Di sudut-sudut gelap penginapan Heill, tempat dengan udara yang berat, seperti selembar kain basah yang diperas dari tumpukan tong anggur. Aroma alkohol yang yang menguar dan wangi keringat yang lengket di udara, bersamaan dengan desas-desus gosip hangat yang menjadi perbincangan baru-baru ini.
Di tengah hiruk-pikuk dan keramaian, yang bahkan dapat membuat suara seseorang tenggelam jika tidak berbicara terlalu keras, seorang pria gemuk berinisiatif untuk mengangkat topik yang dapat menjadi perbincangan bersama. Dia berkata dengan mata yang berbinar dengan kegembiraan jahat:
"Hei, pernahkah kamu mendengar kabar terbaru tentang Tuan Muda?"
Pria gemuk itu menjedanya dan melihat sekeliling. Pria-pria yang sedang berjudi melonggarkan cengkeraman mereka pada kartu, pelayan yang menuang bir berhenti setengah jalan, bahkan seekor kucing yang biasa mengendap-endap mencuri makanan melingkarkan ekornya, seolah menunggu kalimat selanjutnya.
"Katanya, dia melakukannya lagi!"
Pria gemuk itu menampar pahanya, yang menambah lebih banyak kejutan.
Para pengunjung yang telah memusatkan perhatian mereka padanya, memiliki ekspresi wajah yang bercampur, campuran antara hiburan dan ketidakpercayaan. Mereka hidup dalam wilayah Tuan mereka, mau tidak mau, bahkan mereka yang tidak mau tau, pastinya pernah mendengar beberapa hal seputar Tuan Muda mereka, tetapi setiap cerita baru hanya menambah mitos tentangnya.
Seorang Wanita kurus yang tidak mencoba menahan atau menyembunyikan rasa ingin tahunya berkata:
"Apa yang dia lakukan kali ini? Terakhir aku dengar, dia melepaskan segerombolan kumbang di perpustakaan, masing-masing dihiasi dengan topi pesta."
Wanita kurus itu berkata dengan nada yang seolah disayangkan, bagaimana ada manusia yang begitu … unik.
"Oh?"
Pria gemuk itu mengangkat dagunya, seolah tertarik dengan apa yang belum pernah ia dengar, tapi ia tabah dan tidak melupakan misinya. Menggelengkan kepalanya, dia melanjutkan:
"Nah, akan baik jika itu berhenti di sana, tapi kamu tahu, kuda-kuda di kandang, semuanya terkena penyakit aneh … Sepertinya mereka diberi makan sesuatu yang seharusnya tidak mereka makan."
Pria gemuk itu mengusap dagunya, penasaran dengan situasi yang mendasarinya.
Desahan kolektif keluar dari para pengunjung, diikuti oleh serangkaian pertanyaan.
"Makanan apa yang beliau berikan?"
"Siapa yang akan melakukan hal seperti itu?"
"Apakah kuda-kuda itu baik-baik saja?"
Pria gemuk itu meluruskan bahunya, puas dengan situasinya, ia mengangkat tangannya, seperti menghentikan kicauan anak-anak burung, karena dia membawa cukup makanan untuk memuaskan mereka.
"Oke, oke, aku belum selesai. Tampaknya Tuan Muda mengambil keputusan untuk meningkatkan makanan kuda. Dia memberi mereka seluruh makanan yang dia racik sendiri campuran dari beberapa ramuan, rempah-rempah, dan sesuatu yang tampaknya tidak boleh dicampurkan sebagai pakan kuda."
Wanita kurus itu mengangkat alisnya.
"Ramuan? Rempah-rempah? Kedengarannya hampir... ajaib."
"Ajaib atau tidak, itu pasti memiliki efek."
Pria gemuk itu menjawab dengan antusiasme seorang pedagang yang tidak ingin kehilangan pelanggan pertamanya.
"Kuda-kuda itu sekarang kentut dengan sangat keras, kamu akan mengira mereka adalah naga yang menyemburkan api! Para pekerja kandang berada di ujung keawarasan mereka, mencoba menahan, em ya... situasi aromatik."
Beberapa tertawa sampai membanting meja, yang lain menatap kosong, seperti mencoba menilai apakah kisah ini sebenarnya benar atau sekadar lelucon yang gagal. Di pojok ruangan, seorang lelaki tua menutupi wajahnya dengan topi jerami, mungkin mencoba menyembunyikan lekukan di bibirnya.
