Liam Von Gracias membuka matanya perlahan, matanya memandang lurus ke langit yang gelap. Sebuah bintang terang menggantung di angkasa, seolah memanggilnya dengan cahaya kecilnya. Namun, dinginnya angin malam yang menyapu kulitnya membuat Liam sadar, ada sesuatu yang salah.
"Dimana… ini?" gumamnya.
Sekitar Liam, hamparan rerumputan memanjang sejauh mata memandang. Tak ada bangunan, tak ada tanda-tanda kehidupan lain, hanya dirinya dan alam yang terasa asing. Padahal, terakhir kali dia ingat, dirinya sedang duduk di bawah loteng rumah sambil membaca buku lama peninggalan kakeknya.
Ketika dia mencoba berdiri, tubuhnya terasa ringan, lebih ringan dari biasanya. Angin seolah membelai rambut cokelatnya yang acak-acakan, membawa aroma rerumputan basah bercampur bau logam tipis. Sesaat, dia menyentuh tanah di bawah kakinya. Hangat. Tapi bukan hangat yang menenangkan, melainkan hangat yang membuat tubuhnya bergidik.
"Ini bukan mimpi, kan?" bisiknya pelan sambil mencubit lengannya. Rasa sakit itu nyata.
Langkah kaki yang ragu membawanya menjauh dari tempat ia terbangun. Semakin jauh ia berjalan, semakin aneh suasana yang ia rasakan. Langit yang tadinya gelap perlahan menunjukkan warna ungu samar, dengan kilauan cahaya seperti aurora yang berputar-putar di atasnya.
Di tengah lamunannya, sebuah suara gemuruh membuatnya terhenti.
Tanah di hadapannya retak, dan dari retakan itu, sesuatu muncul. Sebuah pilar batu besar dengan ukiran aneh, memancarkan cahaya biru menyilaukan.
"Astaga... apa-apaan ini?"
Pilar itu berdiri dengan kokoh, dan tak lama, cahaya biru tersebut berubah menjadi simbol-simbol misterius yang melayang di udara. Sebuah suara menggema di dalam kepalanya, bukan suara manusia, tapi suara yang dalam dan penuh wibawa.
"Liam Von Gracias, sang Pengembara. Selamat datang di dunia Argenath."
Jantung Liam berdegup kencang. Nama itu, Argenath, terdengar familiar. Kakeknya sering menyebutnya ketika bercerita tentang dunia fantasi. Tapi… itu hanya dongeng, kan?
Suara itu melanjutkan, kali ini dengan nada lebih dingin.
"Bangkitlah. Waktumu untuk bertahan hidup dimulai sekarang."
Seketika, bayangan gelap muncul dari segala arah. Sosok-sosok besar dengan mata merah menyala, membawa senjata primitif namun terlihat mematikan. Liam mundur selangkah, tubuhnya bergetar.
"Apa ini ujian? Atau aku benar-benar akan mati di sini?" gumamnya.
Namun, saat bayangan pertama melompat ke arahnya, tangan Liam bergerak dengan refleks yang tak ia sadari. Dalam sekejap, pedang bercahaya muncul di tangannya, seolah terpanggil dari udara kosong.
"Pedang... dari mana asalnya?"
Suara itu menggema sekali lagi.
"Pedang itu adalah milikmu, milik garis keturunanmu. Gunakan, atau mati."
Tanpa waktu untuk berpikir, Liam mengangkat pedang tersebut. Sosok gelap itu mendekat dengan kecepatan yang tak terbayangkan, dan dengan satu tebasan, pedang tersebut memancarkan cahaya yang membelah bayangan itu menjadi serpihan kecil.
Napas Liam tersengal. "Ini gila... aku tidak tahu cara bertarung!"
Tapi entah bagaimana, tubuhnya terus bergerak, seperti dipandu oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Setiap gerakan terasa alami, seolah ia telah melatihnya selama bertahun-tahun.
Saat serangan demi serangan berhasil ia tepis, sebuah pemikiran mulai tumbuh di dalam dirinya.
"Aku tidak tahu kenapa aku ada di sini, tapi satu hal yang pasti... aku harus bertahan hidup."
Di kejauhan, cahaya dari pilar itu mulai meredup, meninggalkan Liam yang berdiri di tengah medan penuh serpihan bayangan yang baru saja ia kalahkan.
Di tengah sunyi itu, suara berat tadi muncul lagi, kali ini lebih pelan.
"Selamat, Pengembara. Langkah pertama telah usai. Tapi ingat, ini baru permulaan."
Liam menatap pedang di tangannya, lalu ke arah horizon yang mulai memancarkan warna kemerahan.
"Permulaan, ya? Kalau begitu, aku akan memastikan ini bukan akhirku."
---
To Be Continued...