Raya dan Eka melangkah semakin dalam ke dalam gua. Suara langkah kaki mereka terdengar menggema, menciptakan irama yang membuat suasana semakin tegang. Lampu senter yang mereka bawa hanya menerangi sebagian kecil dari lorong sempit itu, sementara bayangan dinding batu tampak bergerak seolah menari dalam kegelapan.
"Raya," bisik Eka dengan nada gemetar, "kenapa gua ini terasa begitu... hidup? Seperti ada yang mengawasi kita."
Raya menggenggam senter di tangannya lebih erat. "Aku juga merasakannya, Eka. Tapi kita tidak bisa mundur. Kita harus tahu apa yang tersembunyi di sini."
Langkah mereka terhenti ketika mereka tiba di sebuah ruangan besar. Ruangan itu tampak seperti sebuah aula tua yang telah lama terlupakan. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran simbol-simbol kuno yang bercahaya samar dalam gelap. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu yang terlihat rapuh dengan usia, dikelilingi oleh patung-patung yang tampak seperti penjaga.
"Apa ini?" tanya Eka, suaranya hampir berbisik. Ia menatap altar itu dengan perasaan ngeri dan kagum.
"Sepertinya... ini adalah tempat penting," jawab Raya sambil melangkah mendekat. Dia menyinari altar itu dengan senter, dan di sana terdapat ukiran berbentuk lingkaran dengan tulisan kuno yang tidak bisa mereka baca.
Ketika Raya menyentuh altar itu, tiba-tiba udara di sekitar mereka berubah. Rasanya lebih dingin, dan angin lembut mulai berhembus dari arah yang tak terlihat.
"Raya, jangan sentuh apa pun!" Eka memperingatkan, menarik lengan Raya dengan cemas.
Namun, terlambat. Sebuah suara berat menggema dari dinding-dinding gua, seperti bisikan ribuan suara sekaligus.
"Siapa yang berani menginjakkan kaki di tanah ini?"
Raya dan Eka terdiam, tubuh mereka membeku oleh rasa takut.
Suara itu menggema semakin keras, seperti ribuan orang berbicara dalam satu nada yang berat dan menakutkan. Eka mencengkeram lengan Raya erat-erat, matanya penuh ketakutan.
"Jawab aku, manusia!" suara itu kembali menggema, membuat batu-batu di sekitar mereka bergetar.
"Siapa... siapa kau?" Raya memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar gemetar.
Keheningan singkat mengikuti pertanyaan itu, sebelum bayangan di dinding gua mulai bergerak. Dari salah satu sudut gelap, sosok kabur perlahan muncul. Itu bukan manusia—tubuhnya tinggi, ramping, dan tampak terbuat dari asap pekat yang bergerak tanpa henti. Dua cahaya merah menyala muncul, tampak seperti mata, menatap mereka dengan intens.
"Aku adalah penjaga. Aku adalah bayangan yang ditinggalkan oleh para leluhur yang kau cari. Ini adalah tanah terlarang, tempat rahasia langit tersembunyi. Apa hakmu untuk berada di sini?"
Raya menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Kami mencari jawaban. Langit kami menghilang, dan kami tahu leluhur kami terlibat. Kami hanya ingin memperbaikinya."
Sosok itu tertawa, suara tawa yang membuat punggung mereka merinding. "Memperbaiki? Kau pikir kau bisa memperbaiki apa yang telah diputuskan oleh para leluhur? Mereka mengorbankan segalanya untuk melindungi dunia ini dari kehancuran. Apa yang hilang tidak seharusnya ditemukan."
Eka akhirnya angkat bicara, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Tapi... dunia tanpa langit ini... itu salah. Kita semua menderita. Jika para leluhurmu benar-benar ingin melindungi dunia, kenapa mereka meninggalkan kita dalam kegelapan?"
Bayangan itu diam sejenak, lalu berbicara dengan suara yang lebih pelan namun tetap mengintimidasi. "Langit bukan sekadar hiasan di atas kepalamu. Ia adalah pintu gerbang, batas antara dunia kalian dan kegelapan abadi. Jika langit terbuka kembali, kau tidak tahu apa yang akan masuk."
Raya meresapi kata-kata itu, tetapi tekadnya tidak goyah. "Kami tidak peduli seberapa besar risikonya. Kami tahu ada jalan untuk mengembalikan keseimbangan tanpa menghancurkan apa pun. Jika kau tahu sesuatu, tolong bantu kami."
Bayangan itu bergerak mendekat, dan suhu ruangan terasa semakin dingin. "Kalian hanya anak-anak. Keberanian kalian adalah kebodohan." Namun, bayangan itu berhenti tepat di depan Raya dan Eka. "Tetapi jika kalian benar-benar ingin melanjutkan perjalanan ini, aku akan memberimu satu petunjuk. Tapi ingat, harga untuk setiap jawaban adalah keberanian kalian. Dan tidak semua jawaban membawa kelegaan."
Bayangan itu menunjuk ke altar, dan lingkaran di atasnya mulai bercahaya. Sebuah peta kuno muncul, bercahaya dalam warna biru lembut. Peta itu menampilkan jalur-jalur yang rumit, melewati berbagai tempat yang tidak dikenal.
"Ini adalah rute menuju Cahaya Terakhir, tempat semua rahasia leluhur terkunci. Tapi di sana, kalian akan menghadapi lebih dari sekadar kegelapan."
Eka menatap peta itu dengan ngeri. "Apa maksudmu... lebih dari kegelapan?"
Bayangan itu tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan perlahan memudar ke dalam kegelapan, menyisakan gema terakhir. "Langit tidak hilang tanpa alasan. Ingat itu."
Keheningan kembali menyelimuti gua. Hanya suara napas berat mereka yang terdengar. Raya mendekati altar dan mencatat peta itu ke dalam buku mereka.
"Kita benar-benar melangkah ke sesuatu yang besar," bisik Eka.
Raya mengangguk. "Tapi kita tidak bisa mundur. Ayo pergi."
Dengan tekad baru, mereka meninggalkan gua itu, membawa peta yang akan menuntun mereka ke perjalanan berikutnya—dan ke rahasia gelap yang mungkin mengubah segalanya.
---