Chereads / Destiny of the World / Chapter 2 - Chapter 1 Panti asuhan (1)

Chapter 2 - Chapter 1 Panti asuhan (1)

Panti asuhan (1)

Menatap pintu panti asuhan itu.

"..."

Setelah mereka pergi, suasana kembali hening. Yu Hae mendekati pintu panti asuhan tempat Shin yeohwa tinggal.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi, lalu berbicara dengan suara yang sedikit bergetar.

"Hei... Kau punya penyakit yang sama seperti adikku, kan?"

Satu menit berlalu dalam keheningan. Kemudian, sebuah suara dingin terdengar dari balik pintu.

"Itu tidak ada obatnya, berhentilah mengganggu kehidupan orang lain!"

Ucapan itu seperti mematahkan harapan Yu Hae. Tapi, ia tidak menyerah. Dengan nada penuh keteguhan, ia membalas.

"kumohon...tolong bantu aku untuk meringankan penyakit Yu Bi...aku tahu kau bisa melakukannya bukan?" ucapnya sambil bersujud di didepan pintu.

Kalian pasti berfikir, 'apa yang membuat Yu Hae begitu berharap padanya?'Jawabannya adalah. Karena ia menyadari, orang yang terkena Soulbound Decay biasanya akan meninggal sebelum mencapai usia 18 tahun. Namun, saat mereka memaksa masuk ke ruangan tadi, sekilas Yu Hae melihat sesuatu yang tidak biasa.

Ia melihat seorang nenek tua dengan rambut putih yang sudah rapuh dan kulit yang penuh kerutan. Tubuhnya tampak begitu lemah sehingga ia harus menggunakan mana untuk menopang dirinya agar bisa berjalan.

Keyakinan Yu Hae muncul dari kenyataan itu—jika nenek tersebut masih hidup dengan penyakit yang sama, maka pasti ada cara untuk memperlambat efeknya, bukan?

meskipun ia tahu kondisinya semakin memburuk. Tekad Yu Hae untuk melindungi adiknya begitu kuat, namun ia sadar dirinya tidak bisa berbuat lebih banyak. Dengan tatapan penuh kekhawatiran, Suho menepuk pundak Yu Hae.

"Anak kecil, kami harus pergi untuk menghadapi ancaman besar. Tapi aku janji, aku akan kembali untuk membantumu," kata Suho tegas.

Seojin, yang sudah bersiap untuk pergi, menambahkan, "Jangan keluar dari panti ini. Setidaknya di sini lebih aman. Shin yeohwa mungkin keras kepala, tapi dia penyihir yang paling berbakat. Dia hanya butuh waktu untuk memutuskan."

Yu Hae hanya mengangguk, meski hatinya penuh dengan keraguan. Setelah mereka berdua pergi, suasana menjadi sunyi.

Yu Bi, yang sudah setengah terlelap, berbisik pelan, "Kak, mereka... bisa dipercaya, kan?"

Yu Hae tersenyum kecil, meskipun hatinya masih ragu. "Iya, Bi. Kakak yakin. Kita hanya perlu menunggu sebentar."

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu waktu mereka semakin sedikit. Adiknya mungkin tidak punya banyak waktu jika penyakit itu terus menggerogotinya. Ia memutuskan untuk mengambil inisiatif.

"Kalau Shin yeohwa tidak mau membantu, aku harus menemukan cara lain,"

gumamnya dengan tekad. Yu Hae memandang Yu Bi yang kini tertidur lemah, lalu menghela napas panjang. Ia harus mencari jawaban, apa pun risikonya.

Perjalanannya belum berakhir—ini baru permulaan dari takdir yang akan membawa mereka pada misteri dunia yang jauh lebih besar.

***

1 hari berlalu. Yu Hae masih duduk menunggu di depan pintu panti asuhan. Meski disebut panti asuhan, tempat itu sangat usang dan tak ada kehidupan sama sekali. Lagipula, tempat ini dihuni oleh seorang nenek tua yang sakit parah, jadi tak ada yang menganggapnya sebagai panti asuhan.

Pintu terbuka. Dan disana terlihat sebuah sosok dengan perawakan rambut hitam panjang dan sedikit bergelombang, dengan mata coklat gelap yang tajam. Kulitnya pucat karena penyakit yang dideritanya, dan posturnya tegap meski usianya sudah tua.

Wajahnya selalu terlihat serius dan tegas, dan saat ini ia mengenakan pakaian sederhana. Meski terlihat kuat dan misterius, kelelahan akibat penyakitnya tak bisa disembunyikan.

"Kau masih di sini?" tanya nenek itu dengan nada kesal.

Walau terkejut dengan perubahan fisik nenek tersebut aku segera menyadarkan diri dan bersujud.

