Arlen melintasi ambang batas antara cahaya dan kegelapan, tidak melalui pintu yang terus mempertahankan kesombongannya, melainkan melalui jendela yang dengan murah hati menyerahkan kacanya untuk kepentingan ilmiah. Kaca yang pecah, bagaikan senyum yang retak, membiarkan Arlen memasuki rumah tua yang kini, menurut proklamasi satu orang, telah menjadi miliknya.
"Hm, ah, udara masa lalu."
Arlen menghirup udara dengan sukacita, menikmati debu-debu yang menghiasi ruangan.
Dia melangkah dengan anggun, seolah karpet merah terbentang di jalan yang akan dilaluinya.
"Selamat siang, penghuni baru... atau lama. "
Arlen menyapa ruangan kosong dengan suara yang menggema, seolah-olah dia berada di dalam gua. Matanya berkelana, mengamati lukisan-lukisan tua yang tergantung di dinding, wajah-wajah serius yang tampaknya sedang mempertimbangkan keputusan untuk tersenyum atau tidak.
"Aku harap kalian semua tidak keberatan dengan dekorasi baru. Aku berencana menggantikan semua ini dengan koleksi topi-topi milikku yang langka."
Arlen berkata sambil mendekati sebuah lukisan perempuan muda dengan gaun abad pertengahan.
"Kau, misalnya, Nyonya..."
Arlen merenung dan membaca plakat di bawah lukisan.
"Um… Whawa? Aku pikir kau akan sangat cantik dengan topi piramida nanas. Apa pendapatmu?"
Suara Arlen bergema tanpa jawaban, dia terus mengobrol seperti seorang pembawa acara yang hanya dia sendiri yang tau penontonnya.
"Aku juga berpikir untuk mengadakan sebuah pesta perkenalan. Mungkin dengan tema 'Hantu dan Topi'. Aku yakin kalian semua akan menyukainya."
Langkah-langkahnya membawanya lebih dalam ke dalam Mansion, melewati ruangan-ruangan yang penuh dengan debu dan kenangan.
"Aku bertanya-tanya, apakah hantu-hantu di sini sudah membaca 'Panduan Menakut-nakuti Manusia untuk Pemula sampai Menengah'? Aku tidak ingin kalian semua merasa tidak siap untuk kedatanganku."
Arlen berkata sambil memandangi tangga yang menuju ke lantai dua, tempat suara-suara aneh terdengar seperti bisikan-bisikan orang yang sedang membaca buku dengan suara pelan, atau mungkin hanya siulan angin.
Tiba-tiba, sebuah benda jatuh dari atas, menghantam lantai dengan suara yang keras. Arlen berbalik dan matanya berbinar dengan semangat yang mengintimidasi.
"Ah, aku lihat kalian semua sudah mulai membaca bab tentang 'Menggunakan Suara dan Benda untuk Menciptakan Kegelisahan'. Bagus! Aku senang melihat kalian semua begitu antusias."
Dengan langkah-langkah ringan, Arlen mulai mendaki tangga, meninggalkan jejak debu di belakangnya seperti jejak-jejak kaki di salju.
"Aku harap kalian semua siap untuk sesi tanya jawab setelah ini. Aku memiliki beberapa pertanyaan tentang strategi menakut-nakuti yang efektif... dan mungkin beberapa pertanyaan tentang dekorasi nterior juga."
Lantai di bawah kaki Arlen berderak seperti kerupuk yang diinjak gajah raksasa yang sedang belajar menari. Debu beterbangan, membentuk konstelasi dadakan yang hanya Arlen yang bisa menguraikan artinya. Jubahnya, yang warnanya mungkin pernah biru tua, kini lebih mirip kanvas abstrak yang dilukis oleh segerombolan ngengat dengan hobi, yang nampaknya tidak berkaitan dengan seni. Arlen sendiri melompat-lompat kecil, seolah menghindari ubin lantai yang ia curigai sebagai portal menuju dimensi tempat para kudanil belajar diet.
"Kurasa hantu-hantu ini pemalu."
Arlen bergumam, suaranya bergema di ruangan luas yang dihiasi permadani usang dan potret-potret yang nampaknya menatapnya dengan tatapan bosan.
"Mungkin mereka perlu sedikit dorongan."
Ia berhenti sejenak, matanya tertuju pada setumpuk buku tua yang bertengger genting di tepi meja.
"Eureka!"
Arlen menjerit, ia meraih buku tebal berjudul "Sejarah Singkat Keju Bulan" dengan sampul yang tampak seperti telah dikunyah tikus raksasa.
"Ini dia! Musik pengantar tidur yang sempurna untuk arwah-arwah pemalu!"
Dengan buku di tangannya, Arlen mulai melantunkan syair-syair aneh tentang fermentasi keju bulan di bawah sinar bintang ganda. Suaranya, yang biasanya ceria, kini terdengar seperti nyanyian duka seekor kodok yang kehilangan pasangan dansanya. Ia melangkah ke kiri, ke kanan, sesekali berputar-putar dengan buku diangkat tinggi-tinggi, seolah sedang memimpin ritual pemanggilan makhluk astral.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa memecah konser dadakan Arlen. Tala, pelayan pribadinya, muncul di ambang pintu dengan wajah yang lebih pucat dari susu basi.