"Tapi itu belum semuanya,"
Seolah tak ingin melewatkan kegembiraan, pria gemuk itu melanjutkan, suaranya merendah menjadi bisikan konspiratif:
"Ada juga masalah kantor administrasi perkebunan. Sepertinya telah diserang oleh segerombolan serangga, itu karena Tuan Muda memutuskan akan menarik untuk membiarkan jendela terbuka dan menaruh beberapa benda di sana selama musim serangga tertentu."
"Serangga, katamu?"
"Serangga macam apa yang kita bicarakan di sini?"
"Hampir semua dari jenisnya!"
Jawab pria gemuk, yang masih menikmati perhatian.
"Nyamuk, ngengat, bahkan beberapa lebah! Orang-orang malang yang bekerja di kantor itu memukul dan memukul, tetapi serangga terus kembali. Sepertinya mereka berada di bawah semacam pesona!"
Kelompok itu menggelengkan kepala, wajah mereka dipenuhi dengan campuran hiburan, keterkejutan, dan sedikit kekhawatiran.
"Tuan Muda itu … "
Pria yang sedang membawa kain lap itu mendesah.
"Dia anak yang baik hati, tapi pikirannya bekerja dengan cara yang misterius. Aku mendengar dia pergi ke manor tua di pinggiran perkebunan sebagai semacam … liburan"
Pria gemuk itu mengangguk.
"Memang, dan itulah yang membawa kita ke rumor terbaru. Mereka mengatakan, itu karena dia menanam sesuatu di rumah harta leluhur. Sesuatu yang melibatkan bunga dan... yah, kamu akan melihatnya."
Para pengunjung condong ke depan, rasa ingin tahunya terpacu.
"Benar, di sinilah kisah ini menjadi benar-benar menarik. Kamu lihat, Tuan Muda memiliki minat khusus pada spesies bunga tertentu, bunga bangkai tepatnya. Bunga-bunga ini, mereka cukup langka dan menghasilkan bau yang tidak bisa disangkal. Beberapa orang mengatakan baunya seperti daging busuk, yang lain mengklaim itu lebih seperti keju yang sangat tajam."
"Aku mendengar lemari harta karun itu sekarang berbau seperti bagian dalam laci dari kaus kaki yang membusuk."
seseorang menyela, yang menghasilkan dering kebahagiaan di sekitarnya.
Pria gemuk itu mengangkat tangannya, kembali menghentikan gemuruh di sekitarnya:
"Tapi tunggu, masih ada lagi. Rupanya, Tuan Muda menyukai bunga-bunga aneh itu. Dia menghabiskan hari-harinya di antara mereka, berbisik kepada mereka seolah-olah merawat istrinya yang sedang hamil. Beberapa orang mengatakan dia sudah gila, menggumamkan rahasia dan keindahan tersembunyi bunga-bunga itu."
Wanita kurus itu menggelengkan kepalanya, senyum bermain tersungging di wajahnya.
"Gila atau tidak, Tuan Muda pasti membuat semuanya menarik. Aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
~
Sebuah tempat yang jauh dari kehidupan dan gosip di pagi hari, tersembunyi di antara perbukitan bergulung dan hutan yang membawa barisan hijau, terletak reruntuhan sebuah manor yang dulunya megah, kini lapuk oleh berlalunya waktu dan kelalaian. Penduduk setempat menyebutnya sebagai "Mansion Hantu", tempat yang dihindari oleh semua orang, kecuali jiwa-jiwa yang paling berani atau paling bodoh. Orang-orang yang sengaja atau tidak sengaja ke sana untuk sebuah pemandangan, seringkali bercerita bahwa suara-suara misterius kerap kali terdengar, ketika banyak orang mempertanyakannya, para saksi selalu menyangkal bahwa mereka berhalusinasi atau bahkan gila. Pada akhirnya ada seorang jiwa pemberani, seorang Master 0.6 yang mencoba membuktikan klaim 'angker' tersebut. Seperti yang kita duga, pria tersebut diketahui keluar dengan ketakutan, dan rumornya dia mengidap trauma.
Sampai saat ini, setiap kali dia melihat seorang pria, terutama pria berotot, dia selalu menutup bokongnya dengan kedua tangan, seolah dia pernah mengalami pengalaman tak terucapkan di dalam sana.
Pada akhirnya, manor tersebut menjadi kabut misteri tebal, karena kita kekurangan jiwa-jiwa pemberani untuk menjelajahi, dan orang-orang telah menjadi begitu pintar untuk dibodohi.