"Tolong sembuhkan adikku..." Ucapku memohon dengan tulus kepada nenek penyihir itu.

Tak lama setelah itu, nenek yang dikenal sebagai penyihir itu mulai mengomel lagi sambil menjelaskan bahwa penyakit itu tidak ada obatnya.

"Menghela napas, kapan Bi bisa sembuh...jika obatnya saja tidak ada." gumamnya pelan.

Yu Hae mendengar gumaman itu, dan nenek itu mulai menatapnya dengan lebih tajam.

Karena merasa diperhatikan, Yu Hae menoleh dan tak sengaja bertatap muka dengan nenek tersebut.

Plak!

Tiba-tiba, tamparan keras mendarat di pipi Yu Hae. Suaranya yang keras membuat Yu Bi terbangun dan suasana yang tegang itu kini menjadi canggung.

Terkejut dengan tamparan itu, Yu Hae segera bertanya sambil memeluk erat Yu Bi.

"Kenapa?"

Dengan tatapan tegas pada nenek penyihir itu.

Plak!

Nenek itu menampar lagi Yu Hae, dan berkata, "Berhentilah menatapku bodoh!"

Yu Hae pun terdiam.

"Hah?..."

Yu Bi yang melihat kakaknya ditampar, terkejut. Dan langsung mengeratkan pelukannya.

"Pergilah dan jangan ganggu kehidupan orang lain!" ujar nenek itu sebelum pergi dengan cepat, seolah tak pernah ada di sana.

"..."

Ghrr!...

Suara perut yang lapar terdengar.

"Bi?" tanya Yu Hae, yang mendengar suara itu.

Yu Bi, yang malu, langsung menyembunyikan wajahnya di dada Yu Hae, namun telinga merahnya yang menonjol membuat Yu Hae tertawa pelan.

"Baiklah, ayo kita cari makan dulu," kata Yu Hae dengan lembut.

***

"Fyuh..."

Yeohwa menghela napas lega, berdiri di atas gedung yang sudah usang dan rusak.

"Syukurlah anak itu tidak benar-benar menatap mataku..."

Dia duduk tersungkur, memijat pelipisnya sambil bergumam pelan, 'Apa dia benar-benar tidak melihat mataku?'

"Yeohwa Ssi." Suara tiba-tiba membuatnya terkejut. Refleks, dia merapal mantra 'Spatial Rend.'

"Hei!"

Suho berteriak, mengacungkan pedangnya untuk menahan serangan itu.

"Ah... Suho?"

Yeohwa menurunkan mantranya, menyadari siapa yang datang.

"Kenapa kau menyerangku?" tanya Suho sambil menatap tajam.

"Salahmu karena mengagetkanku," jawab Yeohwa santai dengan nada acuh tak acuh. Dia menghela napas panjang.

"Jadi, ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Kenapa kau tak membantu bocah itu?"

Suho menatapnya curiga. Ia tahu Yeohwa sebagai seseorang yang selalu peduli pada anak-anak malang, bahkan rela mengambil penderitaan mereka hanya untuk membuat mereka bahagia.

"Itu bukan urusanmu," jawab Yeohwa cepat dengan tatapan dingin.

"..." Suho terdiam, mencoba membaca ekspresi Yeohwa

"Pergilah jika kau tidak punya hal lain untuk dibicarakan."

ucap Yeohwa, mencoba menutupi ekspresi rumit yang muncul di wajahnya. Suho, tanpa banyak kata, berbalik dan pergi.

Namun, sebelum benar-benar pergi, dia meninggalkan beberapa kalimat.

"Kedua anak itu bermarga 'Yu'..."

"...Aku tau" Ucap Yeohwa dengan ekspresi rumit.

***

Menatap nenek penyihir itu pergi, Yu Hae akhirnya bangkit dan menggendong Yu Bi kembali.

"Kita mau ke mana, Kak?" tanya Yu Bi penasaran.

"Karena kita jauh dari kota, ayo kita ke hutan untuk membersihkan diri dan berburu," jawab Yu Hae sambil berjalan.

"Ke hutan lagi?" Yu Bi mengeluh dengan nada kecewa.

"Eh... kenapa?" Yu Hae bertanya, heran melihat Yu Bi yang mulai memberontak.

Yu Bi menunjuk sebuah cup bekas makanan di dekat tong sampah panti asuhan.

"K-Kimchi?"

"Ya!" sahut Yu Bi ceria, matanya berbinar-binar.

'Apa itu?' pikir Yu Hae sambil mendekati cup yang ditunjuk oleh adiknya.

"Ayo cari makanan ini!" Yu Bi berkata dengan semangat.

"Baiklah..." jawab Yu Hae dengan nada pasrah, sebelum menambahkan, "Apa itu cara bicaramu kepada kakakmu?" sambil menyindirnya.

