Chereads / Cincin Takdir: Awal Dari Segalanya / Chapter 3 - Part 2: Jalan yang Tak Terduga

Chapter 3 - Part 2: Jalan yang Tak Terduga

Pagi itu datang tanpa banyak perbedaan. Cahaya matahari yang lemah masuk melalui celah-celah jendela yang sudah usang, menciptakan pola cahaya yang melengkung di lantai kayu yang hampir retak. Suara mesin bengkel dari bawah rumahku terdengar semakin jelas, seolah memanggilku untuk segera bangun dan memulai rutinitas yang tak pernah ada habisnya.

Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa lebih ringan, meskipun tubuhku terasa lelah. Mungkin karena semalam, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku memutuskan untuk berhenti menyerah. Aku tahu, perubahan itu bukan sesuatu yang bisa datang dalam semalam, tetapi malam itu memberi aku secercah harapan.

Aku duduk di tepi tempat tidur, meremas tangan, mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai membanjir. Apa yang harus kulakukan sekarang? Akankah hidupku benar-benar berubah, atau ini hanya ilusi semata? Pikiran-pikiran itu terus menghantui, meskipun aku berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkannya.

Ponselku bergetar di meja samping tempat tidur. Aku mengambilnya, melihat nama yang muncul di layar: Tuan Garrick. Suara beratnya langsung terdengar begitu aku mengangkat telepon.

"Ray, ada yang harus kamu kerjakan hari ini," katanya, suara yang penuh perintah. "Ada pelanggan baru yang membutuhkan perhatianmu. Kamu harus datang lebih cepat."

Aku menatap layar, sedikit kesal. "Tuan, saya baru saja bangun. Tidak bisakah ini ditunda?"

"Tidak bisa," jawabnya dengan nada yang tak bisa ditawar. "Ini penting. Datanglah dalam setengah jam."

Aku menghela napas, merasa terperangkap dalam rutinitas yang sudah tidak kuhargai lagi. "Baiklah," jawabku, menekan rasa kesal yang ingin keluar. Aku menutup telepon dan melangkah menuju kamar mandi, mencoba membersihkan sisa-sisa kelelahan yang masih melekat di tubuhku.

---

Setelah mandi, aku segera mengenakan pakaian kerjaku yang sederhana, memutuskan untuk tidak memikirkan lebih dalam tentang ketidakpuasan yang mulai menggerogoti hatiku. Pekerjaan adalah pekerjaan, dan aku tidak punya banyak pilihan. Aku berjalan turun ke bengkel, melewati lorong sempit yang memisahkan rumahku dari dunia luar.

Sesampainya di lantai bawah, aroma minyak dan logam kembali menyambutku. Pak Bernard, pemilik bengkel, sedang membungkuk di atas mesin tua, tangannya penuh dengan minyak. Ia menatapku sejenak, lalu mengangguk.

"Berangkat?" tanyanya dengan nada datar.

"Ya," jawabku, mengambil tas kecilku dan menoleh untuk melihat ke luar jendela yang menghadap ke jalan. Langit masih kelabu, tetapi kali ini, ada sesuatu yang membuatku berhenti sejenak. Di ujung jalan, aku melihat sesosok pria berpakaian gelap berjalan dengan langkah cepat, seolah mengejar sesuatu. Namun, yang membuatku terkejut bukan hanya kecepatan langkahnya, tetapi juga ekspresi di wajahnya—ketegangan yang bisa kurasakan meskipun aku tidak mendengar apa pun.

Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi segera mengalihkan pandanganku. Dunia ini sudah cukup membingungkan tanpa harus memikirkan hal-hal yang tidak jelas.

---

Aku tiba di kedai tempatku bekerja beberapa saat kemudian. Pintu kayu yang berderit terbuka, dan suasana dalam kedai yang gelap dan sempit langsung menyambutku. Beberapa pelanggan sudah ada di sana, sebagian besar duduk di meja dengan wajah lelah, berbicara pelan dengan suara serak. Aku melihat Tuan Garrick berdiri di belakang konter, memandangku dengan mata tajam.

"Akhirnya datang juga," katanya, dengan nada yang penuh dengan perasaan tak sabar. "Ada banyak yang harus diselesaikan hari ini, Ray."

