"Apakah kalian rekan, atau musuh bagi kami?"
Ia berjalan tertatih-tatih menggendong Bethany yang tak sadarkan diri. Wajahnya menyedihkan karena tidak sempat membersihkan lukanya.
"Apakah kalian hanya berdua?"
Juliette menggelengkan kepala. Kakinya sudah tidak kuat menopang lagi. Ia terjatuh bersama Bethany.
Seorang perempuan dengan tatapan dingin turun dari kudanya. Rambutnya berwarna biru gelap begitu pula dengan matanya. Ia mengenakan seragam Federasi disertai rompi pelindung di dadanya.
Perempuan itu ditemani oleh prajurit berzirah dengan tombak dan perisai yang sudah mulai terkikis dan rusak. Mereka berbaris di belakangnya sambil memantau area sekitar. Kebetulan mereka berpapasan di perempatan.
"Labirin ini sangat berbahaya, ikutlah denganku dan jelaskan semuanya,"
Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Juliette. Ajudan bergerak sesuai arahannya membawa Bethany dan memutuskan untuk kembali ke markas. Begitu pula dengan perempuan itu meninggalkan Juliette yang hanya termenung diam.
"Kenapa keberuntungan harus datang di saat kita sudah menyerah dengan segala hal?" tanya Juliette sebelum yang lain meninggalkannya.
Perempuan itu berpaling, "Karena kau belum boleh mati sekarang,"
"Kau akan aman bersamaku, anggota ekspedisi Red City, pemimpin guild Sunbringer, Vannesa Bryant,"
[Before the Endworld]
"Anak buahku sudah menemukan rekanmu yang satu lagi, ia akan diobati segera seperti kalian," ujar Vannesa menghampiri tenda milik Juliette.
Bethany masih tak sadarkan diri setelah memberontak begitu keras sambil menangis histeris karena kehilangan Aland, orang yang sangat berarti baginya.
"Kau seharusnya juga beristirahat, kau kehilangan banyak sekali darah. Keadaanmu paling memprihatinkan dibanding yang lain," seru Vannesa.
"Tidak mungkin aku bisa beristirahat setelah lagi-lagi gagal melindungi anggota-anggotaku sebagai pemimpin," jawabnya.
"Kalau begitu jangan menjadi beban dan masuk ke dalam neraka ini jika mentalmu saja selemah itu, dasar," jawab ketus Vannesa sebelum pergi.
Markas mereka terdapat pada sebuah ruangan yang cukup luas dan dibangun sebuah dinding pertahanan yang selalu dijaga oleh beberapa prajurit. Banyak tenda yang digunakan untuk keperluan masing-masing. Semuanya adalah prajurit dan anggota dari guild Sunbringer. Vannesa telah mengatur sedemikian rupa sambil melakukan ekspedisi berkala terhadap labirin raksasa tersebut. Mereka selalu melakukan evaluasi setelah melakukan ekspedisi.
"Sebuah hal yang tak terduga kita menemukan 3 orang yang masuk melalui celah dan terjebak di labirin ini selain kita," ujar ajudannya bernama Hendra.
"Mereka dijamin tidak berbahaya, kan?"
"Tenang saja, biar aku sendiri yang mengawasi mereka bertiga," jawab Vannesa memasuki ruang rapat. Semua menjadi tegang karena kedatangan pemimpin mereka.
"Mereka tidak akan mengganggu rencana kita, tetap jalankan seperti biasa. Bagaimana perkembangan ekspedisi kali ini?" tanya Vannesa.
"Sejauh ini stok makanan kita peroleh dengan mudah melalui pembasmian para monster di sekitar dengan memilah daging-daging yang layak dimakan. Sayangnya, berbeda dengan kawasan sebelumnya, kita. belum menemukan sumber mata air sama sekali," jawab Hendra.
"Dengan persediaan air kita yang sekarang, hanya cukup untuk 2 hari saja. Kita telah kehabisan waktu di tempat ini untuk waktu yang lama,"
"Bagaimana dengan proses pemetaan labirin ini?"