"Hehe... maaf, Kak?" Yu Bi memohon dengan mata lebar yang sulit ditolak.

Yu Hae menghela napas panjang.

"Oke."

Ia menggendong Yu Bi di punggungnya, berjalan perlahan sambil memperkirakan arah terbaik untuk menemukan sumber air terdekat.

Tak!...tak!...tak!

Suara langkah kaki yang cepat dan berat terdengar di sepanjang jalan.

"Jadi... selama ini kamu menyembunyikannya dari Kakak?"

Yu Hae melanjutkan dengan nada pelan, tapi ada sedikit getaran dalam suaranya.

"Aku tidak ingin Kakak khawatir," jawabku jujur, sambil mengeratkan pelukan di punggungnya.

"Kakak sudah cukup bekerja keras untuk ku. Aku tidak ingin menambah beban kakak..."

Yu Hae tiba-tiba berhenti di salah satu dahan pohon besar. Ia berbalik sedikit, mencoba menatap wajahku.

"Bi, kamu adalah keluargaku satu-satunya. Beban atau tidak, kamu tetap prioritas Kakak."

Aku terdiam mendengar jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hangat menyebar di dalam dada. Tapi sebelum aku sempat mengatakan apapun, Yu Hae kembali bergerak.

"Kalau begitu, sebagai permintaan maaf, nanti Kakak akan cari kimchi itu sampai ketemu, ya?" katanya, mencoba mencairkan suasana.

Aku tertawa kecil. "Benarkah? Jangan sampai Kakak menyesal, lho!"

"Tidak akan," balasnya dengan percaya diri.

Tiba-tiba, suara gemerisik daun terdengar dari kejauhan, diikuti oleh geraman rendah.

Yu Hae langsung berhenti dan menajamkan pendengarannya. Aku, yang masih di gendong, langsung terdiam dan mengaktifkan .

"Kita tidak sendiri..." bisiknya pelan, matanya memperhatikan setiap pergerakan di sekitarnya.

Aku menahan napas. Dalam hening yang dibuat oleh bakatku, aku mendengar langkah-langkah berat mendekat.

"Pegangan yang erat, Bi," perintah Yu Hae sambil melompat turun dari pohon, mendarat dengan ringan di tanah.

Saat kami menyadari sumber suara itu, seekor babi hutan besar dengan tanduk yang tidak biasa muncul dari balik semak. Matanya menyala merah, dan napasnya seperti uap panas yang keluar dari kawah.

"Kak, itu babi hutan Mutasi," kataku, mencoba memberi peringatan.

Yu Hae mengangguk.

"Kita tidak punya pilihan. Aku harus menghadapinya. Gunakan -mu."

Aku mengangguk dan mempererat peganganku di pundaknya. Yu Hae menarik napas panjang, lalu meletakkan aku perlahan di tanah.

"Jangan bergerak dari sini," katanya tegas, sebelum mengambil posisi siap menyerang.

"Babi ini bisa jadi makan malam kita," tambahnya dengan senyuman kecil, mencoba menenangkan suasana.

Melihat tekad Kakak, aku tidak ragu bahwa dia akan melindungi ku. Dan di tengah hutan yang gelap ini, aku tahu aku aman selama ada Kakak di sisiku.

***

Yu Hae berdiri tegak, napasnya teratur meskipun tubuhnya mulai merasakan tekanan dari makhluk di hadapannya. Babi hutan mutasi itu bukanlah lawan yang bisa diremehkan.

Tubuhnya besar, dengan tanduk tajam yang berkilat di bawah cahaya bulan, dan aura hitam samar mengelilinginya—tanda bahwa makhluk itu telah terkena korupsi mana.

Yu Bi, yang bersembunyi di balik semak-semak, menggenggam erat cincin hitam di jarinya. Gear-nya memancarkan cahaya biru lembut saat efek aktif, menciptakan keheningan mutlak di sekitar mereka.

Meski tak bersuara, Yu Bi hanya bisa menatap kakaknya dengan campuran kekhawatiran dan rasa percaya.

"Kakak..." bisiknya dalam hati.

Yu Hae menarik napas dalam, tangannya menyentuh Gear-nya—cincin hitam elegan yang memancarkan cahaya ungu samar. Dengan suara rendah, ia berbisik, "Divine Eye."

Mata kirinya berubah, pupilnya bersinar ungu dengan pola yang rumit. Dengan kemampuan ini, ia bisa melihat kelemahan makhluk itu. Pandangannya terfokus pada tanduk babi hutan itu—sumber kekuatan utamanya.

"Babi ini sudah hampir terkontaminasi penuh," gumam Yu Hae pada dirinya sendiri, melangkah maju perlahan.

