Chereads / Elenthar / Chapter 4 - Senandung dalam keheningan

Chapter 4 - Senandung dalam keheningan

Dua tahun telah berlalu sejak Levian tiba di bumi. Selama dua tahun itu, hanya satu hal yang menjadi obsesinya: membaca.

'Tuan sangat suka membaca buku, itu sudah dimulai sejak dua tahun yang lalu,' pikir seorang penjaga sambil memandangi Levian yang sedang tenggelam dalam sebuah buku di ruangan besar itu. Mata sang penjaga menunjukkan rasa hormat yang dalam, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan di dalamnya.

---

Dua tahun lalu, setelah makan malam, Levian bertanya dengan suara yang terdengar ringan,

"Mengapa aku tinggal sendirian di rumah sebesar ini tanpa ayahku?"

Namun, penjaga itu meremehkan pertanyaan itu, menganggapnya hanya kebingungan seorang anak kecil. Tetapi saat itu, sebuah aura yang begitu menakutkan, begitu mengerikan, memancar dari mata Levian.

'Tatapan itu… seperti milik seseorang yang telah membunuh ribuan orang!' pikir penjaga itu, mengingat kembali perasaan ngeri yang menyelusup ke seluruh tubuhnya. Saat itu, Levian hanya berusia tiga tahun, namun ada sesuatu yang mengerikan dalam tatapannya yang membuat bahkan orang dewasa pun merasa cemas.

---

Kini, Levian kembali membaca di ruangan yang sama. Pelayan yang berdiri di dekatnya merasakan ketegangan itu lagi. Tanpa mengubah ekspresinya, Levian menatap sang penjaga. Mata Levian tajam, mengerti setiap ketakutan yang terpendam di dalam penjaga itu.

'Dia benar-benar pengecut. Aku hanya mengeluarkan sedikit saja aura pada saat itu,' pikir Levian sambil membiarkan ketakutan yang tertanam di penjaga itu terus menguasai ruang.

---

Dua tahun lalu, setelah makan malam, Levian mulai bertanya dengan serius tentang alasan di balik kesendiriannya. Namun saat itu, jawabannya jauh dari yang diinginkan. Ketegasan Levian muncul saat ia menyadari bahwa penjaganya hanya memberinya jawaban seadanya, seolah menyepelekan perasaannya.

Setelah aura menakutkan itu mengalir dari tubuhnya, penjaga akhirnya mengungkapkan kebenaran: Levian tinggal di rumah itu karena aturan keluarga yang telah diterapkan oleh kakeknya, Sky Cleaver.

Dimana keturunannya mulai dari umur 2 tahun hingga umur 5 tahun harus tinggal terpisah dari orang tuanya agar mental mareka terbentuk.

Itu adalah aturan yang konyol. Tapi- tidak ada keterkejutan pada wajah Levian. Dia hanya menatap sang penjaga dengan pandangan kosong, seolah apa yang baru saja ia dengar adalah hal yang biasa baginya.

'Tuan tidak terkejut sedikitpun setelah aku memberitahunya,' pikir penjaga itu, masih teringat betapa Levian terlihat tenang, bahkan lebih dari sekadar tenang—terlalu tenang.

'Pada akhirnya, dia hanyalah anak kecil yang masih polos,' pikir sang penjaga, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun, rasa takut yang masih menyelubungi jiwanya tidak bisa dibohongi.

---

Kembali pada masa ini, tiba-tiba Levian menutup bukunya. Ruangan menjadi sunyi, mencekam. Sang pelayan, yang berada di samping Levian tidak menyadarinya, hanya levian yang merasakan udara di sekitar berubah.

"Apa Anda akan tidur, Tuan?" tanya pelayan itu dengan suara bergetar, namun Levian hanya tersenyum tipis, senyuman yang tidak pernah terlihat biasa.

"Benar sekali," jawab Levian, suara yang biasa terdengar lembut itu kini terdengar seperti suara dari kedalaman yang sangat dalam. "Besok kita akan berangkat, jadi aku harus beristirahat lebih banyak malam ini."

Senyuman itu—sangat tipis, sangat samar, namun cukup untuk mengirimkan getaran dingin di tulang belakang penjaga.

"Kalau begitu, saya akan mengantar Anda, Tuan."

