Setelah keputusan besar, Raya terbangun di tengah malam. Suara angin yang berhembus ke dalam kamar terasa lebih dingin dari biasanya, menyelinap melalui celah-celah jendela yang rapuh. Namun, ada sesuatu yang lebih janggal malam itu. Sesuatu yang tak bisa dia jelaskan, sesuatu yang menuntut perhatian. Raya duduk di tempat tidur, menatap langit yang tak tampak dari jendela, hanya kegelapan yang kosong. Tapi dalam kegelapan itu, dia bisa merasakan ada yang mengawasinya.
Ketika matanya mulai terpejam, sebuah suara lembut menggema di pikirannya. "Raya... kamu harus mencari jawabannya. Jangan biarkan dunia ini tetap terperangkap dalam kegelapan."
Raya membuka matanya dengan cepat, hampir panik. Ia menatap ruangan gelap di sekelilingnya, namun tak ada siapa pun. Hanya ada kesunyian yang pekat. Napasnya terengah-engah, dan dadanya terasa sesak. Itu hanya mimpi, pikirnya. Tapi kenapa rasanya begitu nyata?
Namun, sebelum dia bisa memikirkannya lebih jauh, matanya kembali terpejam, dan sebuah gambar samar mulai muncul di dalam pikirannya. Sebuah langit yang biru cerah, dengan awan putih yang bergerak perlahan. Pemandangan itu begitu memukau, begitu berbeda dengan langit kelabu yang selalu menghiasi desa Kabu. Raya bisa merasakan ketenangan dalam pemandangan itu, seolah langit yang hilang itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Namun, seiring gambar itu semakin jelas, sosok bayangan mulai muncul, berdiri di tengah langit biru. Sosok itu mengenakan jubah gelap dan wajahnya samar-samar, seperti sebuah siluet yang tak bisa dikenali.
"Raya... kamu akan menemui jalan yang sulit. Langit itu adalah kunci, dan kamu adalah satu-satunya yang bisa membukanya," suara itu terdengar lagi, kali ini lebih kuat dan lebih mendalam, seperti gema dari masa lalu yang jauh.
Raya terbangun dengan kaget. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia duduk terengah-engah di atas tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. "Apa itu tadi? Siapa yang berbicara padaku?" gumamnya, matanya berkeliling mencari jawaban. Namun, tak ada yang bisa memberinya penjelasan. Hanya hening yang terus menyelimuti desa.
Raya tahu, itu bukan mimpi biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang perlu diungkapkan. Tetapi dia merasa ragu. Siapa yang ingin berbicara dengannya tentang langit yang hilang? Dan kenapa hanya dia yang mendengarnya?
---
Persiapan Awal
Pagi hari tiba, dan meski langit tetap kelabu, hati Raya terasa berat. Dia sudah memutuskan untuk pergi, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa melakukannya sendirian. Mimpi itu terus mengganggunya, suara itu berulang kali berbisik dalam pikirannya, mengingatkannya bahwa langit yang hilang bukan hanya sekadar kegelapan—itu adalah kunci. Kunci untuk mengubah dunia ini.
Raya memutuskan untuk bertemu dengan Eka, sahabatnya. Tetapi sebelum itu, ia harus menghadap keluarganya.
Sesampainya di rumah, Raya mendapati ibunya sedang sibuk mempersiapkan sarapan di dapur, sementara ayahnya duduk di meja makan, membaca koran. Wajah mereka tampak tenang, namun Raya tahu bahwa hari ini akan berbeda. Ia harus mengungkapkan sesuatu yang besar.
"Ibu, Ayah," Raya memulai dengan hati-hati. "Aku... ingin pergi. Ke luar desa."
Ibunya berhenti sejenak, tatapannya mengeras. "Ke luar desa? Ada apa, Raya? Kenapa tiba-tiba?"
Raya merasa gugup, tapi ia tahu dia harus jujur. "Aku... aku harus mencari tahu lebih banyak tentang langit yang hilang. Aku merasa ada yang harus aku lakukan. Ini bukan hal yang bisa aku abaikan lagi."
Ayahnya menurunkan korannya dan menatap Raya dengan serius. "Langit yang hilang? Apa yang kamu maksudkan dengan itu? Kamu tahu kita sudah hidup tanpa langit seperti itu sejak lama, bukan?"
Raya menggigit bibirnya. "Tapi ini bukan hanya soal langit. Ini soal sesuatu yang lebih besar. Aku mendengar suara dalam mimpiku, Ayah. Suara itu mengatakan aku bisa mengubahnya. Aku harus mencari tahu kebenarannya."
Ibunya mendekat, menggenggam tangan Raya. "Raya, kamu baru berusia 16 tahun. Ini bukan perjalanan yang bisa kamu lakukan sendirian. Ada banyak bahaya di luar sana."
"Aku tidak bisa hanya duduk diam," jawab Raya, dengan tekad yang sudah membara dalam dirinya. "Aku perlu pergi."
