Dentang pintu kereta memekakkan hati. Aku masih berdiri di sana, di ujung peron yang sepi, menatap kereta yang perlahan menjauh. Wajah-wajah asing berlarian tanpa tujuan, namun di tengah keramaian itu, mataku hanya tertuju pada satu sosok—kau. Kepergianmu bukanlah kejutan. Sudah lama aku tahu, jauh di dalam hatiku, bahwa suatu hari kau akan pergi. Namun, kenyataan itu tetap datang dengan cara yang lebih kejam daripada yang bisa kubayangkan.
Hujan yang turun begitu deras di luar, mengaburkan pandanganku. Ketika itu, aku tak bisa memisahkan antara air hujan yang membasahi pipi dan air mata yang perlahan menetes, membasahi wajahku. Rasanya, air mata ini tak perlu lagi dipertanyakan. Aku menangis bukan karena kehilanganmu—setidaknya itu yang ingin kukatakan pada diriku sendiri. Aku menangis karena aku sudah terlalu lama memendam perasaan yang tak pernah diungkapkan. Aku menangis karena aku tahu, meskipun cinta pernah ada di sana, kini hanya ada ruang kosong yang menganga.
Kau selalu pergi begitu saja, dengan senyum manis yang tak pernah bisa kusebut sebagai tanda perpisahan. Seolah tidak ada yang berubah, meski semuanya sudah berubah. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini adalah yang terbaik. Aku sudah terlalu lelah untuk berjuang dalam hubungan yang nyatanya sudah lama mati. Tapi kenapa hati ini tetap tera
sa perih? Kenapa perasaan ini masih saja mengikatku pada kenangan yang semakin pudar?
Kemarin, saat kau pergi, aku sempat bertanya pada diriku sendiri: Apa yang sebenarnya kita miliki? Cinta kita seharusnya tumbuh, seharusnya berkembang menjadi sesuatu yang indah. Dulu, kita menanam benih-benih harapan, merawatnya dengan penuh kasih. Kita berbicara tentang masa depan yang cerah, tentang impian-impian yang akan kita capai bersama. Semua itu terasa begitu nyata, begitu tulus. Tapi kenyataan tak pernah seindah impian, kan?
Aku teringat saat pertama kali kita bertemu, bagaimana kita begitu mudahnya berbicara, berbagi tawa, dan tanpa sadar, kita mulai saling memberi harapan. Seperti dua jiwa yang saling menemukan satu sama lain, seolah dunia ini hanya milik kita berdua. Cinta itu datang begitu alami, seperti hujan yang turun tanpa pernah ada yang memaksanya. Begitu lembut, begitu nyata. Dulu, aku percaya bahwa kita bisa menghadapinya bersama. Namun sekarang, yang tersisa hanyalah kenangan yang semakin memudar, seperti bayangan yang ditelan oleh kegelapan.
Kau sering bilang bahwa kita adalah dua orang yang berbeda, bahwa cinta kita adalah sebuah perjalanan yang tak selalu mulus. Dan aku percaya itu. Aku bahkan rela mengorbankan banyak hal, berpikir bahwa kita akan terus berjalan bersama, meski terkadang tersandung, meski terkadang terjatuh. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa kita lebih sering terjatuh daripada bangkit. Kau mulai menyendiri. Kau mulai diam. Setiap kata yang keluar dari mulutmu terasa semakin jauh. Bahkan senyum yang dulu kita bagikan bersama, kini terasa hampa.
Kebohongan pertama muncul tanpa aku sadar. Itu bukan kebohongan besar, hanya sebuah kelalaian kecil yang kita anggap tak penting. Kau mulai berbohong, dan aku mulai menutup mata. Kau bilang semuanya baik-baik saja, sementara hatiku tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres. Dulu, aku selalu bertanya, Mengapa kita bisa sampai di sini? Dan setiap kali aku bertanya, kau hanya tersenyum dan berkata, "Semua akan baik-baik saja."
Tapi kenyataannya, semuanya tidak baik-baik saja. Kau tahu itu, kan? Bahwa aku mulai merasa kehilangan arah, bahwa aku mulai merasakan kehadiranmu hanya sebagai bayangan. Kau tidak lagi memberiku cinta yang aku harapkan. Kau tidak lagi memberi perhatian yang aku butuhkan. Dan aku, aku mulai terjebak dalam kebisuan yang membunuhku perlahan. Tanpa kau sadari, kebohongan-kebohongan kecil itu menumpuk, membentuk dinding di antara kita, yang semakin lama semakin tinggi dan tebal. Dan aku, di balik dinding itu, mulai merasakan rasa sakit yang semakin menghimpit.
Aku tahu, aku tak bisa lagi menyangkal kenyataan ini. Cinta kita telah hancur. Kita berdua telah menjadi bagian dari kenangan yang terlupakan. Dan sekarang, setelah semuanya berlalu, aku berdiri di sini, di depan kereta yang semakin menjauh, dengan perasaan kosong yang tak bisa dijelaskan. Aku tahu aku harus merelakanmu pergi, tetapi hati ini masih tak bisa mengerti. Mengapa semuanya harus berakhir seperti ini?
Apakah ini yang disebut cinta yang sejati? Ataukah kita hanya dua orang yang terjebak dalam permainan dunia, menari bersama para iblis yang menggoda kita dengan janji-janji palsu? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu satu hal—aku merasa kosong. Seperti angin yang tak punya arah, seperti hujan yang turun tanpa sebab.
Aku menatap kereta yang kini hampir menghilang dari pandanganku. Perpisahan ini mungkin sudah tak terelakkan. Tetapi di sini, di antara gerimis yang tak henti, aku ingin percaya bahwa suatu hari, aku akan menemukan jalan keluar dari kesakitan ini. Karena aku tahu, meskipun kau pergi, aku masih punya diriku sendiri untuk dipahami. Namun untuk sekarang, biarkan aku menangis, biarkan aku merasakan perasaan ini—karena aku tahu, hanya dengan itu aku bisa melepaskanmu.