Levian mengangkat tangannya dengan gerakan lambat, seperti mengendalikan segala sesuatu di sekitarnya. "Tidak perlu. Malam ini kau juga harus beristirahat. Aku tidak ingin melihatmu kelelahan besok."

"Tapi, Tuan—"

Suara pelayan itu terhenti ketika Levian menatapnya dengan mata yang begitu tajam. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa sangat kecil, sangat tak berdaya.

"Apa aku perlu mengulang kata-kata yang sama dua kali?"

Pelayan itu langsung menunduk, tidak berani melawan. "Tidak, Tuan. Kalau begitu, saya permisi. Semoga Anda tidur nyenyak." Suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah ia berbicara pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Levian yang terus berdiri di sana.

Levian berjalan menuju kamarnya, suasana menjadi semakin hening. Begitu ia memasuki kamar, udara seakan membeku. Jendela yang sebelumnya tertutup kini terbuka lebar, menghadap malam yang gelap.

Namun, Levian tidak tampak terkejut. Dia sudah tahu.

Ia membuka mulutnya dengan suara yang mengejek, "Keluarlah. Mau sampai kapan kalian bersembunyi dalam kedinginan itu?"

Tanpa peringatan, pisau-pisau hitam melesat dari segala arah, menghujani Levian. Tetapi sebelum satupun pisau itu mengenai tubuhnya, Semuanya jatuh kelantai seperti ada tembok yang melindunginya.

Apa?!' Para pembunuh yang bersembunyi di kegelapan terperangah. Semua serangan mereka gagal tanpa bisa menyentuh Levian sedikitpun.

"Apa ini? Apa kalian baru belajar membunuh?" Levian berkata dengan suara mengejek, penuh sarkasme.

Pemimpin kelompok pembunuh itu, yang sebelumnya tampak percaya diri, memberi isyarat kepada anggotanya untuk menyerang lagi. Tetapi saat mereka berbalik untuk meluncurkan serangan berikutnya, Levian sudah tidak ada di sana.

'!!?' Para pembunuh yang terkejut mulai saling bertanya, di mana Levian sekarang.

"—Satu." Suara Levian muncul tiba-tiba, berasal dari belakang salah satu pembunuh.

Sebelum pembunuh itu sempat bereaksi, kepala mereka terlepas dari tubuhnya tanpa suara.

Yang lain mundur, ketakutan. Insting mereka meronta-ronta, tetapi Levian tidak memberikan mereka kesempatan. Dia bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, memusnahkan mereka satu per satu.

"Delapan," suara Levian terdengar lagi, sangat tenang, meski ada keputusasaan yang tergambar pada wajah para pembunuh.

"Sebelas" Dan itu adalah yang terakhir,

Hanya pemimpin kelompok yang tersisa, tubuhnya dipenuhi rasa takut yang begitu dalam, keringat dingin bercucuran deras.

"Lambat sekali," Levian mengucapkan kata-kata itu dengan penuh kekecewaan.

Sebelum pemimpin itu bisa melawan atau mencoba melarikan diri, Levian sudah ada di belakangnya. Tanpa ada suara, pemimpin itu jatuh terhuyung.

Setelah beberapa menit, pemimpin itu tersadar dilantai. Nafasnya terengah-engah, matanya masih memandang kosong.

"Apa itu mimpi?" Ketua assassin bergumam pelan setelah kesadarannya pulih.

Di hadapannya, seorang pemuda duduk santai di atas sofa, penuh percaya diri, membaca buku seolah tidak peduli pada dunia di sekitarnya. Pemuda itu membuka mulutnya, suaranya rendah tapi menusuk.

"Apa itu terlihat seperti mimpi?"

Seketika, ketua assassin itu mencoba mundur, tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan. Sesuatu yang tak terlihat menguncinya di tempat.

'Kekuatan ini…,' pikir sang ketua dengan panik. 'Ini mirip dengan kekuatan Tuan. Tapi… ini jauh lebih kuat!'

Dengan penuh ketakutan ketua assassin masih punya sedikit percaya diri, dia membuka mulut dengan keadaan meremehkan. "Kau pasti menginginkan informasi, bukan? Percuma, aku tidak akan mengatakannya."

!!