Babi hutan itu menggeram, menghentakkan kakinya ke tanah, dan menyerbu dengan kecepatan luar biasa. Yu Hae melompat ke samping, menghindari serangan pertama dengan lincah.

"Ayo, tunjukkan kekuatanmu," katanya sambil memutar tubuh, menyiapkan strategi.

Babi itu berbalik dengan cepat, menyerang lagi tanpa henti. Tapi setiap gerakannya terlihat jelas di mata Yu Hae. Dengan , ia bisa membaca arah serangan bahkan sebelum makhluk itu bergerak.

"Sekarang!"

Yu Hae melompat tinggi, menghindari serangan tanduk yang menyasar perutnya. Namun sayang serangan itu kini berhasil mengenainya.

"Akh!..."

Di udara, ia memusatkan mana ke tinjunya, menciptakan lapisan aura ungu tipis yang memperkuat serangan itu. Dengan kecepatan luar biasa, ia menghantam salah satu tanduk babi hutan itu.

Craakk!

Tanduk itu patah, mengeluarkan suara retak yang menggema di tengah hutan. Makhluk itu mengerang kesakitan, darah hitam pekat mengalir dari patahan tanduknya. Namun, babi itu tidak menyerah. Ia menyerang lagi dengan lebih brutal, mengabaikan rasa sakitnya.

Yu Hae mendarat di tanah dengan ringan, meski tubuhnya mulai terasa berat mengingat ia menerima goresan di perutnya. Ia menggertakkan gigi, berusaha menjaga fokusnya.

"Dengar, Bi," katanya meski tak terdengar karena efek .

"Kakak akan melindungimu. Apa pun yang terjadi."

Yu Bi, yang menyaksikan dari kejauhan, merasakan matanya mulai memanas. Tapi ia menahan diri. Ia tahu ini adalah saat bagi kakaknya untuk menunjukkan bahwa ia bisa diandalkan.

Yu Hae mengubah strategi. Dengan tangan kirinya, ia menggenggam Gear-nya erat-erat, memfokuskan seluruh mana yang tersisa untuk menciptakan ilusi bayangan dirinya.

Dua bayangan Yu Hae muncul, bergerak mengelilingi babi itu dengan cepat, membuat makhluk itu bingung.

"Ayo, sini," kata Yu Hae sambil memancing perhatian babi itu.

Makhluk itu menyerang bayangan pertama, tapi serangannya hanya mengenai udara kosong. Lalu ia menyerang bayangan kedua, dan lagi-lagi gagal.

Dalam kebingungannya, Yu Hae meluncur ke belakangnya, memusatkan mana ke kedua tangannya.

"Ini akhirnya."

Dengan satu pukulan keras ke tengkuk babi itu, Yu Hae menyalurkan gelombang aura yang meledak seketika.

BOOM!

Babi hutan itu jatuh ke tanah dengan tubuh bergetar, lalu akhirnya diam tak bergerak.

Yu Hae menghela napas berat, lututnya hampir goyah. Tapi ia memaksakan diri untuk tetap berdiri.

Ia menoleh ke arah Yu Bi, yang keluar dari persembunyiannya dengan mata berbinar.

"Kak!...kamu gak papa?" seru Yu Bi sambil berlari mendekat, mematikan efek .

Yu Hae tersenyum kecil, lalu mengacak rambut adiknya.

"Tak perlu khawatir, ini hanya goresan kecil."

Yu Bi memeluk Yu Hae erat-erat, seolah tidak ingin melepaskannya. Meski tubuhnya lelah dan berisi beberapa luka ringan, Yu Hae merasa hangat di tengah pelukan itu.

"Malam ini kita makan daging babi hutan," katanya dengan nada bercanda.

Yu Bi tertawa kecil, lalu menatap tubuh babi yang tergeletak.

"Tapi... Kak, itu babi mutasi. Apa aman dimakan?"

Yu Hae terdiam, lalu tertawa kecil. "Kita akan cari bagian yang tidak terkena korupsi. Kalau tidak ada... yah, kita cari makanan lain."

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Yu Hae dan Yu Bi menyadari bahwa mereka hanya punya satu sama lain. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menghadapi dunia yang kejam ini.

Catatan penulis:

Halo, teman-teman pembaca!

Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca novel ini. Jujur, saya masih pemula dalam dunia menulis, jadi mungkin ada kesalahan kata atau cerita yang terasa kurang pas di beberapa bagian.

Saya harap kalian bisa memaklumi dan menikmati ceritanya. Kalau ada kritik atau saran, saya bakal senang banget mendengarnya supaya bisa terus belajar dan jadi lebih baik.

Terima kasih atas dukungannya!

Salam hangat,

[Author]