Chereads / Destiny of the World / Chapter 3 - Chapter 2 Panti asuhan (2)

Chapter 3 - Chapter 2 Panti asuhan (2)

Panti asuhan (2)

Sinar matahari menerobos dedaunan lebat, memberikan kehangatan pagi yang lembut di tengah hutan. Yu Hae menatap adiknya dengan tatapan bingung, sambil mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan tadi.

"Kenapa aku ditampar, sih?" keluh Yu Hae sambil menghela napas panjang.

"Aku nggak mau mandi bareng kakak!" seru Yu Bi dengan wajah merah, jelas-jelas kesal tapi berusaha menyembunyikannya dengan menyilangkan tangan di dada.

"Ya ampun, aku cuma khawatir sama kamu," balas Yu Hae sambil tertawa kecil, mengacak rambut adiknya.

"Oke, mandi sendiri saja kalau begitu. Tapi jangan jauh-jauh, ya?"

Yu Bi hanya mendengus pelan, lalu berjalan menuju sisi sungai yang lebih tersembunyi sambil terus mengawasi kakaknya.

---

Setelah mandi, mereka duduk di tepi sungai, membiarkan pakaian yang basah perlahan mengering. Yu Hae sibuk mempersiapkan jaring darurat dari tali dan ranting untuk menangkap ikan.

Di sisi lain, Yu Bi memandangi kakaknya dengan mata berbinar-binar, meski ia masih pura-pura jutek.

"Kak, kamu itu selalu tahu cara bikin sesuatu, ya. Hebat banget!" Ucapku dengan nada iri.

Yu Hae menoleh dengan senyum penuh kemenangan.

"Tentu saja! Kakakmu ini kan jenius bertahan hidup. Kalau nggak ada aku, kamu pasti kelaparan di sini."

"Eh, itu nggak benar!" protes Yu Bi, pipinya menggembung.

"Aku juga bisa berburu kalau aku mau!"

Yu Hae tertawa kecil sambil menepuk kepala adiknya.

"Ya ya, aku tahu. Tapi kamu tetap jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, tubuhmu nggak sekuat itu."

Yu Bi mendengus, tapi matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus.

---

Setelah beberapa saat, mereka berhasil menangkap beberapa ikan kecil dengan jaring buatan Yu Hae. Tak lama, Yu Hae juga menemukan beberapa buah liar yang terlihat segar dan aman dimakan.

"Kita bawa ini ke panti, ya?" usul Yu Hae sambil mengangkat hasil tangkapannya.

Yu Bi mengangguk. "Iya, aku nggak sabar masak ikan ini!"

Mereka kembali berjalan melalui jalan setapak kecil di hutan. Yu Hae sesekali menoleh untuk memastikan adiknya baik-baik saja. Meski tubuh Yu Bi memang lemah, semangatnya selalu membuat Yu Hae tersenyum.

"Kak, kalau kita tinggal di sini selamanya gimana? Hutan ini tenang, nggak ada yang ganggu," tanya Yu Bi tiba-tiba.

Yu Hae terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik, Bi. Di luar sana, ada dunia yang lebih luas dan menarik. Tapi untuk saat ini, ya, kita bertahan dulu di sini."

Yu Bi hanya tersenyum kecil sambil menggenggam erat cincin hitamnya.

---

Matahari sudah semakin tinggi ketika mereka akhirnya tiba di panti asuhan. Bangunan tua itu masih terlihat suram, tapi bagi Yu Hae dan Yu Bi, tempat ini adalah perlindungan sementara yang berharga.

Yu Hae segera menyiapkan api unggun kecil di halaman panti, sementara Yu Bi sibuk membersihkan ikan hasil tangkapan mereka. Meski sederhana, momen ini terasa begitu hangat.

"Kak, kamu memang luar biasa," gumam Yu Bi pelan sambil menatap kakaknya yang sibuk memasak.

Yu Hae menoleh, menunjukkan senyum lebar. "Dan kamu adalah alasan aku tetap kuat."