Aku hanya mengangguk, merasa berat hati. Aku menyukai pekerjaan ini—setidaknya, itu memberiku penghidupan. Namun, semakin lama aku bekerja di sini, semakin terasa bahwa kedai ini bukan tempat untuk seseorang yang ingin lebih dari sekadar bertahan hidup.

Aku mulai melayani pelanggan dengan cepat, tanpa banyak bicara. Hanya beberapa menit setelah aku mulai bekerja, seorang pelanggan baru memasuki kedai. Pria itu mengenakan mantel panjang hitam dan topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Tidak ada yang aneh dari penampilannya, tetapi ada sesuatu yang aneh dalam cara dia bergerak—seperti ada sesuatu yang memburunya. Sesosok bayangan gelap yang mengikuti langkahnya.

Dia berjalan langsung ke meja yang berada di pojok, tanpa memperhatikan sekitar. Aku merasa mata Tuan Garrick mengikuti pria itu, lalu kembali ke arahku. Sesuatu dalam pandangannya mengingatkanku bahwa ini bukan sekadar kedai biasa.

Aku melangkah mendekat, membawa pesanan untuk pria itu. Ketika aku meletakkan gelas kopi di meja, tangan pria itu terulur dan menyentuh lenganku dengan keras, matanya yang tajam menatapku dengan penuh intensitas.

"Ray," katanya, suaranya rendah dan berat. "Apakah kamu tahu siapa yang mengawasimu?"

Aku terkejut, hampir menjatuhkan gelas di tanganku. Aku ingin mengabaikannya, tetapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang memaksa perhatian.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan kegugupanku. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud."

Dia menatapku lebih lama, seolah menilai setiap inci tubuhku, sebelum akhirnya menarik tangannya dan tersenyum tipis. "Hati-hati, Ray. Ada yang sedang menunggumu."

Aku kembali mundur, merasa aneh dan tidak nyaman. Namun, sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, pria itu sudah berdiri dan meninggalkan kedai tanpa suara.

---

Aku berdiri terpaku di sana, dengan pikiran yang berputar. Apa maksudnya? Siapa yang mengawasiku? Kenapa dia memperhatikanku begitu dalam?

Tuan Garrick tampaknya tidak menyadari perbincangan kami. Dia sibuk mengatur barang-barang di belakang konter, sementara aku berdiri di tengah kedai, mencoba memahami perasaan gelisah yang mulai menguasai diriku.

Aku memutuskan untuk menyelesaikan hari ini, namun di dalam hati, aku merasa sesuatu yang besar sedang datang—sesuatu yang akan mengubah semuanya.

---

Hari itu berlanjut dengan keheningan yang tidak biasa. Kedai yang biasanya penuh dengan percakapan dan suara gelak tawa, seolah terbungkus dalam lapisan ketegangan yang tipis. Setiap kali aku melangkah, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi, menyusup dalam setiap gerakan. Bahkan langkahku yang paling ringan pun terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menggantung di atas pundakku.

Pria yang datang tadi, dengan topi dan mantel hitamnya, terus terngiang dalam pikiranku. Kata-katanya seperti bekas luka yang belum sembuh, menancap dalam setiap sudut kesadaranku. "Ada yang sedang menunggumu." Kalimat itu berputar-putar dalam pikiranku tanpa henti.

Tuan Garrick tidak tahu apa yang terjadi, atau lebih tepatnya, dia tidak peduli. Dia hanya sibuk dengan pekerjaannya, menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk pelanggan yang datang pergi. Namun, ada ketegangan di antara kami yang tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang membuatku merasa seolah-olah aku berada di dalam permainan yang lebih besar dari sekadar melayani pelanggan.

Aku menyelesaikan tugas hari itu dengan cepat, tetapi setiap detik yang berlalu seolah semakin membuatku terperangkap dalam labirin pikiran. Apa yang dimaksud pria itu? Mengapa aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar sedang mengincar diriku?

---

Saat akhirnya aku mengakhiri pekerjaan dan keluar dari kedai, langit sudah gelap. Angin malam terasa lebih tajam, seakan memanggilku untuk merenung lebih dalam. Langkahku berat, dan aku hanya bisa berpikir tentang pertemuan tadi. Perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam diriku tak bisa diabaikan begitu saja. Aku merasa seperti ada bayangan yang mengikutiku, semakin mendekat seiring aku berjalan menuju rumah.

