Lea melangkah cepat menuju pasar desa, senyum cerah di wajahnya. Pagi itu, udara terasa sejuk dan kehidupan desa tampak berjalan seperti biasa. Ia menyapa tetangga yang sudah tak asing lagi, "Selamat pagi, Bu Wati!" dan "Halo, Pak Budi!" Suara tawa dan obrolan ringan mengiringi langkahnya.
Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di hati Lea. Setiap kali ia pulang ke rumah, ada perasaan cemas yang menyelimutinya. Hutang-hutang orang tuanya pada juragan tanah di desa itu semakin menumpuk, dan mereka berharap Lea bisa menikahi pria itu untuk melunasinya. Lea benci memikirkan hal itu, tapi ia tahu tak ada banyak pilihan.
Di pasar, pandangannya bertemu dengan seorang pria yang tampaknya asing. Raka, pria itu, berdiri di samping sebuah warung kecil, mengamati suasana desa dengan wajah serius. Meskipun mengenakan pakaian sederhana, ada sesuatu yang memikat dari cara dia berdiri di sana. Lea berusaha tidak terlalu memperhatikannya, tapi tak bisa menghindari tatapan Raka yang tiba-tiba mengarah padanya.
"Selamat pagi, Nona," kata pria itu dengan senyum tipis.
Lea terkejut, namun dengan cepat ia membalas, "Pagi."
Ia melanjutkan langkahnya, tetapi entah kenapa, hati Lea tiba-tiba berdebar. Apa yang membuat pria itu berbeda dari yang lain? Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada belanjaannya.
Raka hanya mengamati Lea sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya, ada rasa penasaran yang mulai tumbuh. Mungkin desa ini bisa menjadi tempat untuk mencari kedamaian, tapi siapa yang menyangka, di sini ia akan bertemu dengan gadis yang tak bisa dia lupakan.
Lea bergegas pulang, mencoba menenangkan pikirannya. Di rumah, suasana yang sedikit tegang menyambutnya. Ayah dan ibunya sudah menunggu di meja makan, dengan wajah yang menunjukkan kekhawatiran.
"Lea, kamu sudah belanja?" tanya ibu, mencoba menyapa dengan senyuman yang tampaknya dipaksakan.
"Sudah, Bu," jawab Lea sambil meletakkan keranjang belanjaan di meja. Namun, pikirannya terus melayang ke pertemuan singkat dengan pria tadi. Wajahnya, meskipun sederhana, membuat Lea merasa ada sesuatu yang berbeda.
Ayahnya, yang duduk di ujung meja, langsung membuka percakapan dengan nada serius. "Lea, kami sudah memutuskan. Kamu harus menikah dengan Juragan Wira. Itu satu-satunya jalan keluar dari masalah kita."
Lea menahan napas. Juragan Wira. Nama itu sudah terlalu sering terdengar dalam rumah mereka belakangan ini. Seorang pria tua kaya yang sepertinya lebih tertarik pada harta keluarga mereka daripada Lea sendiri. Lea tahu itu, dan hatinya menolak keras.
"Tapi, Ayah, aku…" Lea mencoba berbicara, namun kata-katanya terasa berat di tenggorokannya.
"Ibu dan Ayah sudah sangat berusaha. Hutang-hutang ini hanya bisa terbayar jika kamu menikah dengannya. Ini demi kebaikan kita semua," Ayahnya berkata dengan nada tegas, membuat Lea merasa seolah-olah tidak ada ruang untuk penolakan.
Lea merasa tenggelam dalam perasaan cemas dan bingung. Mengapa ia harus memilih antara cinta dan keluarga? Mengapa pilihan itu seharusnya ada di tangannya? Rasanya semua kebahagiaannya tiba-tiba terkunci dalam sebuah takdir yang tidak ia pilih.
Sore itu, Lea melangkah keluar rumah, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Langkahnya membawa ia ke ladang di belakang rumah. Angin yang berhembus sepoi-sepoi membawa sedikit ketenangan, tetapi perasaan gelisah itu tetap ada.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tidak familiar membuatnya terhenti. Ia menoleh dan melihat Raka sedang berjalan ke arahnya. Ia terkejut, tak tahu harus berbuat apa. Raka, yang sepertinya tidak keberatan untuk berjalan lebih jauh menuju ladang, menatapnya dengan tatapan yang lembut.
"Lea, kamu baik-baik saja?" tanya Raka dengan suara yang tenang.
Lea terdiam, sejenak mencoba menyusun kata-kata. "Aku… sedang berpikir tentang banyak hal."
"Kadang, berdiam diri dan berpikir memang membantu," jawab Raka, mendekat sedikit. "Tapi jangan sampai pikiran itu membebani kamu."
Lea tersenyum kecil, merasa sedikit lega. Meskipun mereka baru saja bertemu, kata-kata Raka terasa menenangkan. "Terima kasih, Raka. Aku hanya… merasa terjebak."
"Terjebak?" tanya Raka dengan alis terangkat.
Lea mengangguk perlahan, matanya teralihkan ke jauh di kejauhan, ke arah rumah dan ladang mereka yang luas. "Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih. Cinta atau kewajiban."
Raka terdiam sejenak, tampaknya berpikir keras. "Kehidupan memang penuh dengan pilihan-pilihan sulit," katanya akhirnya, "tapi jangan biarkan hidupmu ditentukan oleh orang lain. Kamu berhak memilih kebahagiaanmu sendiri."
Lea menatap Raka, matanya berbinar. Meski masih banyak yang belum ia ketahui tentang Raka, ada perasaan nyaman setiap kali pria itu berbicara. Ia merasa seolah-olah ada seseorang yang benar-benar peduli.
Namun, Lea juga tahu bahwa jalan yang ada di hadapannya penuh dengan rintangan. Apakah ia bisa memilih kebahagiaan tanpa menghancurkan keluarganya? Atau akankah ia terjebak dalam pilihan yang lebih besar daripada dirinya sendiri?
Hari itu, meskipun langkah kaki mereka berbeda arah, ada sesuatu yang tertinggal dalam hati Lea. Perasaan yang masih harus ia pahami.
Raka menatapnya sekali lagi sebelum melangkah pergi, "Jangan terburu-buru dalam memilih, Lea. Waktu akan menunjukkan jalan yang terbaik."
Lea mengangguk perlahan, namun hatinya tak bisa menahan tanya. Apakah dia bisa benar-benar mengatasi semua ini?