"Sudah terekam 85%. Sedikit lagi kita mungkin dapat menemukan jalan keluarnya," jawab Hendra.
"Jangan lupakan kemungkinan bahwa tidak ada jalan keluar dari labirin ini. Apa pun itu, prioritas kita tetap menemukan dua patung sakral lagi untuk mengaktifkan ritualnya. Tim C seharusnya akan kembali sebentar lagi memetakan lantai 3,"
Rapat dilanjutkan oleh ajudannya. Vannesa keluar dari ruang rapat berkeliling area sekitar. Ia kerap kali membantu pekerjaan anggotanya seperti memotong daging buruan, memperbaiki senjata, atau bahkan sekedar menjadi teman bicara. Yang terpenting kondisi mental mereka tetap terjaga agar mampu memberikan peforma terbaik.
"Hai, Lady Vannesa!" seru rekannya yang memimpin tim C dalam ekspedisi, Syera.
"Berhenti memanggilku seperti itu,"
"Tapi kau sering dipanggil begitu sama yang lain,"
"Jangan ikut-ikutan,"
Wajah Vannesa cemberut membahas hal tersebut. Tatapan membunuh terpancar jelas membuat Syera berhenti bermain-main.
"Aku dapat info menarik," ujar Syera.
"Sampaikan saja kepada Hendra, dia akan menjelaskan padaku nanti. Aku sedang ada urusan,"
Perhatian Syera teralihkan dengan seorang laki-laki yang berjalan tanpa arah di sekitar tenda. Sosok yang asing baginya.
"Aku tidak pernah melihatnya,"
"Anggota baru kita, nanti saja kujelaskan,"
Vannesa berjalan menghampiri laki-laki tersebut. Dia sedang bertanya-tanya dengan orang di sekitar namun semua menghiraukannya.
"Kau menakut-nakuti anak buahku," ujar Vannesa.
Rael menoleh kepada Vannesa yang sedikit lebih tinggi darinya. Dia langsung tahu bahwa yang sedang berbicara di hadapannya adalah Lady Vannesa yang menjadi misi utama mereka dalam ekspedisi kali ini.
"Perawat sudah memberitahu, saya ucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan kami,"
Vannesa menatap begitu lama mata Rael. Rasanya ia tidak mengharapkan percakapan seperti ini sebelumnya.
"Sepertinya keadaanmu baik-baik saja dari sikap yang kau tunjukkan,"
Rael memalingkan pandangan dan tersenyum tipis.
"Apakah anda mengira saya akan memarahi anda?" tanya Rael.
"Aku menginginkan hal seperti itu, sih,"
"Keinginan yang tidak masuk akal, Lady Vannesa,"
Mereka memutuskan untuk berbicara di tempat lain. Terdapat sebuah menara kecil yang mengawasi dinding pertahanan ruangan tersebut. Beberapa monster menyerupai manusia kerap kali menyerang markas mereka. Itu adalah iblis buatan SOLUS yang pernah mengamuk di Alterra.
"Kau serius tidak ingin menemui rekan-rekanmu?" tanya Vannesa.
Rael terdiam dan menggelengkan kepalanya dengan tatapan ragu. Kejadian itu masih terngiang-ngiang dalam kepalanya meskipun ia berusaha tegar seperti biasa.
"Aku sudah mendengar dari Reinhart tentang dirimu. Kau yang sebelumnya berkontribusi besar dalam penaklukan Red City sebelum berubah menjadi Retakan bersama rekan-rekanmu, ya?"
"Rekan-rekan saya sudah tiada, Lady Vannesa," jawab Rael.
"Bisa berhenti memanggilku Lady Vannesa? Cukup namaku saja, kita hanya sebatas rekan senasib yang sama-sama terjebak di labirin ini,"
"Baik,"
"Aku turut meminta maaf jika menyinggung tentang hal yang menimpa kalian, rekanmu sudah menjelaskan semuanya. Bagaimana rencanamu ke depannya?"
Rael mulai mendinginkan kepala dengan menghirup udara sebanyak mungkin lalu menghembuskannya. Kedua pipi ia pukul agar kembali fokus dengan misi. Lagipula itu yang diinginkan mereka.