Mereka tertawa bersama, menghilangkan sejenak segala kekhawatiran yang melingkupi hidup mereka. Di tengah hutan dan dunia yang penuh bahaya, kehangatan hubungan kakak-adik mereka adalah cahaya yang selalu membawa harapan.

***

Yeohwa terdiam sejenak, lolipop yang tadi dinikmatinya kini tergantung di ujung bibir tanpa gerak. Wajah mungilnya terlihat lebih serius, kontras dengan tubuh kecil yang ia pilih untuk kamuflase. "Kau benar," gumamnya pelan, "mereka tidak bisa terus bersembunyi. Tapi jika mereka benar-benar bermarga 'Yu'... maka ini lebih dari sekadar melatih bakat. Mereka adalah kunci."

Suho menegakkan tubuh, merasakan ketegangan dalam suara Yeohwa. "Kunci apa yang kau maksud?" tanyanya, meski nalurinya sudah menyadari jawabannya mungkin jauh lebih besar daripada yang ingin ia dengar.

Yeohwa menatapnya tajam, meninggalkan kesan polos yang sebelumnya ia pertontonkan. "Kunci untuk membuka rahasia Gear kuno. Jika informasi itu sampai ke pihak yang salah, dunia ini akan benar-benar hancur sebelum kita sempat menyelamatkannya."

Suasana di antara mereka mendadak mencekam. Suho mengalihkan pandangannya ke arah keramaian di sekitarnya, mencoba memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Namun, naluri bertarungnya mulai bereaksi saat ia menyadari sesuatu.

"Yeohwa," ucapnya pelan namun tegas, "sejak kapan pria di sudut itu memperhatikan kita?"

Yeohwa memiringkan kepala sedikit, matanya bergerak ke sudut pandang Suho tanpa menggerakkan tubuhnya. Di antara kerumunan, seorang pria dengan mantel hitam tampak berdiri diam, pandangan matanya lurus mengarah pada mereka. Sekilas ia terlihat seperti pejalan kaki biasa, namun aura yang memancar darinya terasa berbeda—terlalu dingin, terlalu terfokus.

"Hah," Yeohwa tersenyum tipis, lalu menjilat lolipopnya dengan santai. "Sepertinya kita tidak bisa menikmati hari ini dengan tenang. Kau ingat prosedur standar, kan?"

Suho mengangguk, matanya menyipit saat pria itu mulai bergerak mendekati mereka. "Pastikan tidak ada saksi."

Dalam hitungan detik, atmosfer di sekitar mereka berubah drastis. Keramaian kota seolah menjadi latar belakang yang memburam saat Suho dan Yeohwa bersiap menghadapi ancaman yang mendekat.

"Tampaknya mereka sudah mulai bergerak," ujar Yeohwa dengan nada rendah, mengembalikan lolipopnya ke dalam mulut. "Kita harus menemukan dua bocah itu sebelum mereka melakukannya."

Suho mencabut pedang tipisnya dari sarung di pinggang, menatap pria bermantel hitam yang kini berhenti tepat sepuluh langkah dari mereka. "Baiklah. Aku akan mengurus yang ini."

Pria itu tersenyum tipis, membuka mantelnya, memperlihatkan Gear berbentuk tombak perak yang tampak berkilauan di bawah sinar matahari. "Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup," katanya dengan suara dingin.

"Ah, klasik," balas Suho, menarik napas panjang sebelum melangkah maju.

Yeohwa hanya berdiri di tempat, tangannya merapat di belakang tubuh kecilnya. Tatapan matanya berubah dingin saat dia bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Jika kau mati di sini, aku tidak akan memaafkanmu."

Pertarungan itu dimulai dengan kilatan cahaya dari pedang Suho dan tombak lawannya, menarik perhatian sebagian kerumunan. Namun, sebelum situasi menjadi terlalu mencolok, Yeohwa mengangkat satu jari, dan udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi hening, seolah dunia membeku.

"Ini bukan tempat untuk bermain-main," gumam Yeohwa sambil melangkah maju.