Aku memutuskan untuk tidak melalui jalan utama, melainkan berbelok menuju gang kecil yang jarang dilalui orang. Gang itu lebih gelap, lebih sepi, dan aku merasa ada lebih sedikit mata yang mengawasi. Tapi saat aku melangkah ke dalam, aku merasa ada yang berbeda. Suasana di sekitar semakin sunyi, dan udara malam terasa semakin padat, seolah ada sesuatu yang menekan dari segala arah.

Di tengah gang yang sepi itu, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku berdegup kencang. Di ujung jalan, ada sebuah siluet. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menunggu. Aku berhenti, menatap bayangan itu dengan jantung yang berdegup lebih keras. Dalam kegelapan, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa atau apa itu. Namun, rasa takut yang tiba-tiba muncul membuat keringat dingin membasahi pelipisku.

Aku melangkah mundur perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Tetapi, seketika, bayangan itu bergerak, langkahnya ringan namun pasti. Dalam beberapa detik, sosok itu sudah berada di depanku.

"Ray," suara itu terdengar seperti bisikan, namun begitu jelas. Suaranya berat dan penuh misteri, seperti berasal dari kedalaman yang jauh. Aku menatapnya dengan mata yang hampir tak percaya.

Pria itu adalah orang yang sama. Pria dengan mantel hitam dan topi lebar. "Kenapa kamu mengikuti saya?" tanyaku dengan suara yang sedikit gemetar, meskipun aku berusaha untuk tetap tenang.

Dia tersenyum tipis, tetapi senyum itu lebih mengerikan daripada menghibur. "Kamu tahu mengapa. Mereka sudah mengincarmu."

"Apa yang kamu maksud?" tanyaku, merasa semakin bingung dan cemas.

Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia menatapku dengan mata yang penuh perhitungan, seperti sedang menilai seberapa jauh aku akan pergi. "Kamu tidak bisa menghindarinya. Mereka sudah tahu tentangmu. Mereka sudah tahu apa yang ada di dalam dirimu."

Aku mundur selangkah, ingin melarikan diri, namun kaki seolah terkunci di tempatnya. "Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan dariku?" tanyaku dengan suara yang hampir terpecah.

Pria itu mendekat, dan meskipun suaranya tetap rendah, ada ketegangan yang tak terucapkan dalam setiap kata. "Mereka adalah kekuatan yang lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan. Dan kamu, Ray, adalah bagian dari rencana mereka."

Aku merasa tubuhku membeku, setiap kata yang diucapkannya membebani pikiranku. Apa yang dia katakan? Aku tidak tahu harus percaya pada siapa, atau apa yang harus kulakukan. Semua ini terasa begitu jauh dari kehidupanku yang sederhana sebagai seorang pelayan di kedai, tetapi kata-kata pria itu membuatku merasakan sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang mengancam.

Pria itu kemudian bergerak mundur, seolah selesai dengan pertemuan kami. "Ingatlah, Ray. Mereka akan datang. Tidak ada yang bisa menghindar dari mereka." Setelah mengucapkan itu, dia melangkah ke dalam kegelapan gang, dan dalam sekejap, dia menghilang.

Aku berdiri di sana, merasa kehilangan arah. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggelegak di dalam kepalaku, dan aku merasa semakin bingung dengan dunia yang tiba-tiba saja terasa sangat asing. Aku berjalan kembali ke rumah dengan langkah yang lebih cepat, tetapi ada satu hal yang tidak bisa aku lupakan—kata-kata pria itu yang terus menggema di telingaku. Mereka sudah tahu tentangku.

---

Setibanya di rumah, aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di luar, menatap langit yang mulai mendung, menunggu hujan turun. Suasana kota ini, yang sebelumnya terasa familiar, kini terasa penuh dengan ancaman yang tak tampak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa yang dimaksud pria itu dengan "mereka"?

Aku memutuskan untuk tidak tidur malam itu. Pikiran-pikiran tentang pria misterius dan kata-katanya mengisi kepalaku, tidak memberi ruang bagi rasa kantuk. Aku duduk di meja kecil, menatap buku yang tergeletak di sana—buku petualangan yang semalam kutemukan. Kalimat pertama yang kubaca kembali terngiang di benakku: "Hidup seorang pahlawan dimulai dari keberanian untuk melangkah ke dalam ketidakpastian."

Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku harus melangkah ke dalam ketidakpastian itu. Tapi pertanyaannya, apakah aku cukup berani?