"Sesuai misi kami sebelumnya, menemukan anggota yang tersesat di dalam Retakan lalu memandu mereka kembali ke dunia luar, saya dan dua rekan saya akan berusaha membantu kalian keluar dari labirin ini,"
"Setelah itu?" tanya Vannesa.
Rael kembali termenung. Dia sendiri tidak tahu labirin ini berada di daerah mana. Nampaknya akan menjadi perjalanan yang panjang untuk kembali ke dunia luar.
"Kau tahu seperti apa jurang tak berujung tersebut?" tanya Vannesa sekali lagi.
"Tidak,"
"Itu adalah tempat yang sangat gelap, namun berisi bola mana yang tersebar di dasar yang sedikit menerangi ruangan kosong tersebut. Kutukan menyelimuti tempat tersebut yang dapat menyerap energi kehidupan korban hingga meninggal dunia,"
Mendengar hal tersebut Rael menjadi semakin pesimis dengan persentase kehidupan Aland yang terjatuh bersama dengan The Ripper.
"Setidaknya aku berhasil bertahan hidup dan keluar dari tempat tersebut," ujarnya.
Alisnya terangkat, matanya kembali menoleh ke arah Vannesa.
"Tidak mustahil bagi rekanmu untuk selamat dari sana. Setidaknya jika kau percaya dia adalah orang yang sekuat diriku,"
Perkataan optimis dari Vannesa benar-benar membuat Rael tertawa, melupakan kesedihannya.
"Kalau begitu aku jadi tenang, rekanku jauh lebih kuat darimu," seru Rael.
[Before the Endworld]
"Minumlah lebih dahulu,"
Juliette membawakan segelas minuman air kepada Bethany yang baru saja tersadar. Tatapannya kosong dengan wajah murung, ia benar-benar mengabaikan Juliette.
Gelas itu dijatuhkan dengan sengaja oleh Bethany. Tatapannya sinis tanpa sepatah kata apa pun dilontarkan.
"Apa kau masih marah kepadaku?" tanya Juliette.
Ia teringat momen pertama kali mereka berpindah ke dalam labirin setelah menarik paksa Bethany yang menangis histeris.
"KENAPA KAU MEMBIARKANNYA BEGITU SAJA, JULIETTE!!"
"Aland sudah bertekad mengorbankan diri demi kita, kau ingin pengorbanannya sia-sia, hah?!"
"Apa yang kau ketahui tentang Aland memangnya?!! Sejak awal kau bukan bagian dari tim kami!! Kau yang membunuhnya!!" seru Bethany.
"Lantas apa yang bisa kau lakukan memangnya? Apakah mata iblismu itu membantu kami? Apakah kau terlibat dalam pertarungan itu? Aku yang bertarung mati-matian hingga menjadi seperti ini, Bethany!!!" bentak Juliette..
Semenjak saat itu, Bethany dan Juliette tidak pernah berkomunikasi lagi hingga sekarang. Juliette tidak ingin ada konflik lebih lanjut di antara mereka berdua.
"Kau baik-baik saja, Bethany?"
Rael datang menjenguk keadaan Bethany yang tampak tidak baik-baik saja. Keadaan mereka berdua sangatlah buruk. Rael memutuskan untuk menyuruh Juliette keluar agar ia bisa berbicara empat mata dengan Bethany. Tanpa paksaan, Juliette pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Aku akan pergi dari sini sebentar lagi," ujar Rael sambil duduk di kursi kayu.
"Ke mana?" tanya Bethany membuka suara.
"Mencari Aland dan Mythia,"
Bethany mengepalkan tangannya. Tentu saja dia ingin ikut, tapi keadaannya belum benar-benar pulih.
"Kau akan aman di sini, jika bersikeras ingin ikut denganku, istirahatlah dengan benar dan ikutlah denganku dalam ekspedisi selanjutnya. Aku akan segera kembali,"
Bethany menarik kerah seragam Rael dengan kasar. Wajahnya marah ketika mendengar ucapan barusan.