***

Huph... Lompatan elegan mengantarkan dua ranting kayu di tanganku tepat ke arah Yu Bi.

Tak! Suara kayu saling bertemu menggema di antara pepohonan. Yu Bi berusaha menahan serangan itu dengan ranting kecilnya, namun kekuatan dan kecepatanku jelas berbeda jauh.

Tanpa sempat mengantisipasi, dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan lutut tertekuk, dan air mata mulai membasahi pipinya.

"Bi! Tenanglah!" Aku buru-buru mendekat, menyadari mungkin aku sedikit berlebihan. Suaraku bergetar, penuh penyesalan.

"Hik... Kakak jahat," gumamnya pelan, tapi cukup untuk menusuk hatiku.

Aku menghela napas panjang, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. "Maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan kau bisa melindungi dirimu sendiri."

Yu Bi masih memandangku dengan tatapan kesal, tapi akhirnya menggenggam tanganku, membiarkan aku membantunya bangkit. Kami duduk di bawah pohon besar, membiarkan waktu berlalu sambil berbincang.

"Bi, kau tahu kenapa kita harus belajar hal-hal ini, kan?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

"Supaya kita tidak lemah," jawabnya sambil mengusap air matanya.

Aku mengangguk, tersenyum kecil. "Betul. Tapi bukan hanya itu. Mana, Gear... semuanya akan sangat berguna jika kita ingin memahami dunia ini lebih jauh. Terlebih, kita harus siap menghadapi apa pun yang datang."

Yu Bi hanya mengangguk kecil, masih memeluk lututnya. Aku mengeluarkan sebuah buku tua yang aku temukan di sudut panti asuhan beberapa hari lalu. Sampulnya lusuh, tapi isinya seperti membuka dunia baru bagi kami.

"Buku ini," aku menunjukkannya pada Yu Bi, "membahas tentang penggunaan mana dalam Gear. Kau tahu? Gear kita bisa berkembang seiring waktu, tapi itu membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana mana mengalir dalam tubuh kita."

Yu Bi menatap buku itu dengan penuh minat, rasa penasarannya mulai mengalahkan rasa kesalnya. "Bagaimana caranya, Kak?"

Aku tersenyum, membalik halaman buku itu. "Menurut ini, kita harus memahami pola aliran mana kita sendiri terlebih dahulu. Setiap orang memiliki pola unik. Kau ingat saat kau menggunakan Gear-mu untuk menciptakan keheningan? Itu terjadi karena pola aliran manamu cocok dengan efek Gear-mu."

Perbincangan kami berlanjut, semakin dalam ke teori dan spekulasi. Aku bahkan tidak menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat. Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, kami masih asyik membahas isi buku itu, hingga suara langkah mendadak menghentikan kami.

Tap... Tap... Tap...

Aku dan Yu Bi langsung menoleh, dan di sanalah dia berdiri—Shin Yeohwa.

Sosok mungil dengan rambut hitam bergelombangnya terlihat siluet dalam cahaya sore, tapi aura yang dia pancarkan cukup untuk membuatku merasa bersalah bahkan sebelum dia mengatakan apa-apa.

"Mencuri pengetahuan, ya?" suaranya dingin, tapi ada nada main-main yang terselip di sana.

Aku dan Yu Bi hanya bisa terpaku di tempat. Wajahku memerah karena ketahuan, sementara Yu Bi menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan ketakutan.

Yeohwa berjalan mendekat perlahan, menatap kami dengan mata tajam yang membuatku sulit bernapas. "Kalian tahu, bukan? Jika ingin mempelajari sesuatu, ada cara yang lebih baik daripada menyelinap."

Dia berhenti tepat di depan kami, menunduk, dan kemudian... tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak memberikan ketenangan—justru membuatku semakin bingung.

"Aku bertanya-tanya," katanya sambil melipat tangannya di dada. "Apa yang harus kulakukan dengan kalian berdua sekarang?"

Suasana menjadi tegang. Aku mencoba membaca ekspresi Yeohwa, tapi tidak berhasil. Yang kutahu hanyalah, apa pun yang akan terjadi setelah ini, itu pasti akan mengubah segalanya.

