaan dan loyalitas dalam bisnis.
Jovi, dengan rambutnya yang rapi dan mata yang memancarkan api, tersenyum penuh semangat. "Aku akan pergi, Ayah. Aku akan memastikan bahwa keluarga Malakian setuju dengan tawaran kita."
Sementara itu, di markas klan Malakian, Sam memanggil anak keduanya, Shavo, ke ruangannya. Shavo, seorang pemuda cerdas dengan mata yang tajam, masuk dengan langkah tenang.
"Shavo duduklah. Aku ingin kau pergi ke Kafe Gagenpress dan mewakili keluarga untuk berunding tentang penjualan narkoba. Aku akan memberitahu paman Minggus untuk menemani dan menjagamu. Kau tahu bagaimana caranya bernegosiasi, dan aku percaya padamu."
Shavo mengangguk, sorot matanya penuh konsentrasi. "Aku mengerti, Ayah. Apa yang harus kulakukan?"
"Kau akan pergi bernegosiasi dengan keluarga Dolmayan dan Thomas, si pengedar itu. Kita perlu tahu apa yang sedang mereka rencanakan dan bagaimana situasi mereka dengan pengedar narkoba itu. Kupercayakan padamu, Shavo," jelas Sam Malakian. Shavo mengangguk tegas, siap menjalani tugas yang diberikan ayahnya.
Minggus, yang merupakan saudara angkat Sam Malakian, sangat dekat dengan Shavo. Dia sangat menyayanginya, dan selalu mengikuti perkembangan pribadi keponakan kesayangannya itu. Setelah Shavo keluar dari ruangan Sam Malakian, giliran Minggus yang dipanggil untuk diberikan instruksi.
"Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang berbahaya di negosiasi itu, Minggus. Pastikan keselamatanmu dan Shavo terjamin."
"Akan kulakukan sesuai arahanmu, Kakak."
Domir, anak pertama Sam Malakian, yang mendengar percakapan itu, masuk ke ruangan dengan wajah marah. "Ayah, kenapa Ayah tidak mengutusku? Aku anak tertua, dan seharusnya menjadi perwakilan keluarga."
Sam menatap Domir dengan pandangan tegas. "Domir, kau terlalu emosional. Shavo memiliki ketenangan yang dibutuhkan dalam situasi ini. Aku yakin dia akan melakukan yang terbaik, percayalah padaku."
Domir mendengus kesal, namun ia tahu, ayahnya tidak akan mengubah keputusannya. "Baik, Ayah. Tapi aku akan mengawasi Shavo."
Sam Malakian merenung, berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada pertemuan itu.