Ayahnya tampak berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kamu mungkin benar, ada banyak yang belum kita ketahui tentang desa ini. Tapi ini bukan perjalanan yang bisa kamu lakukan dengan sembarangan." Ia melihat ibunya sejenak, lalu kembali pada Raya. "Kalau kamu benar-benar ingin pergi, kamu harus pergi dengan persiapan yang matang. Kami tidak akan membiarkanmu pergi tanpa mengetahui apa yang akan kamu hadapi."
Raya terkejut. "Kalian... mengizinkan aku pergi?"
Ibunya menyeka peluh dari dahinya dan mengangguk pelan. "Kami tidak akan menahannya, tetapi kami ingin kamu siap. Ini bukan perjalanan sehari. Kamu butuh persiapan yang matang."
Raya mengangguk, rasa terima kasih mengalir dalam dirinya. "Terima kasih, Bu."
Setelah itu, Raya pergi menemui Eka, sahabatnya yang sudah menunggu di taman kecil desa. Mereka berdua segera mulai merencanakan apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan perjalanan panjang ini.
---
Mencari Petunjuk
Pagi itu, Raya dan Eka menuju rumah Pak Gana, tetua desa yang paling banyak mengetahui sejarah kuno desa mereka. Rumah Pak Gana terletak di ujung desa, jauh dari keramaian, di antara pohon-pohon tua yang tampak seperti menjaga rahasia-rahasia lama. Mereka tiba di rumah Pak Gana yang terlihat lebih sunyi dari biasanya, dan ketika mereka mengetuk pintu, Pak Gana membuka pintu dengan wajah serius.
"Pak Gana, kami butuh bantuanmu," kata Raya dengan tegas.
Pak Gana menatap mereka dengan pandangan tajam. "Apa yang kalian cari?" tanyanya, suaranya terdengar berat, penuh keraguan.
Raya dan Eka saling bertukar pandang. "Kami ingin tahu lebih banyak tentang langit yang hilang. Kami merasa itu ada hubungannya dengan apa yang terjadi di desa ini. Kami butuh informasi lebih, Pak."
Pak Gana mengerutkan kening, matanya menyelidik. "Langit yang hilang? Kalian berdua masih muda, apa yang kalian tahu tentang hal itu?" Ia berdiri lebih tegap, seolah menilai niat mereka. "Banyak orang yang telah mencoba mencari jawaban, dan mereka tidak kembali dengan kebaikan. Ini bukan hal yang bisa kalian anggap remeh. Banyak yang lebih baik tidak tahu apa-apa tentang hal ini."
Raya merasa gugup, tapi dia tahu dia harus meyakinkan Pak Gana. "Pak Gana, kami sudah memutuskan. Kami tidak bisa tinggal diam. Kami perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang bisa kami lakukan untuk menemukan jawaban?"
Pak Gana masih ragu, menatap mereka dengan ketajaman yang luar biasa. "Ini bukan perjalanan biasa. Banyak yang menganggap langit itu sudah hilang, dan sudah seharusnya dilupakan. Kalau kalian benar-benar berniat melanjutkan pencarian ini, kalian harus siap menghadapi bahaya yang lebih besar dari apa yang kalian bayangkan."
Eka hampir menyerah, tapi Raya tidak mundur. "Kami siap, Pak Gana. Tolong beri kami petunjuk. Apa yang harus kami lakukan?"
Pak Gana menghela napas panjang dan akhirnya berkata, "Kalau begitu, kalian harus mencari buku ini." Ia mengeluarkan sebuah buku tua yang terlihat sudah sangat usang. "Buku ini berisi banyak pengetahuan tentang sejarah desa ini, termasuk tentang langit yang hilang. Tapi hati-hati. Tidak semua yang ada di dalam buku itu mudah dipahami, dan mungkin lebih berbahaya daripada yang kalian kira."
Raya dan Eka menerima buku itu dengan hati-hati. "Terima kasih, Pak Gana. Kami akan berhati-hati."
Pak Gana menatap mereka dengan pandangan penuh kekhawatiran, tapi akhirnya ia mengangguk. "Ingat, kalian bukan hanya mencari langit. Ada sesuatu yang lebih gelap di luar sana. Dan jika kalian terlalu jauh, tidak ada yang bisa menolong."
---
Malam tiba, dan Raya dan Eka akhirnya bersiap untuk berangkat. Mereka telah mengemas barang-barang penting—kompas, pisau, beberapa makanan kering, dan tentu saja buku dan peta yang mereka peroleh. Ibunya memberikan pakaian hangat dan perlengkapan tambahan, sementara ayahnya memberikan beberapa petuah terakhir.
"Apa pun yang terjadi, kalian harus tetap bersama," pesan ayah Raya. "Ini bukan hanya tentang langit, tetapi tentang kekuatan yang lebih besar yang mungkin tidak kalian pahami."
Raya mengangguk, merasa semakin yakin dengan keputusannya. Setelah berpamitan dengan keluarga, mereka berjalan menuju batas desa, memulai perjalanan panjang yang tak bisa mereka prediksi.
---