Chereads / Pembantaian Nirwana / Chapter 11 - 11. Langkah Takdir

Chapter 11 - 11. Langkah Takdir

Kabut pagi perlahan-lahan menyelimuti Desa Lianhua, menciptakan suasana hening yang nyaris mistis. Di tengah-tengah desa, sebuah bangunan kuno berdiri dengan kokoh sebuah aula besar yang menjadi tempat berkumpul para murid untuk memulai perjalanan spiritual mereka. Di sana, Li Xing berdiri di depan pintu kayu besar, menghadap langsung ke simbol naga yang terukir pada permukaannya. Simbol itu memancarkan aura yang agung, seakan mengingatkan siapa saja yang melihatnya akan kekuatan besar yang tersembunyi di balik dinding tersebut.

Hari ini adalah hari yang penting bagi Li Xing. Ia telah menanti momen ini sepanjang hidupnya, sejak pertama kali ia mendengar cerita tentang leluhur mereka yang berhasil mencapai puncak kekuatan spiritual. Namun, perasaan gelisah tetap menyelimuti dirinya. Setiap langkah menuju aula itu terasa berat, seperti ada sesuatu yang membebaninya.

"Jangan terlalu memikirkannya, Li Xing. Kau hanya akan membuat dirimu semakin gugup," kata Yao Mei, sahabat sekaligus pendukung setianya. Yao Mei adalah satu dari sedikit orang yang selalu berada di sisi Li Xing, bahkan saat semua orang meragukan potensinya. Dengan rambut hitam panjang yang dikepang rapi dan mata yang tajam, ia adalah sosok yang penuh percaya diri. Namun, dalam sorot matanya, terselip kekhawatiran yang ia sembunyikan rapat-rapat.

Li Xing menghela napas panjang dan tersenyum tipis ke arah Yao Mei. "Aku tahu, tapi tetap saja, ini bukan hal yang mudah," jawabnya sambil melirik pintu besar itu. "Setiap orang di desa ini berharap terlalu banyak dariku. Kadang-kadang aku merasa beban ini terlalu berat."

Yao Mei meletakkan tangannya di bahu Li Xing, memberikan dorongan semangat. "Kau tidak sendirian. Apa pun yang terjadi, ingatlah bahwa aku ada di sini. Kita akan melewati semua ini bersama."

Kata-kata itu sedikit menguatkan Li Xing. Dengan tekad baru, ia melangkah maju, membuka pintu besar itu dengan kedua tangannya. Bunyi berderit yang berat memenuhi udara, diikuti dengan kilauan cahaya keemasan yang berasal dari dalam aula. Di tengah aula, sebuah altar megah berdiri, dikelilingi oleh lilin-lilin besar yang memancarkan cahaya redup. Altar itu dihiasi ukiran-ukiran kuno dan batu permata yang berkilau di bawah cahaya lilin, menciptakan pemandangan yang memukau sekaligus menakutkan.

"Li Xing," suara berat menggema dari sisi lain ruangan. Sosok seorang pria tua muncul dari bayang-bayang, mengenakan jubah panjang berwarna biru gelap yang dihiasi dengan simbol-simbol bintang. Pria itu adalah Yun Shen, guru besar sekaligus pemimpin desa. Sorot matanya tajam, penuh dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari pengalaman bertahun-tahun.

Li Xing membungkukkan badan dengan hormat. "Guru Yun Shen, aku siap untuk memulai latihan pertamaku."

Yun Shen mengangguk pelan. "Bagus. Tapi ingatlah, perjalanan ini bukan tentang kekuatan semata. Ini adalah tentang memahami dirimu sendiri, tentang menemukan keseimbangan antara hati dan jiwa."

Li Xing mengangguk, meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan. Ia berjalan mendekati altar, merasakan energi yang memancar dari permukaannya. Energi itu terasa hidup, seperti denyut nadi yang bergetar di udara. Yun Shen menginstruksikannya untuk duduk di depan altar dan memejamkan mata.

"Fokus pada aliran energi di sekitarmu," kata Yun Shen, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Rasakan setiap denyutnya, setiap pergerakannya. Jangan melawan, biarkan dirimu menyatu dengannya."

Li Xing menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengikuti instruksi tersebut. Ia merasakan energi itu mengalir perlahan, seperti arus sungai yang mengalir di bawah permukaan kulitnya. Namun, setiap kali ia mencoba mengendalikannya, energi itu melawan, seakan memiliki kehendaknya sendiri. Keringat mulai mengalir di dahinya, tubuhnya gemetar karena ketegangan.

"Jangan melawan," Yun Shen mengingatkan. "Energi ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Kau harus belajar untuk mengalir bersamanya."

Kata-kata itu membuat Li Xing mencoba pendekatan yang berbeda. Ia membayangkan dirinya sebagai daun yang hanyut di sungai, mengikuti arus tanpa perlawanan. Perlahan, ia mulai merasakan energi itu menyatu dengannya. Sensasi hangat menyelimuti tubuhnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seolah-olah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

"Bagus," kata Yun Shen dengan nada puas. "Kau telah mengambil langkah pertama. Tapi ingat, ini baru permulaan. Perjalananmu masih panjang, dan rintangan yang lebih besar menantimu di depan."

Li Xing membuka matanya, pandangannya tertuju pada Yun Shen. Meskipun tubuhnya terasa lelah, ada secercah kebanggaan dalam hatinya. Ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanannya, tetapi langkah pertama ini memberinya harapan bahwa ia mampu mengatasi apa pun yang datang di depannya.

Ketika malam tiba, Li Xing duduk sendirian di tepi danau kecil di luar desa. Permukaan air yang tenang memantulkan cahaya bulan, menciptakan pemandangan yang indah namun melankolis. Pikirannya melayang pada latihan yang baru saja ia jalani. Energi itu, meskipun sulit dipahami, telah memberinya pandangan sekilas tentang potensi yang ia miliki. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya sebuah perasaan bahwa ia belum sepenuhnya memahami apa yang sedang ia hadapi.

"Apa yang kau pikirkan?" Suara lembut memecah keheningan. Li Xing menoleh dan melihat Yao Mei berjalan mendekat, membawa sebuah nampan dengan dua cangkir teh hangat. Senyum lembutnya membuat suasana terasa lebih ringan.

"Aku hanya mencoba mencerna semuanya," jawab Li Xing sambil menerima salah satu cangkir. "Latihan hari ini... rasanya seperti aku menyentuh sesuatu yang besar, tapi aku belum benar-benar memahaminya."

Yao Mei duduk di sampingnya, matanya tertuju pada permukaan danau. "Itu wajar," katanya pelan. "Tidak ada yang bisa menguasai semuanya dalam satu malam. Bahkan Yun Shen pasti butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkatannya sekarang."

Li Xing menghela napas. "Aku tahu, tapi tetap saja, aku merasa ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Aku tidak bisa gagal."

Yao Mei menatapnya, sorot matanya lembut namun penuh perhatian. "Kau selalu menanggung beban ini sendirian, Li Xing. Tapi ingatlah, kau tidak sendiri. Aku ada di sini. Kami semua ada di sini untukmu."

Kata-kata itu menenangkan hati Li Xing, meskipun ia masih merasa berat dengan tanggung jawab yang harus ia pikul. Mereka berbicara lama di bawah sinar bulan, membahas mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Meski tidak semua keraguan Li Xing hilang, malam itu memberinya secercah harapan. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan rintangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak harus menghadapinya sendirian.

Ketika akhirnya mereka berpisah dan kembali ke pondok masing-masing, Li Xing duduk di atas tempat tidurnya dan menatap ke luar jendela. Bintang-bintang yang berkelip di langit seolah-olah berbicara kepadanya, mengingatkan bahwa selalu ada harapan di tengah kegelapan. Dengan tekad yang semakin kuat, ia mengepalkan tangannya dan berbisik pelan pada dirinya sendiri.