"Jangan berlagak seperti Aland, Rael. Kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Apakah kau benar-benar akan kembali? Rael tidak akan meninggalkanku juga, kan?"
Perlahan tangannya melepaskan kerah Rael. Tangannya lemas, tidak terasa waktu berlalu begitu saja. Mereka belum makan sama sekali semenjak memasuki Retakan.
"Makanlah bersamaku, kita bawa bekal, bukan? Sayang jika tidak segera kita makan," ujar Rael tersenyum.
Tas yang selalu dibawa oleh Juliette berisi banyak sekali barang, termasuk perbekalan kelompok tersebut. Rael sendiri ikut membantu membawakan beberapa kotak bekal beserta pasokan minum yang banyak menggunakan sihir ruangnya. Lagipula hanya dirinya yang dapat menggunakan sihir.
Rael memanggil Juliette untuk makan bersama Bethany di dalam. Keadaan menjadi canggung ketika mereka berdua bertatapan sekali lagi.
Kotak bekal masing-masing dibuka. Sesuai dugaan makanan mereka sudah dingin. Rael memanfaatkan sihir api untuk menghangatkan makanan mereka dengan tingkat panas yang presisi agar kotak bekal tidak terbakar.
"Kuharap tidak gosong, hahaha..." seru Rael.
"Kau tidak bakal membakar tenda ini, bukan?" sahut Bethany mengamati Rael membakar kotak bekal miliknya.
"Sini, Juliette. Serahkan kotak bekalmu untuk dibakar juga,"
Rael menyeringai sambil mengambil paksa kotak bekal milik Juliette. Ajaibnya dari ketiga kotak bekal yang dipanaskan, makanan seperti baru saja dimasak. Tetap terasa enak dan tidak keras karena dingin.
"Kamu diam-diam jago masak, kah?" takjub Bethany.
"Aku hidup sendiri, loh. Lantas aku makan apa jika tidak bisa masak," jawab Rael.
Bethany sejak tadi memperhatikan raut muka Juliette yang terlihat tidak nyaman makan bersama dengan mereka. Karena itu akhirnya Rael ikut menoleh ke arah Juliette yang duduk di sebelahnya.
"Ada apa Juliette,?"
"Eh?"
Juliette terkejut ketika mereka berdua menatapnya. Awalnya ia ragu memberitahu mereka.
"Umm.... aku... tidak suka sayur. Bekal ini terlalu banyak sayur.... kira-kira seperti itu?" jawabnya dengan malu.
Mereka berdua menatap satu sama lain. Tawa mereka berdua memecahkan keheningan situasi tersebut. Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tersebut.
"Aku benar-benar tidak menyangka orang sepertimu tidak menyukai sayur!" seru Rael.
"Be-berisik, apa masalahnya emang?"
"Kalau begitu.... berikan kepadaku, aku sangat suka dengan sayur," jawab Bethany dengan malu-malu.
Sebuah ucapan yang sepele namun mengandung banyak arti bagi Juliette. Dengan senang hati ia memberikan sayur tersebut kepada Bethany yang masih malu-malu menatapnya.
"Apakah aku sudah melakukan hal yang benar, Aland? Mythia?" gumam Rael tersenyum.
Permintaan maaf sudah tidak diperlukan lagi. Selama mereka berdua memutuskan untuk melupakan hal yang telah berlalu, itu sudah cukup.
"Apa tidak kesulitan makan dengan satu tangan?"
"Kau mau kupotong juga salah satu tanganmu?"
"Jangan, deh,"
"Rael, padahal aku berusaha untuk tidak membicarakan hal tersebut daritadi,"
Terkadang percakapan biasa menjadi lebih berarti setelah menyadari betapa berharganya sebuah waktu. Tidak ada yang tahu kapan kematian memisahkan mereka. Untuk sekarang, yang diinginkan Rael sebelum menjelajahi labirin ini adalah menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Karena hal tersebut belum sempat ia lakukan bersama Aland dan Mythia.
[Before the Endworld]
"Pakailah ini!"