Tetapi, beruntung atau sayangnya. Pada saat ini, sosok yang sangat tidak biasa berdiri di depan pintu-pintunya yang lapuk, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu dan sedikit …kegilaan.
Arlen Dmyreil, seorang pria yang tidak biasa. Dia seorang yang mampu memecahkan teka-teki rumit, dengan jawaban yang lebih rumit ketimbang teka-teki itu sendiri, dia adalah seorang yang selalu berjuang dengan interaksi sosial yang paling sederhana.
"Selamat pagi, gadis tua!"
Arlen menyapa mansion tua tersebut, suaranya bergema dalam keheningan.
"Aku sudah banyak mendengar tentangmu. Aku harap kau tidak berencana mengabaikanku. Aku sangat benci diabaikan."
Mansion itu, tentu saja, tidak menjawab. Tapi Arlen tampaknya tidak terganggu oleh kurangnya sopan santun ini. Dia dengan riang mendorong pintu yang usang, tetapi yang terakhir bahkan tidak bergerak. Arlen kembali memutar kenopnya, mendorongnya, lalu menariknya dengan semangat yang semakin meningkat. Tidak ada hasil, pintu itu tetap terkunci rapat, seperti mulut kerang yang keras kepala.
"Sungguh tidak sopan!"
Arlen menggerutu, mengetuk pintu dengan lemparan buku saku yang entah dari mana ia dapatkan.
"Aku datang jauh-jauh, dan begini caramu menyambutku? Keterlaluan!"
Ia mundur selangkah, memungut kembali buku saku yang telah ia lemparkan dan menyimpannya, sembari menatap pintu itu dengan ekspresi sedikit tersinggung.
"Jelas sekali, penghuni tempat ini adalah tipe introvert. Atau mungkin... agoraphobia? Takut pada ruang terbuka? Oh, aku bisa memahami itu. Dunia luar bisa menjadi tempat yang menakutkan, penuh dengan orang-orang yang tidak mengerti seni berbicara atau keindahan koleksi topi buah."
Arlen kemudian duduk secara acak di lantainya yang penuh dengan tanah dan tanaman merambat. Mengeluarkan kue kering dari sakunya dan memakannya dengan santai.
"Tidak apa-apa, hantu-hantu pemalu,"
Arlen berkata seolah menenangkan anak kecil yang menangis setelah secara tidak sengaja menjatuhkan vas bunga.
"Aku akan menunggu di sini sampai kau siap menerimaku. Sambil menunggu, aku akan menceritakan sebuah kisah dari buku 'Rahasia topi: bagaimana topi mengendalikan pikiran para bangsawan' yang aku dapatkan kemarin lusa. "
Tiga jam adalah waktu yang lama, begitupun bagi ikan mas yang mungkin telah mengganti ingatan untuk beberapa putaran. Tapi Arlen saat ini, telah mengoceh selama tiga jam tanpa henti, moncongnya bahkan lebih menyebalkan ketimbang anak yang baru mengenal umpatan kasar.
Suara Arlen perlahan memudar, seperti lilin yang perlahan redup, ia menatap pintu yang masih tertutup rapat dengan ekspresi kekecewaan yang mendalam.
Keheningan kemudian menyelimuti, setelah Arlen menyerah untuk berbicara. Udara terasa lebih berat sekarang, seolah ruangan itu menyerap semua kata-katanya tanpa memberi balasan.
"Sungguh mengecewakan."
Arlen mendesah sembari menyikat remah-remah kue kering dari jubah biru tuanya yang lusuh.
"Hantu-hantu ini jelas tidak menghargai seni bercerita. Atau mungkin … mungkin …. Apakah mereka tuli? Oh, betapa tragisnya!"
Ia kemudian berdiri, dan merentangkan tubuhnya yang kaku, terutama bokongnya yang terasa kebas. Matanya kemudian mengamati lantai dua manor, di mana sebuah balkon kecil tampak menggiurkan.
"Hm, rencana B."
Dia membuat ekspresi serius pada rencana yang tidak ia rencanakan, menarik tangannya dengan tegas dan kemudian mencabut salah sehelai rambutnya.
"Operasi penyelundupan rambut."
Ia memegang sehelai rambutnya yang panjang dan berwarna hitam. Konsentrasi yang sangat mencengangkan dituangkan. Angin sejuk berdesir dan burung-burung dengan kicauan menganggu, bernyanyi, tetapi rambut yang diharapkan memanjang untuk mencapai balkon tersebut tidak terjadi.
"Sialan, rambut pemberontak!"
