Raven dan Yue Lin melangkah lebih dalam ke lembah, mengikuti jalan berbatu yang kini dihiasi dengan lentera bercahaya biru di sepanjang sisi. Kabut mulai menghilang, digantikan oleh suasana yang terasa hening, hampir mencekam.
"Apa yang dimaksud lelaki tua itu dengan 'menguji hati'?" tanya Yue Lin, suaranya memecah kesunyian.
Raven tidak langsung menjawab. Dia merasakan udara di sekitar mereka menjadi lebih berat, tidak secara fisik, tetapi secara emosional. Seolah-olah ada sesuatu yang menyelidiki pikiran mereka, mencari kelemahan tersembunyi.
"Apapun itu, kita harus siap," jawabnya akhirnya, tombaknya masih erat di tangannya.
Mereka akhirnya tiba di sebuah gerbang besar yang terbuat dari kayu hitam, dihiasi ukiran naga dan burung phoenix. Di atas gerbang itu terdapat tulisan kuno yang memancarkan aura kekuatan: Gerbang Kehidupan dan Kematian.
"Ini tidak terlihat menjanjikan," gumam Yue Lin.
Tiba-tiba, gerbang itu terbuka dengan sendirinya, mengundang mereka masuk ke dalam kegelapan.
"Tidak ada pilihan lain," kata Raven, melangkah masuk terlebih dahulu. Yue Lin mengikutinya, meskipun ragu-ragu.
Di dalam gerbang, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang aneh. Tanahnya berupa pasir putih, dan langitnya gelap tanpa bintang. Di kejauhan, bayangan-bayangan samar mulai muncul, membawa aura yang familiar.
"Raven," kata Yue Lin, menunjuk salah satu bayangan itu. "Mereka... terlihat seperti orang-orang yang kita kenal."
Bayangan pertama yang muncul di depan Raven adalah seorang prajurit muda dari timnya di dunia lamanya. Wajahnya penuh luka, matanya memancarkan kemarahan dan kesedihan.
"Kau meninggalkan kami, Raven," kata bayangan itu dengan suara yang menggema. "Kami mati karena keputusanmu."
Raven terdiam, napasnya menjadi berat. Bayangan itu benar—dia pernah kehilangan anggota timnya dalam misi berbahaya karena kesalahan strateginya. Itu adalah luka yang selalu ia coba lupakan.
"Aku tidak punya pilihan," jawab Raven pelan.
"Tapi kau tidak berjuang cukup keras," balas bayangan itu.
Sementara itu, Yue Lin menghadapi bayangannya sendiri—seorang wanita muda yang terlihat mirip dengan saudara perempuannya. "Kau meninggalkanku, Yue Lin," kata bayangan itu, matanya penuh air mata. "Kau memilih kekuatan daripada keluargamu."
Yue Lin jatuh berlutut, matanya dipenuhi rasa bersalah. "Aku hanya ingin melindungimu," katanya lemah.
Raven menyadari bahwa ini adalah ujian hati yang sebenarnya. Kabut ini tidak hanya mencoba mengungkap kelemahan mereka, tetapi juga memaksa mereka untuk menghadapi rasa bersalah dan penyesalan yang selama ini mereka pendam.
Dia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa mengubah masa lalu," katanya akhirnya. "Tapi aku bisa belajar darinya."
Dia membuka matanya dan menatap bayangan itu dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang lagi. Itu janji prajurit."
Bayangan itu memudar, meninggalkan cahaya biru kecil yang menghilang ke dalam tubuh Raven.
Di sisi lain, Yue Lin juga bangkit dari tanah. "Aku memilih jalan ini karena aku tahu apa yang dipertaruhkan," katanya kepada bayangan itu. "Aku tidak bisa mengubah pilihan yang sudah kuambil, tapi aku akan memastikan pengorbananku tidak sia-sia."
Bayangan itu tersenyum tipis sebelum menghilang, meninggalkan cahaya yang sama.
Saat semua bayangan menghilang, tanah pasir putih itu berubah menjadi lantai batu, dan di depan mereka muncul sebuah pintu besar yang bersinar.
"Sepertinya kita lulus ujian ini," kata Yue Lin dengan nada lega.
"Untuk sekarang," balas Raven, melangkah menuju pintu itu.
Ketika mereka melewati pintu, mereka menemukan diri mereka di tempat yang berbeda. Sebuah aula besar dengan pilar-pilar emas berdiri megah di depan mereka. Di tengah aula itu, terdapat sebuah takhta besar dengan seorang lelaki paruh baya berjubah emas duduk di atasnya.
"Kalian berhasil mencapai aula utama," kata lelaki itu dengan suara menggema. "Tapi perjalanan kalian masih jauh dari selesai. Di sini, hanya yang terkuat dan yang berhati murni yang dapat melanjutkan."
Raven dan Yue Lin bersiap, mengetahui bahwa tantangan yang lebih besar menanti mereka.
Lelaki berjubah emas di atas takhta menatap mereka dengan mata tajam yang seolah-olah menembus jiwa. Aura yang ia pancarkan begitu kuat hingga membuat udara di aula terasa menekan. Yue Lin terlihat sedikit gugup, sementara Raven tetap berdiri tegak, memperhatikan setiap gerakan lelaki itu.
