Sebelumnya gua mau ceritakan sedikit tentang diri gua. Gua adalah seorang pemuda ganteng (menurut nyokap) tinggi besar (ya besar!!tapi bukan gendut!). Gua adalah anak kedua dari 3 bersaudara, dan gua satu-satunya anak cowok. Nyokap dan Bokap gua mengasih nama yang terbilang unik menjuru ke arah malas menurut gua, Reka Adisubrata, yang merupakan singkatan dari nama kedua orang tua gua, yaitu REno dan AiKA. Sekarang umur gua 18 tahun, jomblo dan kuliah di salah satu PTN di Bandung. Gua mengambil Jurusan S1 Teknik Informatika. Dan sekarang gua ingin sedikit bercerita tentang masa lalu gua yang..., gua anggap cukup indah. Kisah tentang masa-masa indah. Yah, masa saat gua masih lucu dan polos, tanpa ternoda Coding dan Anime. Saat dimana gua menimba ilmu di Sekolah Menengah Atas di kota kelahiran gua, salah satu kota terkenal di kawasan Priangan timur, Jawa Barat.
Gue ga mau kebanyakan bacot tentang hal yang ga penting ini. Dan sebenarnya gua cuman ga mau jadi spoiler di kisah gua sendiri. Dan dari sini gua akan menceritakan semuanya. Mulai dari akhir perjalanan gua di SMP sampai gua lulus SMA.
-------------------------------------------------------------------------
Setelah berperang selama empat hari penuh dengan soal-soal Ujian Nasional yang benar-benar bikin muak, akhirnya momen yang ditunggu-tunggu tiba. Selama dua minggu terakhir, gua hampir nggak punya waktu buat komunikasi sama cewek gua. Itu semua karena gua memutuskan untuk sementara waktu nggak ketemu dia biar bisa fokus belajar dan ngerjain soal-soal UN. Keputusan itu berat banget, tapi gua yakin kalau ini adalah pilihan terbaik. Hari ini, setelah semua perjuangan itu, beban yang gua tahan selama ini, baik itu beban UN maupun beban rindu, terasa semakin nyata. Sekarang gua dan semua murid kelas 3 cuma bisa menunggu pengumuman kelulusan—hari yang jadi ujian mental buat kami semua.
Hari itu, suasana di sekolah penuh ketegangan. Semua siswa tampak tegang, stres, dan bahkan ada yang mondar-mandir panik. Gue juga merasakan hal yang sama—pikiran penuh dengan berbagai skenario buruk: bagaimana kalau gue nggak lulus? Bagaimana gue harus menjelaskan ini ke keluarga?
Namun, situasi semakin frustrasi saat kepala sekolah berbicara panjang lebar, padahal kita hanya ingin mendengar pengumuman hasil kelulusan. Setelah menunggu hampir tiga jam di bawah terik matahari, beliau malah curhat tentang hal-hal yang nggak relevan dengan UN. Rasanya, gue ingin merebut mikrofon dan teriak untuk menghentikan semuanya. "Hei, tua bangka! Ini bukan tempat curhat! Kami kepanasan di sini, bukan dengerin wejangan yang nggak penting!" Tapi tubuh gue tetap diam, tak mampu berbuat apa-apa selain menatap kepala sekolah yang masih semangat beretorasi.
Walaupun dikenal sebagai anak yang sering bikin guru-guru naik darah dengan sikap rebel gue, untungnya kali ini otak gue masih bisa di ajak kompromi. Gue berhasil menahan diri untuk nggak bertingkah impulsif dan melontarkan kekesalah gue dalam bentuk umpatan dan makian. Kalau sampai gue berkata sesuatu yang buruk, bisa-bisa gue diarak keliling kampung atau digantung di tower provider seluler sebagai tontonan warga sekitar. Serem, kan? Jadi, gue memilih untuk diam meski hati sudah siap meledak.
Setelah pidato kepala sekolah yang seolah tak berujung, akhirnya kita semua digiring masuk ke kelas masing-masing. Bayangin aja, semua murid, yang dari tadi udah kelelahan mental dan fisik, cuma bisa ngikutin arahan dengan wajah pasrah, persis kayak kambing yang pasrah digiring ke kandang mereka. Gue juga masuk ke kelas, dan di sanalah Ibu Rina, wali kelas kita, dengan wajah penuh wibawa dan setumpuk amplop di tangannya, siap membagikan surat kelulusan.
