Chereads / Before the Endworld / Chapter 32 - The Meaning of Death

Chapter 32 - The Meaning of Death

"Apakah aku... bisa menjadi seorang penyihir hebat sepertimu?"

Anak itu bertanya kepada Reinhart sang penyihir terkuat di era sekarang. Mereka duduk bersama di atas bukit menikmati pemandangan matahari terbenam. Desa itu terlihat jelas dari atas sana. Dengan bantuan sihir Rael bisa melihat ibunya memanen hasil perkebunan.

"Aku sendiri masih perlu belajar banyak, tahu,"

Tatapannya tertuju kepada cahaya yang menyilaukan pandangan. Kehangatannya terasa disertai hembusan angin sepoi-sepoi. Sebuah tempat yang menjadi markas mereka berdua untuk saling bertemu membicarakan banyak hal. Bahkan Reinhart mengajari Rael beberapa teknik sihir di sana.

"Berbicara tentang menjadi penyihir, apakah dirimu sendiri memiliki keteguhan hati yang kuat?" tanya Reinhart.

"Keteguhan?"

"Apa tujuanmu menjadi seorang penyihir? Apa itu sihir bagi dirimu sendiri?"

Pertanyaan itu masih belum dipahami secara jelas. Bahkan mungkin hingga sekarang Rael masih bertanya-tanya. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

"Mungkinkah melindungi desa ini adalah tujuanku? Aku belum memutuskannya," jawab Rael.

Sikap Reinhart kali ini berbeda dari biasanya. Rael pun menyadari kejanggalan tersebut.

"Kuharap tujuanmu lebih besar dari hal itu,"

Raut muka yang belum pernah dilihat Rael sebelumnya. Matanya menunjukkan keraguan yang mendalam, seolah-olah dia sedang memikirkan banyak hal.

"Maafkan aku, Rael,"

"..."

Setelah itu, pertemuan mereka selanjutnya adalah pertemuan terakhir mereka sebagai seorang teman. Hari itu bertepatan dengan insiden lenyapnya desa tempat tinggal Rael 5 tahun lalu.

"KENAPA??!!"

Anak itu menangis histeris dan hanya bisa memukuli Reinhart yang datang beserta timnya. Desa itu sudah lenyap tak bersisa.

"Kenapa kau baru datang sekarang?!"

Reinhart hanya diam tanpa mengatakan apa pun. Anggotanya diperintahkan untuk mundur sementara ia menghadapi kemarahan seorang anak yang baru saja kehilangan segala yang ia miliki.

"Maafkan aku," ucap Reinhart.

"Kenapa? Minta maaf tidak mengembalikan semuanya, kak Reinhart!!"

Rael menarik seragamnya dengan kasar. Kakinya gemetar tidak kuat menopang tubuhnya lagi hingga akhirnya terjatuh kehilangan tenaga.

"Kenapa kau membiarkan bencana seperti itu melenyapkan orangtuaku?"

"Jelaskan padaku, kak Reinhart. Bukankah sihir seharusnya membawa kedamaian bagi dunia ini? Lantas benda apa itu yang merebut orangtuaku? Bahkan kau tidak bisa menyelamatkan mereka,"

Reinhart mendecak kesal dan akhirnya membuka suara.

"Benar, aku gagal. Apakah dengan ini kau tidak akan bergantung lagi kepadaku?!!"

Untuk pertama kalinya, Rael melihat sosok Reinhart yang ia kagumi, memarahinya sambil meneteskan air mata. Entah apa yang sudah dilaluinya sebelum itu. Dia tidak pernah menceritakan apa pun kepada Rael.

"Aku sendiri, sudah berjuang sebisaku. Kenapa semua orang mengandalkanku? Sejak kapan aku menganggap diriku adalah penyihir yang hebat?"

Salah satu anggota memanggil namanya, mengingatkan Reinhart untuk berhenti dan fokus kepada misi. Reinhart memerintahkan mereka untuk memeriksa kawasan desa yang telah hilang. Meninggalkan mereka berdua di tengah-tengah derasnya hujan di mana alam ikut menangisi tragedi tersebut.

