"Kau pikir semuanya akan jadi lebih mudah kalau kau menangis?" Alianna terbangun dari tidurnya, mencoba menghapus mimpi buruk yang datang dari kenangan masa lalunya. Memang betul kalau gadis itu membuat kegaduhan, namun dalam benaknya, semua yang dilakukannya hanyalah sebuah bentuk kebebasan, sebuah cara untuk bersenang-senang. Gadis itu berdiri dari tempat tidurnya lalu membasuh wajahnya dengan air yang mengalir jernih dari mata air terdekat ke wastafel milik kediaman kerajaan. "Apa yang harus aku lakukan," ucapnya dalam derita. Mungkin saat ini, kematian adalah jalan terakhir baginya.
Bagi Lunndi Vannder, berburu adalah sebuah tradisi yang dipertahankan keluarganya dan dirinya selama ratusan tahun. "Atas dasar itu, aku bisa bersimpati dengan keadaan adikmu. Aku ingin membantu, Christian."
Christian mengernyitkan dahi, diserahkannya sebuah senapan yang sudah diisi peluru lalu diberikannya senyuman yang dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan kepada sahabat karibnya itu.
"Kau tidak mengerti, ini adalah masalah besar."
"Sudah?"
"Sudah."
"Bagus, masalah kerajaan biar ayahku yang urus."
Di sudut tertinggi kerajaan Andalusia, dalam ruangan tertinggi kastil milik raja Fritz, semua orang menertawakan sang raja Streissberg yang makin lama makin kehilangan harga dirinya di hadapan semua orang. "Tidak cukupkah kalian menindas kami di masa lalu, sekarang anggota keluarga Streissberg berani-beraninya membunuh seekor rusa Andalusia?" Namun pernyataan itu dijawab oleh tatapan sang raja yang kelewat dingin saat itu, seakan semua cemoohan itu tidak berarti apa-apa baginya. "Kami tidak menginginkan konflik lebih lanjut dengan Andalusia, atas dasar itu kami mohon agar diberikan kompensasi atas seluruh kejadian yang ada. Lagipula perburuan itu terjadi tepat sebelum diberlakukannya dekrit perburuan rusa liar Andalusia."
"Entah apa yang sedang dilakukan sang raja saat ini," ucap Lundi sambil menyiapkan perahu untuk mereka berdua melintasi rawa-rawa. "Kau yakin tempat ini aman? Ada banyak buaya rawa, terkadang ada juga Hyerops yang bisa menyergap kita dari bawah," Christian berkata dengan lantang. "Kan ada kau disini, sang ahli sihir elemen angin," ucap Lundi sambil tertawa riang.
Mereka berdua tertawa lebar sambil terus mendayung agar perahu kecil itu terus bergerak, mengarahkan mereka kepada gerombolan ayam hutan yang saat ini sedang berburu ikan. "Kau tahu, benda ini (sambil memperlihatkan senapan ditangannya). Era penyihir sudah selesai, Lundi. Sudah waktunya kita beralih pada sumber daya yang bisa semua orang gunakan," ucap Christian. Lundi tertegun, namun pandangannya teralihkan pada ayam hutan yang mendekati mereka. "Lihatlah itu," lalu hanya dalam beberapa detik dan peluru yang ditembakkan, dua ekor ayam hutan berhasil menjadi buruan mereka.
Perjalanan pulang itu sunyi, bahkan setelah kemenangan yang didapatkan terhadap beberapa ekor unggas yang berhasil mereka berdua tangkap. "Kau.. kudengar sedang mengincar seorang gadis dari kalangan bawah ya," ucapan Lundi membuat Christian terdiam, matanya membelalak kaget seperti mengatakan "bagaimana kau tahu." "Tentu saja aku tahu, sihirku bisa membaca pikiran orang. Apalagi kau adalah sahabatku," meskipun hanya sedikit, namun perkataan itu berhasil menenangkan hatinya. Christian tertawa terbahak-bahak sambil menepuk pundak sahabatnya itu, mereka kemudian mengaitkan hewan buruan mereka kedalam sadel yang dipanggul kuda mereka masing-masing. "Mari kita pulang."
"Kau tidak terlihat begitu baik."
"Aku tidak apa-apa, hanya saja, ada beberapa hal yang menggangguku."
"Ada apa?"
"Kau mengompol ya?"
"Hah?"
"Sudahlah, kita pulang saja."
Meskipun bukan itu yang sebenarnya mengganggu pikiran Christian, namun kedua sahabat karib itu pulang tanpa masalah yang berarti.