Saat amplop pertama dibuka, suasana kelas langsung berubah tegang. Ekspresi wajah teman-teman gue nggak bisa dijelaskan lagi—udah kayak orang nahan kentut berhari-hari tapi nggak kunjung keluar. Gila, atmosfer kelas waktu itu bener-bener nggak santai. Gue sendiri nggak jauh beda. Walaupun gue cukup yakin sama kemampuan otak gue yang lumayan ini, tetap aja ada rasa nggak pede yang terus menghantui. Gimana nggak? Gue memang punya catatan prestasi yang lumayan mengesankan, tapi di sisi lain, catatan kebandelan gue juga nggak kalah gemilang. Bahkan, gara-gara gue, kelas ini sering kena getah dari ulah gue. Jadi ya, wajar aja kalau sekarang gue merasa campur aduk—antara percaya diri, ragu, dan takut.
"Semuanya, jangan dulu dibuka amplopnya. Kita buka sama-sama, ya. Sebelumnya, mari kita berdoa untuk hasil yang terbaik. Kalau nanti hasilnya kurang memuaskan, Ibu harap kalian bisa menghadapi ini dengan tenang," ujar Bu Rina sambil membagikan amplop satu per satu ke tangan kami. Amplop itu seperti benda paling sakral di dunia pada saat itu, dan semua orang memandanginya dengan perasaan campur aduk—antara berharap, takut, dan deg-degan. Gue bisa lihat beberapa teman gue bahkan udah mulai menggosok-gosok jimat kecil yang entah darimana munculnya.
"Jangan tegang kayak gitu dong. Ibu yakin kalian semua lulus," kata Bu Rina sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Tapi, senyum itu nggak cukup buat menghilangkan ketegangan di ruangan ini. Temen-temen gue tetap pada kaku, seperti sedang menunggu vonis di ruang sidang.
"Bu, saya nggak tegang kok," jawab gue sok santai, walau sebenarnya jantung gue udah kayak drum band, deg-degannya nggak karuan.
"Jangan sombong kamu, belum tentu juga lulus," salah satu teman gue langsung nimbrung dengan nada meledek, yang diikuti tawa kecil dari beberapa orang.
"Lulus nggak lulus juga gue nggak takut," sahut gue, mencoba terdengar lebih santai dari yang sebenarnya.
"Lah, kalau lu nggak lulus gimana? Lu mau ngulang lagi?" tanya Angga, sahabat gue, dengan nada serius tapi tetap nyeleneh.
"Gue pasti lulus, tenang aja. Tapi kalaupun nggak lulus, ya gue kawin aja nanti. Gue inget adek lu kan suka sama gue. Gimana, mau nggak jadi kakak ipar gue?" jawab gue sambil ketawa lepas, nyengir nggak tahu diri ke arah Angga. Tujuannya sih jelas, gue cuma mau bikin suasana lebih santai biar ketegangan ini nggak bikin kita semua kayak patung di museum. Seketika kelas yang tadi hening berubah jadi agak ramai, ketawa-ketawa kecil mulai terdengar di mana-mana. Temen-temen yang dari tadi muka mereka tegang banget, akhirnya pada senyum.
"Sialan lu!" Angga langsung bereaksi dengan nada protes, tapi kelihatan juga dia nahan ketawa. "Awas lu, macem-macem sama adek gue, ya!"
"Iya, Sob, lu kan pinter. Mana mungkin nggak lulus," timpal Budi, temen baik gue, mencoba ikut menyemangati sambil sedikit ngejek.
Namun, sebelum obrolan kami makin panjang, Bu Rina langsung menyela. "Udah, jangan ribut-ribut. Sekarang, buka amplop masing-masing," katanya dengan nada lembut tapi tegas. Suasana kelas langsung berubah lagi—dari ramai ke hening dalam hitungan detik.