"Apa yang indah dari dunia penuh sihir ini?"

Kembali ke masa kini.

Vannesa telah mengeluarkan ultimatum kepada Rael dengan serius. Tanpa sadar kobaran api menghalangi pergerakan Vannesa yang ingin menyerang Juliette. Ledakan beruntun memberi kesempatan bagi Rael bergerak menangkap Juliette.

"Maaf karena kau terseret masalahku," ujar Rael membawanya mundur ke belakang.

"Sial, padahal aku ingin memercayaimu,"

Pukulan itu memberikan luka yang cukup parah ke wajah Juliette. Ia membaringkannya di dekat dinding labirin.

"Kenapa kau malah menyelamatkannya? Seharusnya kau membunuh iblis itu terlebih dahulu," tanya Vannesa.

"Maaf, tapi aku tidak akan membunuh iblis tersebut," jawab Rael dengan tegas.

"Kau adalah orang teraneh yang pernah kutemui,"

Vannesa bergerak dengan cepat mengarahkan tombak berliannya ke depan wajah Rael. Beruntung reflek Rael cukup cepat sehingga ia mengeluarkan pedangnya untuk menangkis serangan tersebut.

Hasilnya pipinya tergores. Tapi Vannesa langsung menendang Rael hingga meruntuhkan dinding labirin di belakangnya. Saking kuatnya menyebabkan Rael memuntahkan darah akibat tekanan di perut.

"Menyingkirlah dari sini, Rael. Kembalilah ke markas sebagai bentuk belas kasihku padamu," seru Vannesa.

Iblis di belakang menyerang dengan tentakel-tentakelnya ke arah Vannesa. Ia memutar tombaknya dan memotong dengan cepat satu per satu tentakel yang menyerangnya.

Rael menjadikan itu kesempatan untuk menyerang balik dengan sihirnya.

"Hah?"

Vannesa menjatuhkan tongkat sihirnya dan mencengkeram leher Rael. Dia heran dengan keteguhan hati Rael yang begitu menolak membunuh seseorang.

"Apa yang ada di pikiranmu sebenarnya? Kau menolak belas kasihanku barusan?"

"Vannesa, ini buang-buang waktu, tidak perlu meladeninya," seru Hendra dengan khawatir.

Rael masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Vannesa yang sangat kuat. Ia kesulitan bernafas.

"Aku.... tidak perlu belas kasihan... dari orang yang tidak... menghargai nyawa... seseorang,"

"Nyawa tidak seberharga itu, anak muda. Dirimu tahu apa tentang kematian?"

Rael tersenyum remeh menatap tajam ke arah Vannesa.

"Heh, seandainya iblis di sana merupakan orang yang berharga.... bagimu.... apakah kau akan tetap membunuhnya dengan tatapan dinginmu itu?"

Tangan kiri Rael memegang sesuatu. Ia menjatuhkan sebuah kristal sihir berwarna kecoklatan. Ketika jatuh ke tanah, kristal itu meledak memunculkan batuan tanah yang meruncing ke atas. Membuat Vannesa spontan melepas cengkeraman dan menghindar ke belakang.

"Kau tahu apa tentang diriku?" amarah Vannesa terpancing oleh Rael.

"Kau juga tidak tahu apa-apa tentang diriku, karena itu jangan berani-beraninya memaksakan idealismemu kepadaku!" balas Rael.

"Kalian berdua hentikan!"

Ucapan Hendra tidak dipedulikan mereka berdua.

"Kau menyebut sikapmu sebagai idealisme? Itu namanya kenaifan,"

"Semua orang pernah naif sebelumnya," jawab Rael.

Dia mengambil kembali tongkat sihirnya dan berdiri menghadap ke arah Vannesa. Menurut percakapanya dengan Reinhart sebelum masuk ke dalam Red City. Vannesa adalah orang terkuat kedua di Federasi setelah Reinhart. Meskipun begitu Reinhart tidak dapat menang melawan Vannesa juga terlibat dalam duel serius. Secepat apa pun Reinhart merapal, kepalanya akan langsung terputus akibat tebasan Vannesa. Dia adalah pembunuh berdarah dingin ketika terjun ke dalam pertempuran, sebuah kepribadian yang berbeda dari dirinya sehari-hari.