"Tuan Muda!"
Tala memanggil, napasnya terengah-engah seperti anjing kecil yang baru saja mengejar kereta kuda.
"Nona Muda... Nona muda menyuruhku untuk memintamu … makan malam!"
Sebelum Arlen sempat menyapa, Tala menyampaikannya dengan sedikit ketakutan di antara napasnya yang terengah-engah.
Arlen menurunkan buku "Sejarah Singkat Keju Bulan" dengan ekspresi kecewa.
"Oh, sayang sekali."
Arlen, bahunya terkulai, seperti seekor anjing yang tersesat di tengah hujan.
"Hantu-hantu ini sepertinya tidak menghargai musik berkualitas. Mungkin mereka lebih suka opera sabun tentang kehidupan cinta para musang."
"Bukan itu, Tuan Muda!"
Tala berusaha menjelaskan, menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan yang lebih mirip dengan kain lap.
"Nona Essa mengundangmu makan malam. Dia sepertinya terlihat … khawatir."
Arlen menatap Tala dengan tatapan bingung.
"Khawatir? Tapi aku baik-baik saja! Hantu-hantu ini cukup ramah, meskipun mereka sedikit tidak sopan dan pendiam. Aku bahkan berpikir untuk mengajari mereka menunggang kuda."
"Tapi… tapi …. Oh iya, itu …. Wisteria, Tuan Muda,"
Tala mengingatkan dengan hati-hati.
"Nona Essa ingin membahas masalah wisteria yang... dipangkas."
Arlen mengerutkan kening, dahinya berkerut seperti burung hantu yang memikirkan teka-teki semesta.
"Ah, ya! Wisteria itu! Aku sedang bereksperimen dengan teori baru tentang bagaimana tanaman merespons musik. Kupikir wisteria itu akan menyukai lantunan piano, tapi ternyata... mereka seperti lebih suka terompet."
Tala menggelengkan kepala pelan, menyadari bahwa mencoba memperdebatkannya hanya menghabiskan detik-detik untuk kesia-siaan.
"Baiklah, Tuan Muda,"
Tala berkata tanpa menyembunyikan kepasrahan yang jelas di matanya.
"Mari kita pulang sebelum Nona … memikirkan sesuatu yang buruk daripada sekedar mengirimku."
Arlen mengangguk, mengambil buku "Sejarah Singkat Keju Bulan" dan menyelipkannya di balik jubahnya.
"Baiklah, kalau begitu. Kita pergi. Tapi aku ingin mengucapkan salam perpisahan pada Hantu-hantu yang akan merindukanku di perjalanan."
Begitulah awal dari sebuah acara perpisahan dadakan yang melibatkan topi pesta, rumput laut, dan Glitter. Di antara kemegahan dan keabsurdan, Tala bernyanyi dengan tatapan kosong dan air mata yang telah mengering.
~
Dua orang muncul dari udara tipis, ajaib seperti kelinci yang ditemukan di dalam topi pesulap.
Kehadiran mereka yang begitu berat sehingga menggetarkan lingkungan, seolah-olah tempat itu rapuh dan tidak mampu untuk menampung sosok mereka.
"Apa kamu melihatnya?"
Seseorang mengatakannya, hampir seolah berbisik, suaranya menggetarkan lingkungan, debu-debu yang telah lama mengendap pada benda-benda sekitarnya berjatuhan, hampir seolah sekawanan gajah menyerbu tempat itu.
"Mataku selalu terbuka."
Pria berjubah di belakangnya, menjawab, saat ia mengeluarkan udara dengan keras melalui lubang hidungnya.
"Tidak, maaf. Kupikir kamu sedang menulis puisi untuk Nyonya Avell."
Pria berambut pirang itu tersenyum saat ia mengakui kesalahannya.
"Ekhem."
Pria berjubah itu berdehem dengan malu. Untuk melarikan diri, dia kemudian bertanya.
"Ada apa?"
Pria berambut pirang itu berbalik dan memandangnya dengan skeptis, sorot matanya seolah melihat sekelompok beruang bertelur. Jika pria berjubah itu tau, lantas mengapa bertanya? Mungkin itulah yang pria di depannya pikirkan.
"Tidak, hanya bercanda."
Sebelum pria pirang itu berkata, pria berjubah itu melanjutkan.
Tetapi alih-alih tertawa, pria pirang itu hanya menatap tanpa ekspresi.
Keheningan kemudian menggantung di udara, berat dan kental seperti sirup, membuat pria berjubah itu merasa seolah-olah setiap napasnya dipantau oleh mata-mata tak terlihat.
"E-ekhem, bukankah Tuan Muda mengambilnya?"