Syera menyerahkan sebuah lengan logam yang dapat dipasang agar Juliette dapat bertarung menggunakan kedua tangannya lagi. Itu adalah tangan mekanikal yang diciptakan negara barat bagi prajurit yang mengalami cacat luka setelah berperang.
"Te-terima kasih..."
Juliette dan Rael bertatapan satu sama lain. Mereka memikirkan hal yang sama. Seharusnya tangan ini diberikan sejak tadi saja agar ia tidak kesusahan makan dengan satu tangan, bahkan sampai Bethany menyuapinya, sungguh momen yang memalukan.
"Rekanmu Bethany akan baik-baik saja bersama Syera. Dia ahli dalam bidang penyembuhan lebih dari siapa pun," ujar Vannesa mempersiapkan tombak yang terbuat dari berlian.
"Mengenai matanya, serahkan padaku. Sebuah kesenangan tersendiri dalam menyelidiki hal baru pada tubuh manusia,"
Jawaban ceria tanpa dosa dari Syera semakin menciptakan keraguan di hati Rael. Ia harap Bethany baik-baik saja bersamanya.
"Kau sudah membulatkan tekad untuk ikut juga, ya?" seru Vannesa menatap tajam ke arah Juliette.
"Tidak ada gunanya aku berada di sini, apa kau ingin meremehkanku lagi?" balas Juliette menatap tajam.
Vannesa menjadi bersemangat karena ditantang oleh seseorang. Senyuman liciknya semakin menambah keraguan. Rael merasa bahwa keadaan tim ini juga tidak baik-baik saja.
Vannesa, Hendra, Rael, Juliette, dan Ivanka adalah tim yang dibentuk untuk ekspedisi ke lantai satu labirin yang jauh lebih berbahaya dibandingkan labirin lantai dua dan tiga. Monster-monster bermunculan dari dalam jurang tak berujung yang terhubung langsung dengan labirin tersebut.
Misi mereka adalah menemukan 7 totem yang tersebar dalam labirin tersebut agar dapat membuka ruangan misterius di lantai tiga yang dianggap sebagai jalan keluar dsri labirin tersebut. Sejauh ini mereka telah memperoleh 5 totem setelah menjelajahi lantai 2 dan 3. Mereka belum menemukan satu pun totem di lantai satu.
Karena itu dipilihlah orang-orang tertentu yang memenuhi klasifikasi untuk terjun ke medan yang lebih berbahaya. Meskipun Syera tidak dapat ikut karena mengurusi banyak pasien, mereka memiliki Ivanka yang juga ahli dalam menggunakan sihir perlindungan dan sihir serangan yang kuat. Mereka tidak perlu khawatir selama Ivanka berada di dekat mereka. Perisai otomatis melindungi masing-masing anggota dengan bantuan roh sihir.
Rute telah dipersiapkan untuk langsung mengarah ke lantai satu. Lantai dua telah dibersihkan oleh tim lain dari ancaman monster.
Lumut menyelimuti labirin tersebut di segala sisi. Setelah diperhatikan, dinding labirin menjulang tinggi ke atas sekitar 15 meter. Rael kepikiran untuk menghancurkan dinding atau atap labirin tersebut dengan sihirnya.
"Kalau semudah itu, kita sudah keluar dari sini, dasar," seru Ivanka di sebelahnya.
"Ah, sihir milikku sedikit berbeda,"
Dengan polosnya ia menembakkan anti-sihir ke atap labirin. Semua orang terpana melihat kejadian tersebut. Atap benar-benar hancur tak bersisa menembus ke lantai tiga. Bahkan atap di lantai tiga ikut hancur akibat ulah Rael.
Pandangan semua orang tertuju kepada Rael sekarang. Merasa tidak nyaman dilihat, ia mulai menyesal melakukan hal tersebut.
Hendra menepuk jidat setelah melirik ke arah Rael. Dia tidak menyangka hal seperti itu bisa dilakukan oleh penyihir amatiran.
"Si-sihir macam apa itu?!" ucap Ivanka terkejut bukan main.
Bahkan Vannesa menjadi terpana melihat ke arah atas. Hanya kegelapan yang menyelimuti labirin tersebut setelah menghancurkan atap labirin paling luar. Namun labirin itu kemudian memperbaiki diri dengan menutup kembali kerusakan yang diakibatkan Rael.
