Chereads / Cincin Takdir: Awal Dari Segalanya / Chapter 2 - Part 1: Di Bawah Langit yang Kelabu

Chapter 2 - Part 1: Di Bawah Langit yang Kelabu

Malam itu, aku berjalan dengan kepala tertunduk, berusaha menghindari embusan angin dingin yang menusuk hingga ke tulang. Langit di atas kota tampak kelabu, awan berat bergelantung, seperti hendak menumpahkan hujan yang lebih deras. Aku mengenakan jaket lusuhku, satu-satunya yang kupunya, mencoba melindungi tubuh dari gigitan udara malam.

Jalan-jalan kota ini sudah terlalu akrab bagiku. Batu-batu trotoar yang kasar, deretan toko yang sebagian besar sudah tutup, dan lampu jalan yang berkedip-kedip seolah hampir mati—semuanya bagian dari rutinitas yang melelahkan. Di kiri-kanan, gedung-gedung tua berdiri dengan fasad yang mulai terkelupas, seperti menggambarkan jiwa kota yang juga mulai lelah.

Aku melewati sebuah toko roti kecil yang jendelanya mengembun, aroma manis roti panggang menguar keluar dan mengingatkanku bahwa aku belum makan malam. Namun, aku hanya bisa menatap etalase dari jauh. Dengan upah dari pekerjaanku di kedai, membeli makanan mewah seperti roti hangat adalah kemewahan yang tak bisa kumiliki.

---

Saat itu, pikiranku dipenuhi oleh rasa frustrasi. Aku terus bertanya-tanya, sampai kapan aku harus hidup seperti ini? Mencuci piring, melayani pelanggan mabuk, mendengarkan omelan Tuan Garrick—semua itu terasa seperti siklus tanpa akhir.

"Apa ini takdirku?" gumamku pelan, suara sendiri terdengar asing di telinga.

Aku ingin percaya bahwa hidupku punya arti lebih dari ini. Tapi bagaimana mungkin? Aku hanyalah seorang pelayan tanpa pendidikan, tanpa koneksi, dan tanpa harapan besar. Setiap impian yang pernah kupunya seperti menguap seiring berjalannya waktu, digantikan oleh kenyataan yang keras dan tak kenal ampun.

---

Aku terus berjalan, membiarkan langkah kakiku membawa ke mana pun mereka mau. Jalanan semakin sepi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki lain di kejauhan. Sesosok bayangan muncul dari tikungan, seorang pria tua dengan jaket tebal yang berjalan dengan tongkat. Dia menunduk, langkahnya lambat dan teratur, sebelum akhirnya menghilang di balik kabut malam.

Aku menatap langit sejenak. Bintang-bintang tak terlihat, tertutup oleh awan tebal. Tapi di dalam hati, aku merasa seperti mereka ada di sana, mengawasi, meski aku tak bisa melihatnya.

Angin bertiup lebih kencang, membawa serta dedaunan kering yang menari-nari di trotoar. Aku merapatkan jaketku lebih erat, berharap segera sampai di rumah kecilku di pinggiran kota.

---

Rumahku, jika itu bisa disebut rumah, adalah sebuah kamar kecil di atas bengkel mobil tua. Aku menyewa tempat itu dengan harga murah karena pemiliknya, Pak Bernard, adalah kenalan lama ibuku. Meski kecil dan pengap, aku bersyukur punya tempat untuk beristirahat setelah hari-hari yang panjang.

Aku membuka pintu kayu yang sudah reot, bunyinya berderit keras. Begitu masuk, aku langsung mencium bau minyak mesin dari bengkel di bawah. Di dalam, hanya ada tempat tidur kecil dengan seprai usang, meja kayu dengan tumpukan buku bekas, dan sebuah lampu meja yang hampir mati.

Aku melemparkan jaketku ke kursi, lalu duduk di tepi tempat tidur. Rasa lelah mulai menjalar di seluruh tubuhku. Aku menatap dinding yang penuh coretan usang, mencoba mencari jawaban dari kekosongan yang kurasakan.

---

Ada kalanya aku teringat masa kecilku—waktu ketika hidup masih terasa sederhana. Ibuku adalah seorang penjahit, bekerja keras untuk menghidupiku setelah ayahku menghilang entah ke mana. Dia selalu berkata bahwa aku istimewa, bahwa aku ditakdirkan untuk sesuatu yang besar. Tapi kata-katanya terasa seperti bayangan yang memudar, meninggalkan aku dalam keraguan.

"Apa maksudmu, Bu? Apa yang istimewa dariku?" tanyaku pada bayangan di pikiranku.

Jawaban itu tak pernah datang. Yang ada hanyalah kesunyian, dan aku harus berjuang sendiri untuk menemukan jawabannya.

---

Malam itu, aku merasa sesuatu harus berubah. Aku tak tahu apa atau bagaimana, tapi aku tahu aku tak bisa terus hidup seperti ini. Aku tak bisa hanya bekerja tanpa tujuan, tanpa arah.

Aku meraih salah satu buku bekas yang tergeletak di meja. Itu adalah buku tua yang kutemukan di pasar loak beberapa minggu lalu, isinya tentang kisah petualangan seorang pahlawan. Aku membuka halamannya, membaca kalimat pertama:

"Hidup seorang pahlawan dimulai dari keberanian untuk melangkah ke dalam ketidakpastian."

Kata-kata itu terasa menamparku. Aku menutup buku itu perlahan, membiarkan kalimatnya terngiang di benakku.

"Mungkin aku bukan pahlawan," gumamku, "tapi aku juga tak bisa terus menjadi pecundang."

---

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, menatap langit-langit yang penuh retakan. Suara mesin dari bengkel di bawah menjadi pengiring malamku, seperti simfoni yang tak pernah berubah.

Di luar, angin terus berhembus, membawa serta aroma hujan yang tersisa. Aku menutup mataku perlahan, berharap esok membawa sesuatu yang berbeda.