"Aku adalah Penguasa Lembah Jiwa Tersembunyi," kata lelaki itu dengan suara yang menggema di seluruh aula. "Hanya sedikit yang mampu sampai ke tempat ini. Namun, itu bukan berarti kalian layak menerima kekuatan yang tersembunyi di sini."
"Kekuatan?" tanya Yue Lin, tak dapat menahan rasa penasarannya.
Penguasa itu tersenyum tipis, lalu melambaikan tangannya. Di tengah aula, muncul sebuah bola energi bercahaya, berputar dengan perlahan namun memancarkan aura yang luar biasa.
"Di dalam lembah ini terdapat kekuatan yang dapat mengubah hidup siapa pun," katanya. "Namun, hanya mereka yang memiliki keberanian, kecerdasan, dan ketulusan hati yang dapat memilikinya. Ujian terakhir ini akan menentukan apakah kalian layak atau tidak."
Bola energi bercahaya itu mulai membesar, membentuk dua jalan bercabang di depan Raven dan Yue Lin. Jalan pertama tampak dipenuhi emas, permata, dan benda-benda berharga lainnya. Sementara jalan kedua terlihat gelap, kasar, dan penuh rintangan tajam.
"Setiap jalan memiliki konsekuensinya sendiri," kata Penguasa itu. "Yang satu menjanjikan kemudahan dan kekayaan, sementara yang lain penuh dengan penderitaan, tetapi membawa makna yang sejati. Pilihlah."
Yue Lin memandang jalan pertama dengan ragu. "Jalan emas terlihat seperti jebakan," katanya pelan.
"Tapi jalan kedua bisa jadi lebih mematikan," jawab Raven sambil mengamati jalan gelap itu.
Penguasa itu tersenyum. "Pilihan kalian tidak hanya menentukan hasil ujian ini, tetapi juga masa depan kalian."
Tanpa ragu, Raven melangkah menuju jalan gelap. Yue Lin, meskipun sedikit takut, mengikutinya.
Begitu mereka memasuki jalan gelap itu, mereka disambut oleh angin dingin yang membawa suara jeritan. Jalan tersebut penuh dengan rintangan tajam, mulai dari batu yang bergerak sendiri hingga jebakan yang tersembunyi.
Raven menggunakan insting militernya untuk memimpin, menghindari jebakan dan mencari jalan terbaik. Yue Lin, meskipun lelah, mencoba untuk tetap kuat dan mengikuti langkah Raven.
"Ini bukan hanya tentang kekuatan fisik," kata Raven sambil membantu Yue Lin melewati sebuah jurang. "Ini tentang apakah kita bisa tetap maju meskipun semua terasa mustahil."
Mereka terus melangkah hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi cermin. Setiap cermin memantulkan gambar mereka, tetapi dengan wujud yang berbeda—kadang lebih tua, kadang lebih muda, atau bahkan lebih kuat dan lebih lemah.
Raven berhenti di depan salah satu cermin, yang memperlihatkan dirinya sebagai seorang prajurit yang terluka parah namun masih berdiri tegak. Dia menatap bayangan itu dengan mata tajam.
"Apakah ini masa depan yang akan kuhadapi?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Yue Lin juga terdiam di depan cermin yang menunjukkan dirinya sebagai seorang pejuang yang sendirian, tanpa teman atau keluarga. "Apakah ini harga dari kekuatan yang kucari?" gumamnya.
Tiba-tiba, suara Penguasa menggema di ruangan itu. "Cermin-cermin ini menunjukkan apa yang mungkin terjadi. Namun, itu hanya kemungkinan, bukan kepastian. Apa yang kalian lakukan hari ini akan menentukan apakah kalian akan mencapai hasil itu atau tidak."
Raven mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli dengan masa depan yang suram. Aku akan menciptakan jalan sendiri."
Yue Lin mengangguk, mengikuti keberanian Raven. "Aku juga. Aku tidak akan membiarkan bayangan ini menghentikanku."
Ketika mereka melangkah keluar dari ruangan cermin, mereka kembali ke aula utama, di mana Penguasa itu masih duduk di takhtanya.
"Keberanian kalian untuk memilih jalan sulit telah membuktikan hati kalian," katanya. "Namun, itu belum cukup. Ujian terakhir kalian adalah melawanku."
Raven dan Yue Lin terkejut. "Melawanmu?" tanya Yue Lin dengan suara penuh keraguan.
Penguasa itu tersenyum. "Aku tidak akan menggunakan kekuatanku sepenuhnya, tetapi kalian harus menunjukkan bahwa kalian memiliki tekad dan kerja sama untuk melawanku. Jika kalian gagal, maka ini adalah akhir perjalanan kalian."
Dia berdiri dari takhta, aura kuat memancar dari tubuhnya. Di tangannya, sebuah pedang bercahaya muncul, memancarkan Qi yang begitu kuat hingga membuat udara di sekitar terasa bergetar.
"Bersiaplah," katanya, sebelum menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa.