Chereads / Pembantaian Nirwana / Chapter 12 - 12. Tujuan

Chapter 12 - 12. Tujuan

Langit mendung menyelimuti pegunungan yang menjulang di kejauhan, seperti tirai abu-abu yang menghalangi cahaya matahari. Li Xing berjalan perlahan di jalan setapak berbatu yang menghubungkan desa kecil mereka dengan lembah di bawahnya. Suara angin yang membawa aroma tanah basah terdengar lirih, menciptakan suasana sepi yang terasa menekan.

Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di altar. Ia telah merasakan energi spiritual yang begitu besar, namun juga menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan kekuatan alam semesta. Setiap langkah yang ia ambil membawa beban tanggung jawab yang terus bertambah. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan menuntut lebih banyak pengorbanan daripada yang pernah ia bayangkan.

Di belakangnya, suara langkah ringan terdengar. Li Xing berhenti dan menoleh. Yao Mei berjalan mendekatinya dengan senyum tipis di wajahnya. "Kau berjalan terlalu cepat," katanya, sedikit terengah-engah. Ia membawa tas kecil berisi ramuan obat dan beberapa perbekalan.

"Aku hanya ingin sampai lebih cepat," jawab Li Xing. Matanya kembali tertuju ke jalan di depannya.

"Kenapa terburu-buru?" Yao Mei bertanya sambil melangkah sejajar dengannya. "Tujuan kita tidak akan lari ke mana-mana. Kau harus belajar menikmati perjalanan."

Li Xing menghela napas panjang. "Bukan itu, Yao Mei. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mendesak. Aku tidak tahu apa, tapi rasanya seperti ada bahaya yang semakin dekat."

Yao Mei menatapnya dengan penuh perhatian, tapi tak mengatakan apa-apa. Ia tahu, Li Xing selalu memikul terlalu banyak beban di pundaknya, meski ia jarang mengungkapkannya.

Mereka terus berjalan, melewati hutan pinus yang lebat. Suara burung-burung di kejauhan mengiringi perjalanan mereka, namun suasana terasa tidak seperti biasanya. Udara terasa lebih dingin dari yang seharusnya, dan keheningan yang tiba-tiba membuat Yao Mei menggigil tanpa alasan yang jelas.

"Li Xing," bisiknya pelan, "Apakah kau merasakan sesuatu yang aneh?"

Li Xing berhenti, matanya menyipit saat ia memperhatikan sekeliling. Ia merasakan energi yang tidak biasa, seperti getaran halus yang merambat melalui tanah. "Diam," katanya perlahan. Tangannya bergerak ke gagang pedangnya, bersiap menghadapi apapun yang akan muncul.

Dalam sekejap, suara gemerisik dari semak-semak di depan mereka menarik perhatian keduanya. Seekor binatang besar muncul dari balik bayangan pepohonan. Kulitnya gelap dan kasar seperti batu, dengan mata merah menyala yang menatap tajam ke arah mereka.

"Beast yang telah menguasai energi spiritual," gumam Li Xing. Tubuhnya menegang, namun ia tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. Ia tahu bahwa pertarungan ini tidak bisa dihindari.

"Yao Mei, mundur!" serunya. Namun, sebelum Yao Mei sempat bergerak, binatang itu melompat ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa.

Li Xing menarik pedangnya, gerakannya cepat dan terlatih. Kilatan logam bersinar saat ia menebas ke arah binatang itu, namun makhluk tersebut dengan mudah menghindar, melancarkan serangan balasan yang memaksa Li Xing untuk mundur beberapa langkah.

"Li Xing, hati-hati!" Yao Mei berteriak sambil mengambil posisi lebih jauh di belakang. Ia merapalkan mantra sederhana untuk menciptakan pelindung di sekeliling mereka, meskipun ia tahu bahwa itu tidak akan bertahan lama jika binatang itu menyerang lagi.

Li Xing mengatur napasnya, memusatkan energi spiritual di sekitarnya. Ia merasakan kekuatan itu mengalir ke dalam tubuhnya, memperkuat otot dan refleksnya. Dengan gerakan cepat, ia menyerang kembali, kali ini dengan strategi yang lebih hati-hati.

Binatang itu menggeram, serangannya menjadi semakin liar dan brutal. Namun, Li Xing mulai melihat pola dalam gerakannya. Ia menunggu momen yang tepat, dan ketika binatang itu melompat untuk menyerang, ia melancarkan serangan terakhir yang menghantam langsung ke titik lemah di lehernya.

Makhluk itu mengerang kesakitan sebelum akhirnya tumbang. Tubuhnya yang besar jatuh ke tanah dengan dentuman keras, meninggalkan jejak darah gelap di atas tanah yang dingin.

Li Xing terengah-engah, tubuhnya dipenuhi keringat. "Ini baru awal," katanya pelan, menyeka darah dari pedangnya.

Yao Mei mendekatinya, matanya penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Li Xing mengangguk, meskipun ia merasakan tubuhnya mulai melemah akibat pertempuran tadi. "Kita harus melanjutkan perjalanan. Tempat ini semakin berbahaya."

Setelah pertempuran singkat dengan binatang spiritual tadi, Li Xing dan Yao Mei melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih waspada. Langit semakin mendung, seolah-olah menggambarkan ketegangan yang mereka rasakan di dalam hati masing-masing. Di depan mereka, jalan setapak semakin menanjak, membelah hutan yang semakin lebat.

"Li Xing," Yao Mei memecah keheningan, suaranya rendah namun terdengar jelas di tengah suara angin. "Kenapa kau tidak memberitahuku apa yang sebenarnya kau rasakan?"

Li Xing menoleh, keningnya berkerut. "Apa maksudmu?"

"Kau sudah berbeda sejak kita meninggalkan altar," jawab Yao Mei sambil menatapnya dengan tajam. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kau mungkin bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi tidak dariku."

Li Xing terdiam. Ia tahu bahwa Yao Mei selalu mampu melihat apa yang ia coba sembunyikan. "Aku hanya merasa ada sesuatu yang salah," jawabnya akhirnya. "Energi di tempat ini terasa tidak stabil. Seolah-olah ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi aku tidak tahu apa."

Yao Mei menggigit bibirnya, mencoba memahami kekhawatiran Li Xing. "Apakah ini berkaitan dengan energi spiritual yang kau rasakan di altar?"

"Mungkin," jawab Li Xing. "Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku atau benar-benar tanda bahaya."

Mereka terus berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Jalan setapak membawa mereka ke sebuah lembah kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi. Di tengah lembah itu, terdapat sebuah reruntuhan tua yang tampak telah lama ditinggalkan.

Li Xing berhenti, matanya menyipit saat ia memperhatikan reruntuhan itu. "Tempat ini..." gumamnya.

Yao Mei berdiri di sampingnya, matanya membelalak. "Aku pernah mendengar cerita tentang tempat ini," katanya pelan. "Reruntuhan ini disebut Kuil Langit yang Hilang. Katanya, dulu ini adalah tempat para kultivator kuat berkumpul untuk mempelajari energi spiritual."

Li Xing melangkah mendekati reruntuhan itu, rasa penasaran mengalahkan rasa lelahnya. Batu-batu besar yang berserakan di tanah dihiasi ukiran-ukiran kuno yang masih terlihat jelas meskipun usianya sudah ratusan tahun. Ia bisa merasakan sisa-sisa energi spiritual yang masih tersimpan di tempat itu, meskipun sudah sangat lemah.

"Li Xing," Yao Mei memanggilnya, suaranya sedikit gemetar. "Kau yakin ini ide yang baik? Tempat ini terasa... tidak aman."

"Kita tidak bisa melewatkan ini," jawab Li Xing tanpa ragu. "Jika tempat ini benar-benar Kuil Langit yang Hilang, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna untuk perjalanan kita."

Mereka masuk lebih dalam ke dalam reruntuhan itu. Udara di dalamnya terasa lebih dingin, dan suara langkah kaki mereka bergema di dinding-dinding batu. Li Xing memperhatikan setiap detail di sekelilingnya, mencari petunjuk tentang apa yang pernah terjadi di tempat ini.

Tiba-tiba, ia merasakan getaran di tanah. "Hati-hati!" serunya, menarik Yao Mei ke belakang. Beberapa batu besar runtuh dari langit-langit, menutup jalan masuk mereka.

"Li Xing, kita terjebak!" Yao Mei berteriak, suaranya penuh kepanikan.

"Tenang," kata Li Xing dengan suara tegas. Ia memusatkan energinya, mencoba mencari jalan keluar. Namun, sebelum ia sempat bertindak, sebuah suara aneh terdengar dari dalam reruntuhan.

"Siapa yang berani mengganggu tempat peristirahatan ini?"

Li Xing dan Yao Mei saling bertukar pandang, wajah mereka penuh kebingungan dan ketegangan. Dari bayangan di sudut ruangan, muncul sosok tinggi yang diliputi oleh aura gelap. Matanya bersinar merah seperti api, dan setiap langkahnya menggema di ruangan itu.

"Siapa kau?" tanya Li Xing, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Sosok itu tersenyum tipis, namun senyumnya lebih menyerupai seringai. "Aku adalah penjaga tempat ini," jawabnya dengan suara yang dalam dan menggetarkan. "Siapapun yang memasuki kuil ini tanpa izin harus membuktikan dirinya layak."

Li Xing menggenggam pedangnya lebih erat. "Apa yang harus kami lakukan untuk membuktikan kelayakan kami?"

Sosok itu mengangkat tangannya, dan seketika ruangan itu dipenuhi oleh energi gelap yang membuat napas mereka terasa sesak. "Bertahanlah," katanya singkat, sebelum melancarkan serangan pertama.

Li Xing melompat ke depan, mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan itu. Benturan energi membuat ruangan berguncang, dan Yao Mei berusaha melindungi diri dengan perisai spiritual yang ia buat.

Pertarungan itu berlangsung dengan intensitas yang semakin meningkat. Li Xing mengerahkan seluruh kemampuan dan energinya, mencoba melawan kekuatan yang jelas berada di atas kemampuannya. Namun, setiap kali ia terjatuh, ia bangkit lagi dengan tekad yang lebih besar.

Yao Mei, meskipun tidak sekuat Li Xing, tetap membantu dengan menciptakan penghalang dan memberikan dukungan dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah ujian yang harus mereka hadapi bersama.

Setelah apa yang terasa seperti berjam-jam, Li Xing akhirnya berhasil menemukan celah dalam pertahanan musuhnya. Dengan satu serangan terakhir, ia menghantamkan pedangnya ke inti energi gelap itu, menghancurkannya dalam kilatan cahaya yang menyilaukan.

Saat sosok itu menghilang, ruangan kembali sunyi. Li Xing terjatuh ke lututnya, terengah-engah. "Apakah sudah selesai?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.

Yao Mei membantunya berdiri, wajahnya penuh kelegaan. "Kau berhasil, Li Xing. Kau membuktikan dirimu layak."

Namun, sebelum mereka sempat beristirahat, sebuah cahaya muncul dari lantai reruntuhan. Sebuah simbol kuno bersinar terang, dan suara lembut terdengar di udara. "Kalian telah membuktikan keberanian dan ketulusan kalian. Ambillah warisan ini, dan gunakan dengan bijak."

Li Xing dan Yao Mei saling berpandangan, mata mereka dipenuhi keheranan. Apa yang akan mereka temukan di balik cahaya itu?