Pria berjubah itu memalingkan wajahnya, seolah tanaman merambat yang ia lihat dapat membantunya menutupi rasa malu.
Pria dengan rambut pirang itu terdiam sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya pada sebuah lantai di area tertentu yang cukup kosong, nampak seperti lukisan yang hilang setelah menempel di dinding cukup lama.
"Ya."
Pria pirang itu mengangguk.
"Aku tidak tahu mengapa Tuan Muda mengambilnya."
Dia mengusap dagunya yang tidak tumbuh dengan janggut.
Pria berjubah itu, yang telah mendapatkan kembali keseriusannya, berkata:
"Mungkin karena warnanya yang menarik?"
Pria pirang itu kembali menatapnya, ketikaa pria berjubah dengan gugup menelan ludah. Pria di depannya mengangguk.
"Itu mungkin saja."
Pria berjubah itu menghela nafas, ia kemudian melangkah dengan mantap ke sampingnya, seperti seorang jenderal yang menyelidiki situasi di medang perang. Seolah detik-detik memalukan sebelumnya hanyalah ilusi.
"Tapi ini aneh… ini, seperti mencoba mencari kepiting berbikini di lautan pakaian dalam. "
Pria berjubah itu mengamati area yang berbeda, seperti sesuatu yang biasanya telah ada di sana, lalu menghilang.
"Meskipun bunga itu memiliki warna yang menarik, ia tidak memiliki manfaat apapun selain memulihkan Xeoc. Juga, kudengar bunga itu sangat berbahaya jika disentuh."
Pria berjubah itu mengusap area yang kosong di bawanya.
"Setelah kamu mengatakannya ….itu agak mencurigakan, Tuan Muda tidak akan bermain-main dengan nyawa, dan masalah terbesarnya bunga itu akan layu jika keluar dari lingkup pengaruh Xeoc."
Pria pirang itu menyilangkan tangannya dengan membuat ekspresi berpikir.
"Ya, dan setelah mendapatkannya, Tuan Muda kemudian pergi setelah seorang pelayan menjemputnya. Aku merasa ada yang hilang … ini … seperti melihat seekor ular yang berlari. "
"Ada yang hilang?"
Pria berjubah itu mengangguk.
"Benar, seperti seharusnya, dia … dia… membuat cukup kekacauan atau bahkan 'menghias' tempat ini untuk membuat tupai-tupai bertepuk tangan. Bagaimanapun ini adalah tambang emas baginya."
Pria itu terdiam sejenak lalu berkata:
"Jadi maksudmu, dia jauh-jauh ke tempat ini hanya untuk memetik bunga?"
Pria berjubah itu berdiri dan mengibaskan tangannya pada jubah yang tidak kotor.
"Entahlah, mungkin aku hanya berpikir berlebih-"
Seketika, kedua pria tersebut menatap langit-langit secara bersamaan. Mata mereka melebar, pupil mereka mengecil seperti titik-titik tinta di atas kertas perkamen, sementara keringat dingin menetes dari dahi mereka, tetesan-tetesan yang seolah berlomba untuk melihat siapa yang lebih dulu mencapai lantai.
Keheningan kemudian terjadi selanjutnya, seolah dunia menahan napas, sesuatu yang tidak mereka ketahui seperti mencoba mengaduk-aduk arus tak terlihat.
Perasaan yang menyerbu mereka begitu singkat, tapi bulu kuduk mereka yang berdiri tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk.
Mereka tidak berani untuk mencoba menurunkan kewaspadaan, jantung mereka seperti dicengkeram oleh tangan dingin yang selalu siap untuk meremasnya.
Setelah lebih dari lima detik dalam posisi siaga, tidak ada apapun yang terjadi. Jika ini adalah sebuah pertunjukan, mungkin mereka akan merasa malu karena gerakan yang begitu heboh untuk sesuatu yang tidak ada. Beruntungnya, hanya ada tanaman, lumut dan dinding yang retak yang menonton.
"Tempat ini begitu aneh."
Pria berjubah itu mengusap keringat dingin di dahinya.
"Ya, kupikir kita sebaiknya pergi dan melaporkan ini pada Tuan Deka."
Pria pirang itu menyarungkan pedangnya yang sebelumnya mengacung dengan berani ke udara kosong.
"Yah, bagaimanapun, dia yang akan memutuskan."
Begitulah, keduanya kemudian menghilang, hanya meninggalkan jejak kaki di salju atau mungkin tepatnya debu dan lumut.
Mansion tua itu mendapatkan kembali kedamaiannya. Jika dia adalah manusia, mungkin saat ini telah menghela nafas pada tamu-tamu tak diundang yang telah menggerogoti stok kuenya.
Atau mungkin tidak.
Setelah kepergian mereka, Geraman rendah seolah berada di dalam air terdengar, suaranya seperti singa dari jurang kegelapan yang kelaparan selama berabad-abad, geramannya mengguncang Mansion dan merobohkan dinding dan rak-rak buku yang tidak bersalah.