Gue memandangi amplop di tangan gue. Amplop yang kelihatannya sederhana, tapi isinya bisa mengubah hidup gue dalam satu detik. Perlahan, gue membuka lipatannya sambil nahan napas. Semua orang di kelas melakukan hal yang sama, dan suara kertas yang dilipat terdengar serentak, seperti orkestra kecil yang menambah dramatis suasana.
Tapi begitu amplop gue terbuka, gue langsung terdiam. Kosong. Amplop gue nggak ada isinya. Gue menatap ke dalam amplop, berharap mata gue salah lihat, tapi memang benar-benar kosong. "Loh, kok amplop saya kosong, Bu?" tanya gue sambil melirik Bu Rina dengan bingung. Temen-temen gue yang mendengar itu langsung menoleh ke arah gue dengan ekspresi heran. Suasana kelas mendadak lebih tegang lagi.
"
"Oh iya, punya kamu ada di ruang guru. Kamu harus menyelesaikan dulu masalah kamu yang dulu-dulu itu," kata Bu Rina sambil tersenyum tipis, tapi bagi gue, senyuman itu terasa seperti pisau yang menusuk pelan.
'Anjrit, bakalan panjang urusannya nih.' Dalam hati gue udah bisa nebak arah cerita ini. Pasti ada kaitannya sama ulah gue di masa lalu yang sering bikin guru-guru pusing.
Setelah acara "buka amplop bersama" selesai, gue mulai mikir keras tentang langkah selanjutnya. Apalagi suasana di kelas yang tadinya tegang perlahan berubah jadi sendu ketika salah satu temen gue ternyata nggak lulus. Rasanya ada yang nyelekit di hati, walaupun dia sendiri terlihat jauh lebih santai dari yang gue duga. Satu per satu dari kami ngasih rasa simpati.
"Bro, yang sabar ya. Lu pasti bisa kok tahun depan," kata Angga, sahabat gue, sambil menepuk bahu temen kami itu. Angga emang orangnya paling suportif kalau udah soal begini.
"Slow kali, bro. Gue nggak lulus juga dunia nggak bakalan kiamat, kan?" jawab temen gue itu dengan nada riang, yang bikin kami semua agak lega. "Lagian umur gue juga lebih muda satu tahun dari elu pada. Gue nggak bakalan ketuaan juga kalo ngulang satu tahun lagi, kan?" lanjutnya sambil nyengir.
Asli, gue salut sama temen gue ini. Meski harus ngulang tahun depan gara-gara gagal di UN, dia masih bisa ketawa dan ngadepinnya dengan semangat yang luar biasa. Dia nggak sedikit pun kelihatan down atau nyalahin diri sendiri. Malah dia kayak ngasih energi positif buat orang-orang di sekitarnya.
Gue, di sisi lain, cuma bisa mikir. 'Gimana kalau gue ada di posisinya? Apa gue bisa setegar dia?' Bayangan tentang surat kelulusan gue yang masih tertahan di ruang guru terus menghantui. Belum ada kejelasan apakah gue lulus atau nggak. Gue merasa kayak digantung di ujung tebing—setiap detik terasa makin mencekam.
"Ngga, lu yakin gue lulus nggak?" tanya gue ke Angga, mencoba cari sedikit kelegaan.
"Pasti lulus, lah. Lu kan pintar. Cuma rada bandel aja," jawab Angga sambil ketawa kecil. Dia tahu banget gimana kombinasi "pinter tapi ngeselin" yang sering bikin gue ada di situasi kayak gini.
"Tapi kalau gue nggak lulus, gimana, Ngga?" Gue nanya lagi, kali ini nada gue lebih serius.
Angga malah ngakak. "Kalau nggak lulus? Ya elah, lu kawin aja sama adek gue, kayak rencana lu tadi. Biar lu nggak usah repot mikirin sekolah lagi."
"Lu bercanda mulu, Ngga," kata gue sambil nyengir. Meski garing, lelucon Angga lumayan ngurangin rasa panik gue.
Angga terus nyemangatin gue sepanjang waktu, ngajak gue buat positive thinking. Dia bilang, "Udah, lu tenang aja. Kalau lu nggak lulus, gue beliin lu es krim deh, biar nggak nangis di pojokan." Gue cuma bisa ketawa kecil, tapi tetap nggak bisa ngilangin galau gue sepenuhnya.
