Hujan turun dengan lembut di kota kecil itu, membawa aroma tanah basah yang khas. Naura berdiri di bawah kanopi toko roti tua, menggenggam payung lipat yang tak ingin ia buka. Ada sesuatu tentang hujan yang selalu membuatnya merasa hidup, meskipun belakangan ini jiwanya terasa hampa.
Hari-harinya diisi dengan menatap kanvas putih di studio kecilnya. Sudah hampir tiga bulan ia tak mampu menghasilkan satu lukisan pun. Inspirasi seolah menghilang bersamaan dengan seseorang yang pernah mengisi hari-harinya—seseorang yang kini hanya menjadi kenangan.
"Maaf, apakah kursi ini kosong?"
Suara bariton seorang pria membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan melihat seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jaket cokelat tua yang sudah basah di beberapa bagian. Rambut hitamnya yang lebat terlihat berantakan, tetapi sorot matanya hangat.
"Oh, iya, silakan," jawab Naura cepat sambil memindahkan tasnya dari bangku kayu di sebelahnya.
Pria itu tersenyum singkat, lalu duduk tanpa banyak bicara. Ia membuka sebuah buku catatan kecil yang terlihat lusuh dan mulai menulis. Tangan kirinya memegang pena dengan mantap, sementara tangan kanannya menggenggam secangkir kopi panas yang baru saja ia beli dari kios kecil di ujung jalan.
Naura mencuri pandang. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya penasaran. Mungkin cara ia menunduk sambil menulis, atau alisnya yang berkerut setiap kali berpikir keras. Entah kenapa, ada daya tarik tersendiri yang sulit ia jelaskan.
"Apa yang sedang kamu tulis?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya sebelum ia sempat berpikir.
Pria itu mengangkat wajahnya, tampak terkejut sesaat, lalu tersenyum. "Cerita. Tentang hujan."
Naura mengerutkan kening. "Hujan?"
"Iya," jawabnya sambil menutup bukunya. "Hujan selalu punya cerita. Tentang pertemuan, perpisahan, atau sekadar momen hening yang membuat kita berpikir tentang hidup."
Naura terdiam. Jawaban itu terd tidak hanya membuatnya kagum, tetapi juga terasa akrab di hati. Seolah pria ini memahami apa yang sedang ia rasakan.
"Aku Arga," katanya, mengulurkan tangan.
"Naura," jawab Naura sambil menjabat tangannya yang hangat.
Dan di bawah hujan yang terus turun, kisah mereka pun dimulai.