Arlen menggerutu, ia melepaskan pegangannya dengan kesal.
"Kau memilih waktu yang salah untuk mogok kerja!"
Pada akhirnya Arlen mengelilingi Manor Tua tersebut dengan dalih mencari hantu pembawa kunci.
Tanpa ia sadari, pintu itu berderit terbuka, seolah ada tangan tak terlihat yang memutar kenopnya.
~
Di tengah kebun yang penuh dengan kehidupan, sebuah gazebo putih berdiri anggun, dikelilingi oleh bunga-bunga yang berkelap-kelip seperti bintang di malam hari. Seorang wanita berambut putih dengan sanggul yang terstruktur, duduk di dalamnya, memegang cangkir teh yang berasap, seolah-olah dia sedang menikmati kehangatan matahari yang mengalir lembut ke dalamnya. Dengan gerakan yang anggun, dia membuka halaman buku sejarah, matanya menari-nari di atas kata-kata.
Di sampingnya, Tala, seorang pelayan yang selalu ceria, muncul seperti sinar matahari yang tidak terduga. Dia membawa aura kebahagiaan yang segar, suaranya meluncur lembut ke telinga Essa.
"Nona Muda."
Suaranya ceria seperti burung-burung kecil yang berkicau di pagi hari,
"Aku mendengar dari tukang kebun bahwa bunga mawar itu akan mekar lebih awal tahun ini! Kau tahu, dia mengklaim bahwa ini adalah tanda musim yang lebih hangat."
Essa, dengan tatapan yang masih terfokus pada buku, hanya tersenyum lembut. Dia menikmati ketenangan yang menyelimuti, namun tidak dapat sepenuhnya mengabaikan ocehan Tala yang terus mengalir seperti sungai yang tidak pernah kering.
"Oh, itu menarik."
Essa menjawab dengan matanya yang masih tenggelam pada halaman-halaman buku.
"Dan juga."
Tala melanjutkan ocehannya seolah bibirnya akan keriput, seperti kanebo kering jika dia diam sejenak.
"Aku melihat Tuan Muda Arlen tadi pagi. Dia berbicara dengan pohon ek tua, kau tahu? Dia terlihat sangat sedih lalu tertawa, sebelum memeluknya selama dua jam penuh."
Essa membalik halaman buku dengan gerakan jari yang nyaris tak terlihat, seolah gerakan yang lebih keras akan mengganggu pikiran yang rapuh di sekitarnya.
"Ah, itu menarik. Sayangku, Arlen, selalu memukau di tempat-tempat di mana manusia normal enggan melakukannya. "
Essa berkata dengan nada seolah memberi komentar pada drama membosankan tentang batu yang bergerak, tapi kemudian dia menghentikan jari-jemarinya saat dia sedikit mengangkat alisnya di bagian 'memeluk pohon selama dua jam penuh.'
"Benar! Tapi kemudian, jejaknya menghilang begitu saja!"
Tala melanjutkan, wajahnya menunjukkan keheranan.
"Sepertinya dia menuju ke arah mansion tua di tengah perkebunan. Kau tahu, rumah hantu yang banyak dibicarakan orang? Itu... agak menakutkan."
Essa menutup bukunya dengan lembut, menaruhnya di sampingnya.
"Oh?"
Essa menyandarkan punggungnya ke sandaran gazebo, menatap Tala dengan senyum tipis yang menyiratkan ketertarikan… atau mungkin dia bosan.
"Ya! Beberapa mengatakan bahwa suara-suara aneh sering terdengar dari sana. Seperti langkah kaki yang berderap, atau bahkan suara tertawa, seperti ada seseorang yang tidak terlihat."
Tala berkata, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan.
"Apa kamu percaya hantu, Tala?"
Essa tanpa melihat Tala, bertanya.
"Hantu, ya? Bukankah hantu itu ada?"
Tala berkedip dengan bingung, ia lalu melanjutkan:
"Mansion tua itu buktinya, karena yang terakhir bersaksi adalah putra Marquis Gummy."
Essa menyesap tehnya dan mengamati bunga-bunga yang bergoyang tertiup angin di kejauhan.
"Tala. Ketika seseorang menghadapi sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan logika atau pengetahuan yang dimilikinya, sering kali ada kebutuhan untuk memberikan makna atau narasi. "
Tala membuka mulutnya, terkejut dengan Nona mudanya yang berbicara sedikit lebih banyak ketimbang kemarin.
"Jadi, maksud Nona... Hantu itu tidak ada??"
