Pagi telah berlalu setelah insiden semalam, di mana para pembunuh menyerang Levian. Tak ada yang mengetahui kejadian tersebut selain dirinya. Semua darah dan mayat yang berserakan di lantai telah menghilang sepenuhnya. Kini, Levian tengah bersiap untuk berangkat menuju kediaman utama, tempat seluruh keluarga besar akan berkumpul.
Masa mandiri telah berakhir. Seluruh keturunan keluarga besar yang telah berusia lima tahun akan berkumpul di kediaman Sky Cleaver.
Levian tak sabar untuk bertemu seseorang yang menyandang gelar "Enam Kekuatan Besar" di dunia ini.
Seorang penjaga setia masuk ke kamarnya dan berkata, "Tuan, semua persiapan telah selesai. Saatnya berangkat."
Levian, yang kini mengenakan jas merah dengan motif naga yang megah, tampak luar biasa. Penampilannya begitu memukau hingga para pelayan yang melihatnya merasa penuh hormat, bahkan ada yang menatapnya dengan kekaguman.
"Ayo berangkat," ucap Levian sambil keluar dari kamar.
Para pelayan mengantarnya hingga ke depan, meski raut wajah mereka menyiratkan kekhawatiran. Kediaman keluarga Vermis terkenal berbahaya, dan mereka takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada tuan muda mereka.
"Tuan, hati-hati. Semoga Anda selamat sampai tujuan," ujar salah satu pelayan dengan nada tulus.
Levian hanya melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil.
___
Di alam semesta yang jauh, sebuah kekuatan besar dan berbahaya mendekati Bumi.
---
Selama perjalanan, Levian menatap keluar jendela mobil, mengamati keramaian kota. Pandangannya tertuju pada sekelompok orang yang terlihat mempersenjatai diri dengan berbagai alat tempur.
"Mereka itu para Hunter?" tanya Levian pada penjaga yang mengemudi.
"Benar, Tuan. Sebentar lagi Anda juga akan menjadi salah satu bagian dari mereka," jawab penjaga itu yakin. Aura mendominasi yang terpancar dari Levian membuatnya percaya bahwa tuannya akan lulus tanpa syarat.
"Menjadi bagian dari mereka?" Levian mengulangi, meski ia sudah tahu maksudnya. Ia lalu melanjutkan dengan nada datar, "Sepertinya itu tidak mungkin."
Penjaga itu terkejut mendengar pernyataan Levian. "Kalau boleh tahu, kenapa itu tidak mungkin, Tuan?" tanyanya dengan ragu.
Levian menatap keluar jendela sambil berkata, "Karena sebentar lagi akan ada badai yang datang."
"Badai?" Penjaga itu bingung, tetapi ia tak berani bertanya lebih jauh.
Levian tersenyum tipis, menatap penjaga itu melalui kaca spion. "Ya. Mungkin sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Penjaga itu hanya terdiam dalam kebingungan.
---
Perjalanan berlanjut hingga mereka tiba di gerbang besar kediaman keluarga Vermis. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh, sepuluh kali lebih besar dari tempat tinggal Levian. Taman yang luas dan pagar megah hanya sebagian kecil dari kemewahan tempat ini.
"Dia memiliki selera yang bagus," gumam Levian, mengacu pada Sky Cleaver.
Dua penjaga berdiri siaga di gerbang utama. Salah satu dari mereka menghentikan mobil. Penjaga Levian menyerahkan kartu identitas sebagai tanda pengenal.
"Hmm?" Salah satu penjaga memandang ke arah Levian di dalam mobil, matanya penuh curiga. Namun, setelah sesaat, ia mengangguk. "Masuk."
Mobil melaju melewati gerbang, dan Levian sempat melirik penjaga tadi dengan tatapan tajam.
"Apa ada sesuatu, Tuan?" tanya pengemudi.
"… Tidak. Lanjutkan."
Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di area parkir. Penjaga dari keluarga Vermis menyambut Levian, membuka pintu mobil, dan berkata dengan senyum yang tampak palsu, "Selamat datang, Tuan. Bagaimana perjalanan Anda?"