"Apa kau bisa meledakkan labirin ini seutuhnya, Rael? Kau akan langsung kumasukkan ke dalam guildku," seru Vannesa.
"Eh? Gak mau, saya sudah bergabung dengan guild Alpha," jawab Rael.
"Cih, penyihir sialan itu, dia terlalu serakah mengambil semua aset Alterra sendirian!"
Vannesa berpaling sambil menggerutu sendirian di depan melanjutkan perjalanan.
"Apa kau bisa mengajariku sihir tersebut?!!" seru Ivanka dengan semangat mendekati Rael.
"Tidak bisa, sayang sekali,"
"Setidaknya formulanya saja, biar kuteliti sendiri nanti!"
Rael baru saja membuat kesalahan terbesar dengan mengumbar penemuan sihirnya sendiri di hadapan orang lain sembarangan. Hal ini akan merepotkan dirinya jika banyak orang mengetahui teknik tersebut. Teknik yang mampu menghancurkan konsep sihir itu sendiri yang menjadi penopang dunia Arcadian.
"Ivanka, kita bisa membahas hal itu nanti," nada suara Vannesa berubah.
Hendra mengangkat pedang besar miliknya ke depan. Sekumpulan iblis muncul menjaga tangga menuju lantai satu labirin.
Ivanka memanggil lima roh kecil yang melindungi masing-masing anggota tim tersebut. Rael sendiri masih ragu bertempur melawan para iblis tersebut yang merupakan manusia hasil eksperimen The Doctor yang sangat kejam.
Vannesa kembali menjadi sosok pemimpin Sunbringer yang sebenarnya. Aura yang ia pancarkan benar-benar berbeda. Tatapannya dingin dengan aura membunuh yang kuat. Dirinya dikenal sebagai sosok yang tak kenal ampun. Wibawanya sangat mengintimidasi musuh bahkan ke anggota sendiri.
"Hendra, mundurlah," seru Vannesa.
"Matikan saja roh pelindungmu, Ivanka. Kita memerlukannya nanti,"
Tidak ada yang berani protes ketika Vannesa mulai memberikan perintah selama pertempuran apa pun itu.
"Juliette, Rael, ada satu hal yang ingin kupastikan lebih dulu tentang kemampuan kalian,"
Vannesa menoleh ke arah Rael dengan tatapan dingin.
"Kalian, bisa membunuh seorang manusia, bukan?"
Itu adalah pesan ancaman yang ditujukan langsung kepada Rael. Dia baru saja teringat dengan salah satu kemampuan khusus Vannesa yang menjadikannya pemimpin sadis.
"Udara di sekitar memberitahuku, ada keraguan di salah satu anggota tim ini. Tentu saja bukan Ivanka dan Hendra yang sudah terbiasa bertarung di garda depan bersamaku. Itu berarti, salah satu dari kalian berdua.... akan membebani tim ini hanya karena kenaifan seseorang,"
Rael yakin sejak awal Vannesa sudah mengincar dirinya. Tatapannya yang tajam menjelaskan semuanya.
"Aku tidak membutuhkan orang baik di tim ini. Nyawa kami dipertaruhkan oleh kalian yang bahkan bukan anggota guild kami? Jangan bercanda," seru Vannesa.
Para iblis mulai mendekat. Iblis ini berbeda dari iblis yang ada di Alterra. Wujudnya lebih abstrak dan mengerikan. Fisiknya terlihat lebih kuat dari biasanya. Meskipun begitu Rael tahu bahwa dia adalah manusia dulunya.
"Cukup kalahkan mereka, bukan?"
Juliette maju lebih dulu dengan kedua bilah pedang yang baru.
"Matilah seperti kami,"
Iblis itu berbicara layaknya manusia. Tangannya seperti akar tanaman mulai menyerang seperti tentakel. Juliette maju sendirian menghindari berbagai serangan. Ia memotong kedua tangan iblis tersebut sebelum melancarkan serangan terakhir dengan menebas kepala iblis secepat kilat.