Essa tersenyum dan menggelengkan kepalanya, anting-antingnya bergoyang, seperti kaki yang berjalan berjauhan.
"Ya, dan tidak. Apa kamu tahu Residual Energi?"
"Residual Energi?"
Tala mengulang, tampak ragu.
"Ya, residual energi, jejak emosional dari peristiwa-peristiwa intens. Mereka tidak memiliki kesadaran, hanya mengulang momen yang pernah ada."
Essa memejamkan matanya, ketika angin sore yang menyegarkan menyerbu, seolah bertindak seperti pahlawan es di musim panas.
"Peristiwa intens?"
Tala dengan semangat gosip, bertanya dengan mata berbinar.
Essa mengangguk sebagai jawaban.
"Jika itu adalah peristiwa intens. Lalu … apakah tempat itu dulunya adalah sesuatu seperti bencana alam… tragedi, atau mungkin… perang? Hm"
Tala dengan gerakan seorang detektif amatir, mencoba menyimpulkan jawabannya.
"Ah, itu menjelaskan suara-suara aneh yang datang dari sana. "
Tala menepuk tangannya, seolah misteri hilangnya camilan di kulkasnya, akhirnya terpecahkan.
"Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran."
Tala menunjukkan pandangan ragu-ragu.
"Hm."
Essa tidak mengatakan apa pun, tapi itu adalah tanda bahwa dia mengizinkannya untuk melanjutkan.
"Kakek buyutku pernah berkata, sebelum menjadi perkebunan, tempat itu bukanlah perkebunan. Aku tidak tau apakah itu sekedar lelucon, atau hanya untuk membungkamku agar berpikir."
Tala berkata dengan getir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, kakek buyutmu benar, tempat itu dulu… tidak layak ditinggali, bahkan oleh rerumputan."
"kenapa? Apa itu berarti tempat itu menjadi…"
Tala bertanya, tidak tau mengapa dia tidak menyelesaikan kalimatnya, atau mungkin saat ini dia terlalu gugup.
Alih-alih mejawab, Essa memainkan ujung cangkir tehnya. Setelah keheningan singkat, dia berkata:
"Xeoc."
Suaranya serendah bayangan sore yang memanjang.
"Xeoc? apa itu benar? Jika itu benar, lalu bukankah Tuan Muda saat ini …."
Tala berkata tanpa menyembunyikan kekhawatirannya.
"Tidak. Vitalitasnya telah pulih sampai batas tertentu. "
Essa memotong, dan menyangkal kekhawatirannya. Pandangannya kemudian tertarik dengan Wisteria yang tampak kosong di salah satu sisi. Essa mengangkat alisnya dan menatap tajam Tala dengan senyuman, yang tidak mirip dengan senyuman.
"Tala, siapa yang memotong Wisteria milikku?"
Essa bertanya dengan nada yang lebih mirip dengan menanyakan harga pada seorang pedagang.
Wisteria dengan keindahan ungu yang menggantung, meskipun tetap indah, terasa ada yang salah di satu sisi. Essa yang cukup akrab dengan taman bermainnya, secara alami mengenali kesalahan.
"U-um, maaf Nona, aku tidak tahu."
Tala mengerjap, ia menundukkan kepalanya dengan nada yang hampir putus asa, seperti berusaha keras menyembunyikan siapa pun yang bertanggung jawab. Tetapi pipinya yang sedikit memerah seperti seseorang yang baru saja memakan sepotong pai panas dengan terlalu banyak gula, mengisyaratkan ia tahu lebih dari yang diakuinya.
Essa mengetuk pinggiran cangkir tehnya dengan lembut, menciptakan suara detingan kecil yang bergema di antara wisteria yang bergoyang.
"Benarkah? Karena aku cukup yakin seseorang harus bertanggung jawab atas ini…"
Nada suaranya tetap ringan, tetapi matanya mulai memancarkan tatapan tajam yang, jika bisa, mungkin mampu membekukan mentega di bawah matahari musim panas.
"Err... mungkin angin, Nona?"
Tala mencoba, meski kata-katanya lebih terdengar seperti pertanyaan daripada jawaban.
"Angin?"
Essa mengulangnya pelan, nada suaranya menyerupai seorang guru yang mendengar muridnya dengan yakin dan bangga menyebutkan bahwa bunga matahari dapat menyelesaikan masalah apa pun di dunia.
"Angin memang sangat berbakat, Tala. Terutama jika mampu memotong dengan presisi, dan meninggalkan batang sebersih ini. Barangkali kita harus mulai mengupahnya sebagai tukang kebun."