"Apa pun itu aku akan tetap mengikuti ekspedisi kali ini meskipun kau melarangnya,"

"Vannesa, biarkan saja dia ikut, permasalahan ini tidak perlu diperpanjang, Rael bisa membantu kita dalam membatasi pergerakan musuh dengan sihirnya. Itu saja sudah cukup," seru Hendra.

Vannesa terdiam beberapa saat.

"Itu artinya kau melawan perintah mutlak diriku, Rael,"

Aura membunuh yang sangat kuat terpancar dalam diri Vannesa.

"Vannesa!!"

"Baiklah, aku cukup menunjukkan kepadamu, bukan? Bahwa aku siap untuk membunuhmu kali ini,"

Ramuan mana diminum oleh Rael agar pulih kembali dalam kondisi prima. Pertempuran itu tidak dapat terhindarkan lagi.

"Benar, seharusnya begini saja sejak awal. Perbedaan pemikiran ini hanya bisa diselesaikan dengan pertarungan mati-matian,"

Masing-masing telah menunjukkan aura membunuh yang sama kuatnya. Vannesa bertanya-tanya, kenapa mereka sangat berbeda? Padahal sejak pertama kali bertemu ia pikir telah menemukan orang yang sama dengannya, orang yang memiliki nasib yang serupa dengannya. Tapi kenapa mereka terlahir dengan pemikiran yang jauh berbeda.

"Kehidupan seseorang dapat berakhir semudah membalikkan telapak tangan. Itulah takdir kejam dunia ini yang tidak dapat diprediksi siapa pun. Lantas dari berbagai kehilangan yang kau tunjukkan dari matamu, kenapa kau masih mengasihi kehidupan ini?" gumam Vannesa.

Pergerakannya sangat cepat, ia jauh lebih cepat dibandingkan The Ripper. Rael terpelanting ke sana kemari akibat serangan beruntun Vannesa yang menggores sedikit demi sedikit ke tangan dan kaki Rael.

Rael melancarkan sihir tanah, menciptakan gundukan tanah sebagai bentuk pertahanan dan serangan ke arah Vannesa. Sihir elemental yang sedang ia latih sebagai sihir elemental keempat miliknya.

Tapi berkat pertarungan melawan The Ripper, Rael sedikit bisa mengimbangi bahkan memprediksi pergerakan Vannesa. Ia bermanuver dengan sihir angin lalu bergerak secepat kilat menghindar dan menangkis serangan Vannesa.

Serangan dadakan dilancarkan dari titik buta. Berhasil mengejutkan Vannesa namun tidak cukup untuk memberikan luka kepadanya.

"Kau mulai yakin untuk membunuhku, ya? Lantas kenapa tidak kau lakukan kepada iblis tersebut?" tanya Vannesa.

"Karena aku percaya kau dapat mengatasinya,"

Itu hanyalah jebakan untuk memerangkap Vannesa dalam kurungan tanah.

Vannesa dengan mudah lepas dari kurungan tersebut. Tak disangka seorang penyihir mendekati dirinya. Rapalan sihir berhasil diselesaikan.

"Aero Fluga!!"

Badai topan menerbangkan segala yang ada di hadapannya. Sihir angin yang menghempaskan semuanya bahkan dinding labirin sekali pun hingga runtuh.

"Hendra! Hentikan mereka!" seru Ivanka yang sedang mengobati Juliette.

"Tidak bisa, sepertinya Vannesa memikirkan sesuatu tentang Rael. Karena itu dia sedang mengujinya. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka,"

Hal itu menarik perhatian para iblis di sekitar. Namun mereka langsung dihabisi Vannesa di tengah-tengah pertarungan.

"Bagaimana kau mampu melindungi orang-orang yang kau sayangi jika tidak mampu membunuh para iblis di sini?!"

Perisai sihir diciptakan ketika Vannesa maju dengan kecepatan tinggi menerjangnya. Sekali tebasan, perisai langsung hancur begitu saja.

Kabut asap diciptakan. Vannesa menjauhi kabut tersebut agar pandangan tidak terhalangi.

