Malam di desa selalu tenang, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang terdengar. Namun, malam itu berbeda. Rumah Lea yang biasanya sunyi kini dipenuhi dengan perdebatan kecil antara kedua orang tuanya. Mereka membicarakan hutang-hutang yang semakin menekan, dan solusi yang terus-menerus mengarah pada pernikahan Lea dengan Juragan Wira.
Lea hanya duduk di kamarnya, memeluk lutut di sudut tempat tidur. Pikirannya penuh dengan kebingungan. Di luar sana, hidup seolah bergerak maju, tetapi baginya, waktu terasa berhenti. Ia tidak ingin hidupnya diatur seperti ini, tetapi apa daya? Hutang keluarganya adalah kenyataan yang tak bisa ia abaikan.
Saat ia termenung, suara ketukan pelan terdengar di pintu rumah. Lea mengerutkan dahi, sedikit penasaran. Siapa yang datang malam-malam begini? Ia berjalan keluar kamar dan melihat ayahnya membuka pintu.
"Selamat malam, Pak," sapa suara berat yang terasa akrab.
Lea terkejut saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Raka, pria yang ia temui di pasar pagi tadi, berdiri di sana dengan senyum ramah.
"Maaf mengganggu malam Anda. Saya Raka, pekerja baru di desa ini. Saya hanya ingin berkenalan dengan tetangga," katanya dengan nada santai.
Ayah Lea memandangnya dari ujung kepala hingga kaki, mencoba menilai. Dengan sedikit ragu, ia mengangguk. "Masuklah, Raka. Tidak ada salahnya kita saling mengenal."
Lea berdiri di dekat meja, mencoba membaca situasi. Raka melangkah masuk dengan tenang, tatapannya sesekali beralih pada Lea, yang segera memalingkan pandangan.
Obrolan antara ayah Lea dan Raka berlangsung singkat namun hangat. Raka bercerita bahwa ia bekerja serabutan di ladang milik salah satu penduduk desa. Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang sopan membuat ayah Lea merasa cukup nyaman.
Namun, Lea tidak bisa menghilangkan rasa curiga. Ada sesuatu tentang pria ini yang terasa... berbeda. Ia terlalu tenang, terlalu santai, seolah-olah tidak sepenuhnya cocok dengan lingkungan desa.
Setelah beberapa waktu, Raka pamit. "Terima kasih atas waktu dan keramahan Anda. Semoga kita bisa bertemu lagi," ucapnya sambil tersenyum pada ayah Lea.
Saat ia berjalan keluar, pandangannya sekali lagi bertemu dengan Lea. "Selamat malam, Lea," katanya dengan nada lembut sebelum melangkah pergi.
Lea hanya mengangguk kecil, masih merasa bingung dengan kehadirannya.
---
Keesokan harinya, Lea kembali ke pasar untuk membantu ibunya berbelanja. Desa itu kecil, sehingga tak butuh waktu lama sebelum gosip tentang pekerja baru mulai beredar.
"Raka itu katanya pintar, ya," kata salah seorang pedagang kepada ibu Lea. "Dia baru di sini, tapi langsung akrab dengan orang-orang. Anak muda yang baik."
Lea mendengar percakapan itu tanpa sengaja. Ia hanya diam, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Raka terlalu sempurna untuk ukuran pekerja biasa. Ia penasaran, tetapi juga tidak ingin terlalu memikirkannya.
Namun, rasa penasaran itu memuncak saat sore tiba. Lea yang sedang duduk di beranda rumah melihat Raka melintas, membawa keranjang berisi hasil panen. Ia tidak bisa menahan diri.
"Raka!" panggilnya tiba-tiba.
Raka berhenti dan menoleh, terlihat sedikit terkejut tapi langsung tersenyum. "Ya, ada apa, Lea?"
Lea melangkah mendekat, mencoba menahan rasa gugupnya. "Aku cuma ingin tahu... kenapa kamu datang ke desa ini? Maksudku, kamu tampaknya bukan orang desa."
Raka mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan langsung itu. Namun, ia menjawab dengan tenang, "Aku hanya mencari tempat yang tenang. Hidup di kota terlalu melelahkan. Di sini, semuanya terasa lebih damai."
Lea menatapnya, mencoba mencari kebenaran dalam jawabannya. Tapi tatapan Raka yang tulus membuatnya merasa sedikit bersalah karena curiga.