Levian menatap penjaga itu sebentar tanpa menjawab, lalu keluar dari mobil.
"Silakan ikut saya. Saya akan memandu Anda ke tempat pertemuan," ucap penjaga itu.
Penjaga pribadi Levian menunduk hormat dan berkata, "Tuan, saya hanya bisa mengantar Anda sampai di sini. Semoga Anda baik-baik saja."
Levian hanya mengangguk tanpa ekspresi, lalu mengikuti penjaga keluarga Vermis.
---
Di tengah perjalanan, seorang anak laki-laki sebaya Levian muncul. "Wah, siapa ini?" ucapnya dengan nada mengejek.
Levian mendesah pelan. "Di mana pun aku pergi, bocah-bocah seperti ini selalu ada."
"Apa katamu?" Anak itu marah, tetapi sebelum ia bisa melanjutkan, Levian mengeluarkan aura membunuh yang menakutkan.
Anak itu terdiam, gemetar ketakutan, dan mengompol. Penjaga yang melihatnya segera berteriak, "Hei, apa yang kau lakukan pada—"
Namun, tatapan Levian membuat penjaga itu membeku. Seolah seekor binatang buas sedang mengancamnya.
"Antar aku sekarang," ucap Levian dingin.
Penjaga itu hanya bisa patuh, lalu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
"Drama seperti ini tak pernah berubah," gumam Levian, meski nada suaranya penuh kejengkelan.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikiran, seseorang mendekatinya dengan langkah tenang. "Tuan muda Levian? Silakan masuk lewat sini."
---
Di dalam aula utama yang luas dan megah, patung-patung kuno menghiasi dinding-dindingnya. Levian memandang patung patung itu dengan kagum tapi seketika kekaguman itu berubah menjadi sebuah amarah.
Levian memandangi sebuah patung wanita dengan tatapan penuh amarah. "Pandora…" gumamnya, mengingat kenangan pahit dari masa lalu.
"Tuan muda, apakah patung itu menarik perhatian Anda?" Sebuah suara tua terdengar dari belakang.
Levian terkejut menyadari bahwa ia tak merasakan kehadiran orang itu sebelumnya. Ia menenangkan diri dan menjawab, "Ya, patung ini indah."
Orang tua itu tersenyum tipis. 'Pengendalian emosi yang luar biasa untuk usiamu.'
Levian menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan pria tua di hadapannya. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, suara langkah kecil yang cepat memecah keheningan. Seorang gadis kecil berlari dengan semangat ke arah pria tua itu. Rambut putihnya yang berkilauan tampak seperti salju di bawah cahaya, dan matanya yang biru cerah memantulkan rasa penasaran yang mendalam.
"Kakek, ke mana saja kakek dari tadi?" tanya gadis itu dengan nada yang setengah manja, setengah kesal.
Pria tua itu tertawa kecil, mengelus kepala cucunya dengan lembut. "Kakek tidak ke mana-mana, sayang. Dari tadi kakek ada di sini."
Gadis itu mendengus pelan, lalu matanya menangkap sosok asing di dekat mereka—Levian. Dengan gerakan halus, dia menoleh, menatap Levian dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya begitu tajam untuk anak seusianya, seolah dia mencoba membaca setiap rahasia yang disembunyikan Levian.
"Kakek, siapa dia?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Levian mengangkat alis tipis, merasa sedikit terganggu oleh tatapan gadis itu yang tak kunjung berpaling. Dia tidak menjawab, membiarkan keheningan menguasai suasana sejenak.
Pria tua itu tersenyum, menoleh ke arah Levian. "Ini Levian, salah satu penerus garis keturunan Vermis."
Gadis kecil itu tetap diam, tetapi matanya kini berbinar dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Levian, di sisi lain, memandangnya dengan ketenangan yang dingin, seperti gunung es yang tak tergerak.
Keduanya saling bertatap, seolah sedang mengukur kekuatan satu sama lain meski tanpa sepatah kata. Di balik pandangan gadis itu, Levian merasakan sesuatu—bukan sekadar rasa ingin tahu anak kecil, tetapi semacam kedewasaan tersembunyi yang tidak seharusnya dimiliki gadis seusianya.