Tala, yang biasanya ceria seperti matahari pagi, kini lebih mirip bayangan kecil yang tersesat di bawah awan tebal. Dia terkekeh gugup, tangannya tanpa sadar meremas ujung rompinya.
"Err… mungkin bukan angin. Mungkin…"
Ia melirik ke arah gazebo seolah berharap jawabannya bersembunyi di sela-sela pilar putihnya.
"kelinci besar?"
Tala mencoba lagi, dengan ekspresi seperti seorang anak yang mencoba meyakinkan ibunya bahwa jejak kue di wajahnya adalah ulah hantu dapur.
"Kelinci besar?"
Essa mengulang dengan nada yang lebih lembut, namun matanya berbinar dengan sesuatu yang menyerupai rasa senang berbahaya.
Nada itu cukup untuk membuat Tala ingin mencari tempat persembunyian di balik bunga-bunga mawar yang sering ia banggakan.
"Ah, tentu saja. Kelinci besar yang memiliki minat mendalam pada seni. Aku lupa bahwa kebun ini adalah tempat magang bagi hewan berbakat."
Tala menelan ludah. Ia tahu, seperti halnya orang tahu bahwa mendekati sarang lebah dengan tangan tongkat dan kue adalah ide buruk, bahwa semakin banyak ia berbicara, semakin sedikit peluangnya untuk keluar dari percakapan ini tanpa luka. Namun, bibirnya tetap saja bergerak, mungkin didorong oleh keberanian yang sama yang membuat tupai menantang burung elang.
"Atau… mungkin Tuan Muda?"
Essa terdiam, sebuah jeda yang terasa seperti dunia berhenti sejenak hanya untuk mendengar napas terakhir Tala.
Essa menatap Tala untuk beberapa detik, hanya untuk membuat Tala merasa gatal dan panas, seperti seekor ulat bulu yang membawa api merayapi setiap inci tubuhnya.
"Arlen."
Essa mengucapkan nama itu dengan nada seperti seseorang yang baru saja menemukan handuk basah yang entah milik siapa di atas ranjangnya.
"Tentu saja. Karena siapa lagi yang akan memiliki kejeniusan untuk mengubah wisteria milikku menjadi… karya seni yang memukau?"
Tala, yang merasa dirinya seperti tikus kecil di hadapan kucing yang baru saja mengasah cakarnya, mencoba memberikan pembelaan.
"Mungkin dia punya alasan, Nona."
Essa mendekat, membuat Tala mundur satu langkah.
"Alasan?"
Essa bertanya dengan senyum tipis yang sama hangatnya dengan ujung pedang dingin.
"Ah, tentu. Mungkin dia sedang meneliti bagaimana tanaman merespons trauma, atau mungkin dia sedang mencari ilham untuk dekorasi pesta berikutnya. Apapun itu, Tala, aku yakin itu sangat…"
Ia berhenti sejenak, menatap wisteria yang terpotong.
"…cerdas."
Tala tertawa kecil, meski nadanya terdengar lebih seperti cegukan daripada tawa.
"Sangat cerdas, ya, Nona. Tentu."
Essa menghela napas, lalu kembali ke kursinya, seolah kelelahan hanya karena harus mendengar pembelaan yang begitu menyedihkan. Ia mengambil cangkir tehnya lagi, lalu berbicara dengan nada yang sangat santai, hampir seolah tidak peduli.
"Kalau begitu, beri tahu Arlen. Jika dia ingin memotong wisteria lagi, setidaknya pastikan dia memotongnya dengan gaya. Dan jangan lupa…"
Matanya kembali menatap Tala dengan kilatan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih tipis.
"…beri tahu dia, bunga itu akan dibebankan ke rekeningnya."
Tala mengangguk cepat, begitu cepat sehingga lehernya hampir seperti kepala burung pelatuk yang sibuk bekerja.
"A-akan kusampaikan, Nona!"
"Bagus,"
Essa menjawab, menyesap tehnya dan mengangguk.
"Dan jangan lupa, Tala. Jika kau bertemu kelinci berbakat itu, kirimkan undangan resmi untuk menjadi tamu kehormatan makan malam kita."
Tala hanya bisa mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lemah, yang mengisyaratkan bahwa Energinya sudah cukup terkuras seperti bendungan besar yang berlubang.
Setelah kepergian Tala, Essa mengotak-atik sebuah bola kecil yang entah dari mana ia dapatkan.
Ia terdiam sejenak, ketika alisnya terkulai lembut.