"Maaf, aku tidak bermaksud menuduh," ujar Lea akhirnya.
Raka hanya tersenyum. "Tidak apa-apa. Terkadang, memang sulit percaya pada sesuatu yang terlalu baik untuk menjadi kenyataan."
Lea terdiam. Kata-kata itu membuatnya merasa seperti sedang diajak bicara lebih dari sekadar obrolan biasa.
---
Malam itu, saat Lea duduk di kamarnya, ia memikirkan Raka. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya merasa nyaman, tetapi juga waspada. Dan untuk pertama kalinya, Lea merasa ada sedikit harapan di tengah semua kekacauan dalam hidupnya.
Namun, harapan itu belum sepenuhnya berkembang ketika suara gaduh dari ruang tengah mengejutkan Lea. Ia segera bangkit dan membuka pintu kamarnya, melangkah menuju asal suara.
Di ruang tengah, ayahnya terlihat marah, berdiri berhadapan dengan seseorang. Ternyata, tamu tak diundang itu adalah Juragan Wira. Pria bertubuh besar dengan wajah sombong itu menatap tajam ayah Lea.
"Aku tidak suka menunggu, Pak Rahman," katanya dengan nada keras. "Aku sudah memberi waktu cukup lama. Kalau hutang-hutangmu tidak bisa kau lunasi bulan ini, kau tahu konsekuensinya!"
Ayah Lea tampak cemas. Ia mencoba menenangkan Juragan Wira, meskipun suaranya terdengar bergetar. "Kami hanya butuh sedikit waktu lagi, Juragan. Lea... dia akan segera membuat keputusan."
Mendengar namanya disebut, Lea merasa darahnya mendidih. Bagaimana mungkin hidupnya dijadikan alat tawar-menawar seperti ini? Ia melangkah maju, membuat suara langkahnya terdengar.
"Lea, sini," panggil ibunya, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah khawatir.
Lea berdiri di antara orang tuanya dan Juragan Wira, menatap pria itu dengan mata penuh keberanian. "Saya tidak akan menikah dengan Anda," katanya tegas.
Juragan Wira tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian ia tertawa kecil, mencemooh keberanian Lea. "Kau pikir kau punya pilihan, gadis kecil? Hutang keluargamu adalah tanggung jawabmu. Dan aku satu-satunya jalan keluar."
Lea mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi. "Ada banyak cara melunasi hutang selain menjual anak perempuan Anda. Saya akan menemukan jalannya sendiri!"
Juragan Wira mengerutkan dahi, tetapi sebelum ia sempat menjawab, suara lain tiba-tiba terdengar dari luar pintu.
"Sepertinya Anda memaksakan kehendak pada keluarga yang sudah cukup tertekan."
Semua orang menoleh, dan di sana, berdiri Raka dengan keranjang yang tadi ia bawa. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya penuh ketegasan.
Juragan Wira menatap Raka dengan tatapan tidak senang. "Siapa kau? Jangan ikut campur urusan ini!"
Raka melangkah masuk ke ruangan, meletakkan keranjang di lantai. Ia berdiri di samping Lea, menatap Juragan Wira tanpa gentar. "Saya hanya seseorang yang tidak suka melihat ketidakadilan. Jika Anda memang seorang juragan yang baik, seharusnya Anda menawarkan bantuan, bukan memaksakan kehendak."
Lea terkejut mendengar kata-kata Raka. Ada keberanian yang tidak ia duga muncul dari pria itu. Juragan Wira tampak marah, tetapi ia menahan diri.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang urusan ini," katanya dingin. "Aku akan kembali dalam waktu dekat. Kuharap keluarga ini membuat keputusan yang benar."
Setelah berkata demikian, Juragan Wira pergi dengan langkah keras, meninggalkan suasana yang tegang di ruang tengah.
Ayah Lea menghela napas berat, sementara ibunya tampak ingin menangis. Lea menoleh pada Raka, merasa campur aduk antara bingung dan terima kasih.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanyanya pelan.
Raka tersenyum kecil. "Kadang, seseorang hanya butuh sedikit bantuan untuk melawan ketakutan terbesar mereka."
Lea terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahwa kehadiran Raka membawa harapan baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lea merasa mungkin ada jalan keluar dari semua masalah ini. Entah bagaimana, ia percaya bahwa Raka adalah bagian dari jawabannya.