Vannesa sengaja menggirinv para iblis di sekitar mengerumuni Rael. Membuatnya kerepotan karena diserang dari segala arah. Ia tidak bisa menggunakan sihir dengan leluasa. Itu yang diinginkan Vannesa.

"Padahal kau tinggal membunuh mereka saja,"

"Sekarang siapa yang mempermainkan nyawa seseorang?!" tanya Rael.

Satu per satu iblis dihabisi hingga sampai di dekat Rael. Dia melempar salah satu mayat iblis yang ia habisi ke arah Rael.

"Ini, yang kau anggap sebagai manusia?!"

Satu iblis raksasa muncul di belakang Rael. Namun hal itu langsung dihabisi secepat kilat oleh Vannesa. Jika Rael tidak menunduk, bisa-bisa kepalanya terbelah.

"Mereka yang membunuh rekanku, mereka yang membunuh keluargaku, dan kau ingin aku menganggapnya sebagai manusia?"

Rael melangkah mundur menjauhi Vannesa dan kawanan iblis tersebut.

"Kudengar kau kehilangan keluargamu dan seisi warga desa dalam bencana tersebut. Tapi kenapa jalan yang kita pilih sangat berbeda jauh?" tanya Vannesa.

"Kau begitu menentang idealismeku, kalau begitu tunjukkan kesalahanku," serunya.

"Aku tidak merasa idealismemu itu salah, Vannesa," jawab Rael.

"Hah?"

"Benar juga, kalau kudeskripsikan dalam satu kata tentang pemikiranmu, itu adalah kemalasan,"

"Berpikir mampu menyelesaikan semuanya dengan kekerasan hanyalah sifat seorang pemalas!"

Berbagai lingkaran sihir tercipta untuk melancarkan serangan ke arah Vannesa. Ia menerima tantangan tersebut dan menerjang maju menghadapinya.

"Aku sempat bertanya-tanya, membayangkan pertemuan dengan seorang pembunuh legendaris sepertimu, kupikir aku akan mendapatkan sebuah arti baru tentang kematian yang menyertai setiap manusia di dunia ini,"

"Tapi nyatanya pemikiran kita berbeda jauh. Ini bukan lagi tentang dia manusia atau bukan, tetapi kau manusia apa bukan?!"

"Kenapa kau berbeda ketika masuk ke dalam pertempuran, Vannesa? Ke mana sosok berhati baikmu ketika berusaha untuk menghiburku waktu lalu? Kenapa kau buang kemanusiaanmu itu jauh ke dalam kegelapan di hatimu?"

Tongkat sihir Rael hancur akibat tebasan dari tombak berlian milik Vannesa.

"Jika aku bersikap lembut lagi, seseorang akan meninggal di hadapanku lagi," gumam Vannesa.

"Apakah kau hanya sekedar, mesin pembunuh, Vannesa?" tanya Rael.

"Benar, aku sudah membuang jauh-jauh hati ini agar tidak tersakiti lagi, kematian sudah menjadi hal yang wajar bagiku," gumam Vannesa.

Ingatannya tentang The Ripper terputar di dalam kepalanya. Waktu di mana sosok itu melakukan pembantaian terhadap pasukan Vannesa yang terlambat menyelamatkan mereka semua. Dendam tersebut masih membekas di hati Vannesa yang gagal membunuh The Ripper karena berhasil melarikan diri.

Berpikir untuk menyerahkan balas dendam itu kepada Rael yang ingin menyelamatkan rekannya adalah sebuah kesalahan. Rael tidak pantas jika masih memegang idealisme konyol menurut Vannesa.

Vannesa muncul untuk melakukan serangan. Namun hal itu sudah ditunggu oleh Rael. Dirinya sengaja memegang tongkat sihir di tangan kanan sehingga ia muncul dari sisi kiri.

Seorang pendekar tidak sepeka itu terhadap sihir. Karena itu dia dapat ditipu oleh trik kecil. Tangan kiri Rael sudah selesai merapal sihir sejak lama. Ada teknik khusus yang dapat menunda pengaktifannya sehingga terlihat ia tidak perlu merapal sama sekali untuk melancarkan sihir. Inilah teknik yang digunakan The Doctor ketika pertama kali bertemu dengannya saat itu.