"Ah, setelah bertarung melawan The Ripper, rasanya lawan ini terlalu lambat,"
Bola api raksasa diciptakan iblis yang lain untuk ditembakkan ke arah Juliette. Rael bergegas melindunginya dengan sihir pelindung berlapis. Tidak ada satu pun yang berani membantu mereka berdua selama belum diperintahkan Vannesa yang mengamati sedari tadi.
Ada pula salah satu iblis yang bergerak cepat seperti pembunuh yang menyerang dari belakang. Rael menghempaskan iblis tersebut hingga terbentuk ke dinding sebelum dihabisi oleh Juliette.
"Beranikan dirimu, Rael," bisik Juliette di tengah-tengah pertempuran.
Tersisa 3 iblis lagi. Setidaknya ia harus membunuh salah satunya. Tapi hal itu sangat sulit dilakukannya.
Kabut asap diciptakan Rael agar mereka berdua dapat memperpendek jarak dengan para iblis tipe penyihir.
Tongkat diarahkan Rael ke salah satu iblis yang lengah. Mendadak tangannya gemetar, tidak mampu melancarkan sihir. Padahal ia dengan mudah melakukan hal tersebut kepada The Ripper.
"Rael awas!!"
Iblis tersebut menyerang lebih dulu, ia membungkus Rael dalam akar kayu dan melemparnya ke dinding dengan sangat kuat.
"Vannesa, "
"Biarkan, Hendra. Anak itu, harus belajar melawan rasa takutnya," jawab Vannesa.
"Kenapa? Kenapa aku tidak mampu membunuhnya? Kenapa hal ini terasa berbeda dari pertempuran sebelumnya?" gumam Rael sambil menampar dirinya sendiri.
Satu iblis berhasil dikalahkan Juliette. Tersisa dua lagi.
"Apa yang kau takutkan, Rael? Apakah kau merasa kasihan dengan mereka? Sebaiknya kau kembali ke markas saja. Aku tidak membutuhkan penyihir lemah sepertimu," seru Vannesa.
"Benar juga, tidak ada gunanya kau berusaha menyelamatkan rekanmu jika tidak mampu membunuh Pilar itu kelak,"
"...."
"Tolong.... aku..." ujar salah satu iblis dengan nada memelas.
Iblis itu menciptakan kristal-kristal es yang ditembakkan ke arah Rael. Sihir pelindung diciptakan sambil ia berlari mendekati iblis tersebut.
Ia kembali mengarahkan tongkat sihirnya kepada iblis tersebut. Memaksakan diri malah membuat sihir itu lepas kendali dan menembak dengan asal.
"huh..."
Vannesa seketika berada di belakang Rael dengan aura membunuh yang kuat. Tanpa ampun ia menedang Rael hingga menghantam iblis tersebut.
"Aku kecewa, Rael. Mulutmu tidak bisa dipercaya. Kenapa membunuh begitu sulit bagimu?" tanya Vannesa membunuh iblis terakhir bermodalkan lemparan pisau tepat menusuk kepala hingga hancur.
"Kenapa membunuh dirasa begitu mudah bagimu?" ujar Rael bertanya balik.
"Begitu, ya. Kau hanya perlu alasan untuk membunuh,"
Ucapan itu membuat Rael tersadar akan hal yang selama ini ia pertanyakan. Spontan matanya tertuju kepada Vannesa yang membuang tombak berliannya.
Pergerakannya tidak mampu diikuti oleh mata manusia. Tiba-tiba saja dia sudah menghantam Juliette menggunakan tangan kirinya. Rael spontan bergerak cepat menggunakan sihirnya untuk menghentikan hal tersebut.
"Apa kau terima jika rekanmu kubunuh sekarang? Perlu diingat ini salahmu karena berani bersikap lemah di hadapanku,* seru Vannesa menatap dingin ke arah Rael.
"Hentikan, Vannesa!!"
"Kalahkan iblis di hadapanmu itu, sebelum aku membunuh temanmu,"
Permainan ini berpacu dengan waktu.
To be continued...