Panti asuhan (2)

Sinar matahari menerobos dedaunan lebat, memberikan kehangatan pagi yang lembut di tengah hutan. Yu Hae menatap adiknya dengan tatapan bingung, sambil mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan tadi.

"Kenapa aku ditampar, sih?" keluh Yu Hae sambil menghela napas panjang.

"Aku nggak mau mandi bareng kakak!" seru Yu Bi dengan wajah merah, jelas-jelas kesal tapi berusaha menyembunyikannya dengan menyilangkan tangan di dada.

"Ya ampun, aku cuma khawatir sama kamu," balas Yu Hae sambil tertawa kecil, mengacak rambut adiknya. "Oke, mandi sendiri saja kalau begitu. Tapi jangan jauh-jauh, ya?"

Yu Bi hanya mendengus pelan, lalu berjalan menuju sisi sungai yang lebih tersembunyi sambil terus mengawasi kakaknya.

---

Setelah mandi, mereka duduk di tepi sungai, membiarkan pakaian yang basah perlahan mengering. Yu Hae sibuk mempersiapkan jaring darurat dari tali dan ranting untuk menangkap ikan. Di sisi lain, Yu Bi memandangi kakaknya dengan mata berbinar-binar, meski ia masih pura-pura jutek.

"Kak, kamu itu selalu tahu cara bikin sesuatu, ya. Hebat banget!"

Yu Hae menoleh dengan senyum penuh kemenangan. "Tentu saja! Kakakmu ini kan jenius bertahan hidup. Kalau nggak ada aku, kamu pasti kelaparan di sini."

"Eh, itu nggak benar!" protes Yu Bi, pipinya menggembung. "Aku juga bisa berburu kalau aku mau!"

Yu Hae tertawa kecil sambil menepuk kepala adiknya. "Ya ya, aku tahu. Tapi kamu tetap jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, tubuhmu nggak sekuat itu."

Yu Bi mendengus, tapi matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus.

---

Setelah beberapa saat, mereka berhasil menangkap beberapa ikan kecil dengan jaring buatan Yu Hae. Tak lama, Yu Hae juga menemukan beberapa buah liar yang terlihat segar dan aman dimakan.

"Kita bawa ini ke panti, ya?" usul Yu Hae sambil mengangkat hasil tangkapannya.

Yu Bi mengangguk. "Iya, aku nggak sabar masak ikan ini!"

Mereka kembali berjalan melalui jalan setapak kecil di hutan. Yu Hae sesekali menoleh untuk memastikan adiknya baik-baik saja. Meski tubuh Yu Bi memang lemah, semangatnya selalu membuat Yu Hae tersenyum.

"Kak, kalau kita tinggal di sini selamanya gimana? Hutan ini tenang, nggak ada yang ganggu," tanya Yu Bi tiba-tiba.

Yu Hae terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik, Bi. Di luar sana, ada dunia yang lebih luas dan menarik. Tapi untuk saat ini, ya, kita bertahan dulu di sini."

Yu Bi hanya tersenyum kecil sambil menggenggam erat cincin hitamnya.

---

Matahari sudah semakin tinggi ketika mereka akhirnya tiba di panti asuhan. Bangunan tua itu masih terlihat suram, tapi bagi Yu Hae dan Yu Bi, tempat ini adalah perlindungan sementara yang berharga.

Yu Hae segera menyiapkan api unggun kecil di halaman panti, sementara Yu Bi sibuk membersihkan ikan hasil tangkapan mereka. Meski sederhana, momen ini terasa begitu hangat.

"Kak, kamu memang luar biasa," gumam Yu Bi pelan sambil menatap kakaknya yang sibuk memasak.

Yu Hae menoleh, menunjukkan senyum lebar. "Dan kamu adalah alasan aku tetap kuat."