Sayangnya kemampuan beladiri Vannesa sama mengerikannya dengan tombak berlian tersebut. Malah dia tidak perlu khawatir memberikan luka serius ketika tidak menggunakan tombak.

Perisai sihir milik Rael belum mencapai tingkat yang mampu menahan kekuatan sebesar Vannesa. Pukulan tepat mendarat menghancurkan mata kiri Rael.

"Hanya itu sosok yang tidak ingin ada dalam diriku ini," ujar Rael.

"Apa kau akan tetap tegar ketika menghadapi berbagai kematian ke depannya?" tanya Vannesa.

"Tidak, aku pasti akan marah dan tidak terkendali,"

"Lalu kenapa..."

"Tapi karena itu, aku menghargai kematian lebih dari siapa pun!!"

Rael balik melawan menggunakan teknik beladiri dasar yang ia pelajari sambil melancarkan beberapa sihir untuk membatasi pergerakan Vannesa. Sihir tanpa tongkat sihir sangat sulit dilakukan, tapi itu akan menambah fleksibilitas penyihir dalam bertarung. Karena itu penyihir tingkat tinggi wajib menguasai sihir tanpa media perantara. Meskipun Rael belum mampu mencapai titik itu, tapi dalam jarak dekat, sihir apa pun dapat mengenak dirinya.

"Sihir yang kukagumi sejak kecil tidak digunakan untuk membunuh orang sembarangan. Aku hanya menginginkan keindahan dunia ini, keajaiban dunia ini. Aku tidak suka dengan kematian sia-sia, aku tidak punya hak menghakimi kematian seseorang. Kematian adalah bentuk kenajisan dunia ini yang hanya membawa kesedihan. Aku akan menyelamatkan semua orang dengan caraku sendiri, dan ketika ada yang merebut keindahan itu dariku, di situlah aku akan MELENYAPKANNYA,"

Untuk pertama kalinya Vannesa gagal memprediksi serangan Rael. Tangannya telah diselimuti energi sihir dan akan mendaratkan pukulannya kepada Vannesa. Sudah jelas serangan itu dapat membunuhnya. Tapi cahayanya terlalu menyilaukan Vannesa yang dipenuhi dengan kegelapan.

"Bukankah itu adalah wujud dari keserakahan?"

"Mungkin benar, karena ketika kita tersadar dari kenaifan, di situlah dosa akan terlihat,"

Sepertinya Vannesa akan sulit akur jika terus memperdebatkan idealisme ini, pikirnya. Tapi Vannesa mulai merasa lebih tenang. Baginya kematian tidak perlu memiliki sebuah arti. Tapi tidak dengan Rael. Ia menghargai kematian yang ia hadapi selama ini. Berbagai emosi yang campur aduk melahirkan harapan baginya untuk tidak membiarkan hal itu terjadi.

"Aku ingin menjadi penyihir, karena aku menyukai sihir. Apakah hal sesederhana ini patut dipermasalahkan?"

Pertarungan berakhir Vannesa dengan cepat membanting Rael hingga remuk tulang punggungnya. Suaranya renyah terdengar di kedua kuping Rael.

"Baiklah, setidaknya aku menerima jawaban yang sedikit memaksa itu," ujar Vannesa meninggalkan Rael terkapar tak berdaya.

"Berjanjilah satu hal padaku," Vannesa menoleh lagi ke arah Rael yang berusaha bangkit berdiri.

"The Ripper, jadikan dia orang pertama yang kau bunuh demi idealismemu sendiri,"

Rael hanya tersenyum dan menjawab,

"Tentu saja, hal itu akan menjadi lebih berarti,"

[Before the Endworld]

"Seharusnya kau akan baik-baik saja untuk menggunakan mata iblismu sementara waktu," ujar Syera.

"Terima kasih,"

Syera sejak tadi penasaran dan akhirnya ia tidak bisa menahan diri untuk menanyakannya langsung. Ia langsung mendekati Bethany untuk melihat mata iblis itu lebih lanjut.

