Adelia berjalan dengan langkah terburu-buru di trotoar kota yang ramai, matanya terpaku pada layar ponsel yang menunjukkan pesan baru dari Elara. Seperti biasa, Elara selalu tahu cara membuat Adelia sedikit lebih tenang di tengah kecemasannya.
> Elara: "Jangan lupa makan siang ya, Adelia. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."
Adelia tersenyum tipis, meskipun dia tahu pesan itu hanya pengingat kecil untuk dirinya yang sering kali tenggelam dalam pekerjaan dan rasa cemas. Seperti yang selalu dirasakannya-dia merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan, seakan tak ada yang benar-benar mengerti dirinya. Perasaan itu datang begitu sering, dan semakin lama, ia semakin sulit untuk mengusirnya.
Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan lamunan Adelia. Refleks, ia melangkah mundur, namun tak cukup cepat. Kakinya tersandung trotoar yang sedikit rusak, tubuhnya oleng, dan sebelum ia sempat menyeimbangkan diri, seseorang meraih lengannya dan menariknya ke arah yang aman.
"Hey, hati-hati," suara itu terdengar dalam dan sedikit tegas, tetapi juga ada kehangatan yang aneh. Adelia menoleh dengan cepat, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar.
Di depannya berdiri seorang pemuda dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan, wajahnya serius namun penuh ketajaman. Matanya, cokelat gelap, menatapnya dengan intens. Mungkin ini adalah pandangan yang paling menenangkan dan paling menakutkan yang pernah ia rasakan dalam hidupnya. Sebuah perasaan aneh menyelimuti dirinya-perasaan yang ia tidak bisa jelaskan.
"Terima kasih..." kata Adelia terbata, berusaha menenangkan diri.
Pemuda itu hanya mengangguk, namun ekspresinya tetap datar. "Hati-hati lain kali. Dunia ini tak selalu memberi tanda."
Adelia hanya bisa terdiam, menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke tanah. Ada sesuatu dalam tatapan mata pemuda itu yang membuatnya merasa lebih tertekan, lebih bingung-sebuah kedalaman yang sulit untuk dimengerti.
"Saya Raven," katanya, memperkenalkan diri, namun masih dengan cara yang sangat hati-hati, seakan tidak ingin Adelia terlalu dekat.
Adelia mengangguk, mencoba untuk tidak terlalu merasakan beban perasaan yang membebani hatinya. "Adelia."
Mereka berdiri dalam keheningan yang canggung, sebelum Raven akhirnya menarik napas panjang. "Kamu sepertinya perlu lebih banyak berhati-hati, Adelia. Tidak semua orang di luar sana ingin membantu."
Adelia terkejut dengan kata-katanya. "Apa maksudmu?" tanyanya, tanpa bisa menahan rasa ingin tahunya.
Raven hanya memandangnya dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. "Beberapa orang datang ke dalam hidupmu bukan untuk memberi kebahagiaan, Adelia. Tapi untuk mengubah semuanya."
Adelia merasa ada sesuatu yang ganjil, tetapi ia hanya bisa mengangguk. "Terima kasih lagi."
Raven melangkah mundur, menatapnya sekali lagi dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kita akan bertemu lagi," katanya, sebelum menghilang begitu saja di keramaian.
Adelia berdiri terpaku, perasaan aneh yang masih menghantuinya. Apa maksudnya dengan kata-kata itu? Dan mengapa, meskipun baru pertama kali bertemu, perasaan itu terasa begitu familiar?
Adelia hanya bisa menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir kecemasan yang mulai merayap. Tapi saat itu, ia tak bisa menepis perasaan bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar-sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.