Mereka tertawa bersama, menghilangkan sejenak segala kekhawatiran yang melingkupi hidup mereka. Di tengah hutan dan dunia yang penuh bahaya, kehangatan hubungan kakak-adik mereka adalah cahaya yang selalu membawa harapan.

***

Yeohwa terdiam sejenak, lolipop yang tadi dinikmatinya kini tergantung di ujung bibir tanpa gerak. Wajah mungilnya terlihat lebih serius, kontras dengan tubuh kecil yang ia pilih untuk kamuflase. "Kau benar," gumamnya pelan, "mereka tidak bisa terus bersembunyi. Tapi jika mereka benar-benar bermarga 'Yu'... maka ini lebih dari sekadar melatih bakat. Mereka adalah kunci."

Suho menegakkan tubuh, merasakan ketegangan dalam suara Yeohwa. "Kunci apa yang kau maksud?" tanyanya, meski nalurinya sudah menyadari jawabannya mungkin jauh lebih besar daripada yang ingin ia dengar.

Yeohwa menatapnya tajam, meninggalkan kesan polos yang sebelumnya ia pertontonkan. "Kunci untuk membuka rahasia Gear kuno. Jika informasi itu sampai ke pihak yang salah, dunia ini akan benar-benar hancur sebelum kita sempat menyelamatkannya."

Suasana di antara mereka mendadak mencekam. Suho mengalihkan pandangannya ke arah keramaian di sekitarnya, mencoba memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Namun, naluri bertarungnya mulai bereaksi saat ia menyadari sesuatu.

"Yeohwa," ucapnya pelan namun tegas, "sejak kapan pria di sudut itu memperhatikan kita?"

Yeohwa memiringkan kepala sedikit, matanya bergerak ke sudut pandang Suho tanpa menggerakkan tubuhnya. Di antara kerumunan, seorang pria dengan mantel hitam tampak berdiri diam, pandangan matanya lurus mengarah pada mereka. Sekilas ia terlihat seperti pejalan kaki biasa, namun aura yang memancar darinya terasa berbeda—terlalu dingin, terlalu terfokus.

"Hah," Yeohwa tersenyum tipis, lalu menjilat lolipopnya dengan santai. "Sepertinya kita tidak bisa menikmati hari ini dengan tenang. Kau ingat prosedur standar, kan?"

Suho mengangguk, matanya menyipit saat pria itu mulai bergerak mendekati mereka. "Pastikan tidak ada saksi."

Dalam hitungan detik, atmosfer di sekitar mereka berubah drastis. Keramaian kota seolah menjadi latar belakang yang memburam saat Suho dan Yeohwa bersiap menghadapi ancaman yang mendekat.

"Tampaknya mereka sudah mulai bergerak," ujar Yeohwa dengan nada rendah, mengembalikan lolipopnya ke dalam mulut. "Kita harus menemukan dua bocah itu sebelum mereka melakukannya."

Suho mencabut pedang tipisnya dari sarung di pinggang, menatap pria bermantel hitam yang kini berhenti tepat sepuluh langkah dari mereka. "Baiklah. Aku akan mengurus yang ini."

Pria itu tersenyum tipis, membuka mantelnya, memperlihatkan Gear berbentuk tombak perak yang tampak berkilauan di bawah sinar matahari. "Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup," katanya dengan suara dingin.

"Ah, klasik," balas Suho, menarik napas panjang sebelum melangkah maju.

Yeohwa hanya berdiri di tempat, tangannya merapat di belakang tubuh kecilnya. Tatapan matanya berubah dingin saat dia bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Jika kau mati di sini, aku tidak akan memaafkanmu."

Pertarungan itu dimulai dengan kilatan cahaya dari pedang Suho dan tombak lawannya, menarik perhatian sebagian kerumunan. Namun, sebelum situasi menjadi terlalu mencolok, Yeohwa mengangkat satu jari, dan udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi hening, seolah dunia membeku.

"Ini bukan tempat untuk bermain-main," gumam Yeohwa sambil melangkah maju.

***

Huph... Lompatan elegan mengantarkan dua ranting kayu di tanganku tepat ke arah Yu Bi.