Ia mencoba menggerakkan lidahnya untuk memecahkan kapsul racun di gerahamnya, tapi gagal. Racun itu sudah tidak ada di sana.

'Bagaimana mungkin? Dia tahu tentang racun ini?' Pikirannya kacau. Hanya seseorang yang sudah mencapai kekuatan puncak yang bisa memindahkan racun itu tanpa menyebabkannya bocor. Dan jika bocor, racun itu akan tetap membunuhnya. Tapi pemuda ini...

Sambil menutup bukunya dengan tenang, Levian menatap lurus ke arahnya. "Bunuh? Informasi? Atau apa pun itu? Aku bisa mendapatkannya meski kau tidak mau memberikannya."

Sebuah senyuman tipis terbentuk di wajah Levian, memperlihatkan giginya. Senyuman itu sederhana, tapi cukup untuk membuat sang ketua assassin menggigil. Seluruh tubuhnya bereaksi, menjeritkan bahaya.

'Siapa dia sebenarnya?' pikir sang ketua, tubuhnya gemetar hebat. Tanpa sadar, mulutnya mengeluarkan suara pelan.

"Kamu… kamu bukan anak itu. Kamu siapa!!?."

Air mata mulai mengalir di wajahnya, hasil dari ketakutan yang luar biasa.

"Apa?" Levian bersandar kembali di sofa, ekspresinya tenang. "Aku hanya tersenyum setelah sekian lama. Kenapa kau sampai menangis?" Levian penuh dengan sarkasme

Ketua assassin mencoba melindungi mentalnya dari tatapan senyuman Levian sebelumnya untuk bertahan hidup tapi itu tak lagi bisa menahan dirinya, pada akhirnya dia kalah. Dengan suara yang gemetar, ia mulai berbicara.

"Kami…," suaranya nyaris tidak terdengar.

Levian memiringkan kepalanya, matanya tajam. "Kami… kami dikirim oleh Nyonya "Lee Jihwa" untuk..."

Mata Levian menyipit saat mendengar nama itu. "Lee Jihwa?"

Ketua assassin itu berhenti sejenak. Nafasnya semakin cepat, detak jantungnya tak terkendali.

"Benar, dia memerintahkan kami agar.." Suaranya semakin pelan dan suara aneh mulai bermunculan, itu ada suara tubuh ketua assassin yang mulai mencapai batas

"-agar Anda tidak dapat mengikuti…" Dan itu adalah ucapan terakhir yang dilontarkan olehnya sebelum jantungnya mendadak berhenti. Nafasnya lenyap. Tubuhnya terkulai lemas di lantai, topengnya terlepas. Rambut yang sebelumnya terikat rapi rontok seketika.

Levian menatap mayat itu dengan datar. "Apa ini? Kenapa mental mereka begitu lemah?"

Ia mengingat bawahannya di rumah, yang masih gemetar meskipun sudah dua tahun berlalu. Sekarang, orang ini bahkan lebih lemah lagi.

'Padahal aku hanya tersenyum,' pikir Levian, bingung.

Tapi itu tidak masalah. Informasi yang ia butuhkan sudah cukup.

Levian bangkit dari sofa, matanya masih menyiratkan kejenuhan. "Ternyata, ibu tiri ikut campur dalam hidupku… Lagi."

Ia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah tubuh-tubuh yang tergeletak. "Cerita ini mulai membosankan. Di dunia mana pun aku berada, tingkah laku orang-orang seperti mereka tidak pernah berubah."

Levian, yang telah hidup jauh lebih lama dari usia tubuhnya, tahu persis bagaimana cerita seperti ini akan berlanjut. Ia telah melewati skenario yang sama berkali-kali, di berbagai dunia yang ia singgahi.

"Kedamaian memang tak pernah bertahan lama ya. Kalau begitu…"

Sebuah senyum samar muncul di wajahnya. Tapi kali ini, senyum itu memiliki makna, makna yang hanya Levian yang tahu.

Tangan kirinya terangkat. Aura hitam pekat mengalir dari telapak tangannya, menyebar ke tubuh-tubuh yang tergeletak di lantai.

"Sebaiknya aku bersenang-senang sedikit dengannya." Aura itu meresap ke dalam tubuh para assassin. Udara di ruangan berubah dingin, mencekam.

Sesuatu yang tidak wajar mulai terjadi.