"Sebenarnya kau dari keluarga mana? Aku tidak pernah menemukan orang dengan mata iblis itu sebelumnya. Bukankah hal seperti ini memiliki garis keturunan tersendiri? Seperti klan Leorieth sebagai keturunan penyihir yang mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan,"

Bethany terdiam sejenak lalu tersenyum seperti biasa.

"Tidak, mata ini hanya hasil eksperimen yang dilakukan kedua orangtuaku,"

Syera tertegun sejenak.

"Aku tidak menyangka kau menjelaskannya semudah itu,"

"Kamu bertanya, kan?"

Syera mengharapkan hal yang lain seperti benar-benar berasal dari keluarga bangsawan atau ia merahasiakan hal tersebut. Mereka padahal baru saja berkenalan selama pengobatan.

"Bukankah merasa berbeda itu menyeramkan?"

Syera duduk di sebelah Bethany untuk melapisi perban ke mata iblisnya.

"Bahkan karena bakat penyembuhanku dianggap mengerikan oleh orang-orang didesaku. Sesimpel karena aku berhasil menghidupkan orang yang baru saja meninggal dunia dalam kondisi sehat dan bugar,"

"Bukankah itu hebat? Lagipula kenapa kamu memedulikan perkataan orang yang iri dengan kehebatanmu?" tanya Bethany.

"Tapi adikku selalu mengalami perundungan karena menganggap diriku bisa menyembuhkannya lagi," jawab Syera.

Wajah Bethany cemberut. Ia melirik ke salah satu bingkai foto yang diletakkan di atas meja. Itu adalah foto Syera dan adiknya yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

"Anak seimut itu dirundungi? Orang-orang di desamu itu gila, ya!" seru Bethany.

Syera hanya tertawa melihat tingkah laku Bethany yang menggemaskan.

"Kau menjadi lebih ekspresif dibanding sebelumnya, syukurlah. Jujur aku mengawasimu dengan rekanmu Juliette awalnya. Tapi nampaknya semua sudah baik-baik saja,"

"Mungkin karena aku tidak ingin mengkhawatirkan apa pun seperti sebelumnya lagi,"

"Kenapa?" tanya Syera.

"Karena aku percaya kepada Rael. Seperti ketika Aland dan Mythia memercayainya," jawab Bethany.

Ingatan tentang tragedi tersebut akan selalu menghantui Bethany. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah membalaskan dendam kematian mereka kepada The Ripper.

"Bukankah mengutus mereka berlima saja cukup berbahaya untuk sebuah kawasan yang mengancam kematian? Terlebih lagi Rael dan Juliette baru pertama kali menjelajahi tempat tersebut," tanya Bethany.

Syera sedikit termenung mendengar pertanyaan tersebut dengan penuh keraguan.

"Hal itu memang mengkhawatirkan meskipun terdapat kapten kami di sana. Sayangnya Vannesa melarang reguku bergabung dalam ekspedisi tersebut karena suatu hal. Sepertinya dia memiliki rencana tersendiri," jawab Syera.

"Apakah mereka bisa menaklukkan lantai satu?"

"Tidak mungkin,"

[Before the Endworld]

"Ini lebih rumit dari yang kuduga!"

"Ikuti aku, anak bodoh,"

Vannesa bergerak dengan cepat di depan menghindari para iblis yang mengamuk. Pasukan itu dipimpin oleh jenderal iblis yang bersembunyi di suatu ruangan. Vannesa dan Rael menerobos formasi untuk mencari pemimpin mereka.

Satu per satu beberapa iblis di terbangkan untuk membuka jalan. Lantai satu benar-benar seperti neraka. Labirin dikuasai oleh pasukan iblis berzirah dengan ketahanan sihir yang tinggi.

"Iblis-iblis ini berbeda, mereka adalah hasil summon. Artinya ada penyihir yang membangkitkan mereka menjadi sebanyak ini," seru Rael.

"Itu artinya kau tidak perlu khawatir membunuh mereka, bukan?"

Vannesa membasmi para iblis di depan dalam satu tebasan.

"Kau sendiri kenapa menahan diri? Kau tidak mengamuk seperti tadi," tanya Rael.