Tak! Suara kayu saling bertemu menggema di antara pepohonan. Yu Bi berusaha menahan serangan itu dengan ranting kecilnya, namun kekuatan dan kecepatanku jelas berbeda jauh.

Tanpa sempat mengantisipasi, dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan lutut tertekuk, dan air mata mulai membasahi pipinya.

"Bi! Tenanglah!" Aku buru-buru mendekat, menyadari mungkin aku sedikit berlebihan. Suaraku bergetar, penuh penyesalan.

"Hik... Kakak jahat," gumamnya pelan, tapi cukup untuk menusuk hatiku.

Aku menghela napas panjang, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. "Maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan kau bisa melindungi dirimu sendiri."

Yu Bi masih memandangku dengan tatapan kesal, tapi akhirnya menggenggam tanganku, membiarkan aku membantunya bangkit. Kami duduk di bawah pohon besar, membiarkan waktu berlalu sambil berbincang.

"Bi, kau tahu kenapa kita harus belajar hal-hal ini, kan?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

"Supaya kita tidak lemah," jawabnya sambil mengusap air matanya.

Aku mengangguk, tersenyum kecil. "Betul. Tapi bukan hanya itu. Mana, Gear... semuanya akan sangat berguna jika kita ingin memahami dunia ini lebih jauh. Terlebih, kita harus siap menghadapi apa pun yang datang."

Yu Bi hanya mengangguk kecil, masih memeluk lututnya. Aku mengeluarkan sebuah buku tua yang aku temukan di sudut panti asuhan beberapa hari lalu. Sampulnya lusuh, tapi isinya seperti membuka dunia baru bagi kami.

"Buku ini," aku menunjukkannya pada Yu Bi, "membahas tentang penggunaan mana dalam Gear. Kau tahu? Gear kita bisa berkembang seiring waktu, tapi itu membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana mana mengalir dalam tubuh kita."

Yu Bi menatap buku itu dengan penuh minat, rasa penasarannya mulai mengalahkan rasa kesalnya. "Bagaimana caranya, Kak?"

Aku tersenyum, membalik halaman buku itu. "Menurut ini, kita harus memahami pola aliran mana kita sendiri terlebih dahulu. Setiap orang memiliki pola unik. Kau ingat saat kau menggunakan Gear-mu untuk menciptakan keheningan? Itu terjadi karena pola aliran manamu cocok dengan efek Gear-mu."

Perbincangan kami berlanjut, semakin dalam ke teori dan spekulasi. Aku bahkan tidak menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat. Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, kami masih asyik membahas isi buku itu, hingga suara langkah mendadak menghentikan kami.

Tap... Tap... Tap...

Aku dan Yu Bi langsung menoleh, dan di sanalah dia berdiri—Shin Yeohwa.

Sosok mungil dengan rambut hitam bergelombangnya terlihat siluet dalam cahaya sore, tapi aura yang dia pancarkan cukup untuk membuatku merasa bersalah bahkan sebelum dia mengatakan apa-apa.

"Mencuri pengetahuan, ya?" suaranya dingin, tapi ada nada main-main yang terselip di sana.

Aku dan Yu Bi hanya bisa terpaku di tempat. Wajahku memerah karena ketahuan, sementara Yu Bi menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan ketakutan.

Yeohwa berjalan mendekat perlahan, menatap kami dengan mata tajam yang membuatku sulit bernapas. "Kalian tahu, bukan? Jika ingin mempelajari sesuatu, ada cara yang lebih baik daripada menyelinap."

Dia berhenti tepat di depan kami, menunduk, dan kemudian... tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak memberikan ketenangan—justru membuatku semakin bingung.

"Aku bertanya-tanya," katanya sambil melipat tangannya di dada. "Apa yang harus kulakukan dengan kalian berdua sekarang?"

Suasana menjadi tegang. Aku mencoba membaca ekspresi Yeohwa, tapi tidak berhasil. Yang kutahu hanyalah, apa pun yang akan terjadi setelah ini, itu pasti akan mengubah segalanya.