"Kita harus menghemat tenaga, tahu,"

Beruntung Rael membawa tongkat sihir cadangan sehingga tidak perlu kembali ke markas untuk melakukan perbaikan.

"Itu dia!"

Rael menandai iblis tersebut yang membuat sekitarnya bercahaya. Iblis itu diselimuti jubah hitam dan membawa tongkat sihir yang mahal. Tongkat itu terlihat mewah seperti milik bangsawan.

Rael menjadikan penghalang yang ia ciptakan di depan sebagai pajakan kaki bagi Vannesa untuk bergerak dengan leluasa di langit sambil menghindari serangan para iblis.

Satu tebasan cukup untuk membunuh jenderal mereka. Sayangnya iblis-iblis yang dipanggilnya tidak akan menghilang.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rael.

Serangan berdentum mengacak-acak formasi pasukan iblis di hadapan mereka. Juliette, Hendra, dan Ivanka telah datang dari salah satu lorong.

"Padahal kita harus menghemat tenaga, sialan!"

Vannesa menepuk jidat melihat pembantaian yang dilakukan mereka bertiga. Akhirnya Vannesa bergerak dengan melempar satu per satu menjauhi para iblis.

"Kita pergi dari sini, kalian sudah menemukan totem ke-6, bukan?" tanya Vannesa dengan dingin.

"Padahal aku hanya ingin bertarung sebentar," seru Juliette bersungut-sungut.

"Kalau tidak cepat, akan semakin berbahaya tempat ini. Kalian belum tahu apa-apa tentang lantai ini karena baru saja menuruni tangga," balas Vannesa..

Tapi Vannesa lebih terkejut ketika Hendra juga bersungut-sungut karena tidak diberi kesempatan untuk unjuk kekuatan.

"Kau jangan terpengaruh orang itu!" seru Vannesa.

Sesampainya mereka di sebuah ruangan luas. Itu adalah tempat totem ke-6 disimpan.

"Kami terakhir hanya sampai di titik ini,alasan kami kesulitan mendapatkan totem ke-6 adalah karena monster tersebut,"

Seekor serigala raksasa yang mirip dengan serigala di Red City duduk mengintimidasi mereka yang baru saja sampai. Serigala itu lebih besar, sekitar 3-4 meter.

"Heh, di mana totemnya?" tanya Rael.

"Terdapat sebuah ruangan misterius di lantai ini, tempat itu memberi catatan perihal sebuah totem yang menyatu dengan Sang Taring Penjaga. Kemungkinan yang dimaksud adalah serigala tersebut," jawab Hendra.

"Jadi kita cukup membunuhnya, kan?"

Rael mulai mengarahkan tongkat sihir ketika serigala tersebut masih duduk mengamati pergerakan mereka.

"Sayangnya serangan kami kurang mempan akibat ketahanan terhadap sihir dan kerasnya kulit serigala tersebut," ujar Hendra.

"Tidak berlaku bagiku,"

Tembakan anti-sihir dilancarkan tepat menuju ke serigala tersebut. Vannesa ingin menghentikan Rael namun sudah terlambat. Serigala itu lenyap dan mati.

Sisa tubuhnya lenyap secara perlahan. Tapi serigala itu mati tanpa meraung sedikit pun.

"Kenapa, Vannesa?" tanya Rael.

"Sekali lagi kau bergerak tanpa instruksiku, tidak usah kau ikut dalam ekspedisi ini lagi," seru Vannesa memarahinya.

Tiba-tiba sana dua bayangan dari arah kanan dan kiri muncul dengan aura membunuh yang kuat. Kedua bayangan tersebut menyerang dan memecah formasi mereka.

Rael dan Hendra terpisah dengan yang lain. Betapa terkejutnya Rael ketika serigala raksasa itu menjadi dua sekarang. Vannesa dan yang lain melangkah mundur menjauhi ruangan tersebut setelah serangan tadi. Rael dan Hendra kini dalam kondisi yang berbahaya karena terjebak di dalam ruangan tersebut.

"Kalau begini, gimana kita mengalahkan serigala ini?"

To be continued...