Akhirnya, setelah tarik ulur sama keberanian gue sendiri, gue berdiri dari kursi sambil menghela napas panjang. "Ngga, anterin gue ke ruang guru. Gue mau ambil surat kelulusan gue," kata gue dengan nada setengah nekat. Tangan gue gemeteran sedikit, tapi gue berusaha kelihatan santai. Gue tahu ini momen yang bakal gue inget seumur hidup.
Angga yang lagi nyender di meja langsung berdiri sambil ngelirik gue aneh. "Eh bego, kenapa lu tiba-tiba minta anter segala?" tanyanya sambil pasang muka curiga.
"Lah, kenapa lu ribet? Elu nggak mau anter gue nih?" balas gue, bingung juga sama reaksinya. Biasanya, Angga langsung ngegas kalau dimintain tolong.
"Tumben aja. Biasanya lu sok-sokan mau berani sendiri. Sekarang kok manja banget, kayak anak ayam ilang induk," jawab Angga sambil nyengir, lalu tiba-tiba nyolek pinggang gue.
"Najis, sejak kapan lu jadi homo sih?" Gue mundur sedikit sambil pura-pura jijik, padahal pinggang gue geli beneran.
"Gue kaga homo, tolol!" Angga langsung ngebela diri dengan nada tinggi, tapi malah bikin gue makin ngakak.
"Iya, iya, lu nggak homo. Lu cuman... maho," kata gue sambil nambahin bumbu biar dia makin sewot.
"Sama aja cacat, anjir! Udah, buruan. Bacot mulu lu. Mau ke ruang guru kan?" jawab Angga akhirnya, sambil dorong bahu gue pelan, tapi matanya masih nyipit kayak nahan emosi. Gue cuma bisa ketawa kecil. Emang itu salah satu hal yang gue suka dari Angga: dia nggak pernah nolak buat bantuin gue, meskipun kadang caranya nyindir bikin telinga panas.
Kami pun keluar kelas bareng, menuju ruang guru. Sambil jalan, dia masih sempet-sempetnya ngelempar komentar. "Eh, kalau isi surat lu ternyata undangan buat ikut UN lagi gimana?"
"Bangsat, lu kok ngedoain, sih?" balas gue sambil pura-pura tersinggung.
"Gue nggak ngedoain sob, cuman foreshadowing." kata dia, masih dengan nada bercanda. Gue geleng-geleng kepala sambil senyum kecil. Seenggaknya, walaupun suasana hati gue campur aduk, Angga berhasil bikin gue agak tenang.
Di depan ruang guru, langkah gue otomatis melambat. Pintu ruang guru itu tiba-tiba terasa kayak gerbang menuju akhirat. Gue berhenti sejenak di depan pintu, ngerasain detak jantung gue makin cepat.
"Kenapa berhenti? Takut?" Angga menatap gue sambil lipat tangan di dada. "Sana masuk, gue nunggu di sini."
"Lu beneran tungguin gue, kan?" tanya gue memastikan, karena gue tau banget sifat dia yang suka ngerjain.
"Ya iyalah. Masa gue tinggalin lu? Ntar lu nangis sendirian di ruang guru, gue nggak tega," katanya sambil ngakak. Gue menghela napas sekali lagi, ngumpulin nyali, lalu dorong pintu ruang guru dengan pelan.
Gue masuk ke ruang guru dengan langkah berat, ngerasa kayak tahanan yang baru dipanggil ke ruang sidang. Pas sampai di dalam, gue langsung nyari-nyari sosok guru yang kelihatannya paling nggak sibuk. "Bu, surat kelulusan saya katanya ada di sini," tanya gue dengan nada sopan tapi setengah ragu.
Bu guru yang gue tanyain cuma nengok sebentar dari belakang tumpukan berkasnya, lalu jawab, "Oh, coba tanyakan ke Pak Bambang, mungkin beliau yang tahu." Gue pun mendekati Pak Bambang, yang lagi sibuk ngetik di depan komputer.
"Pak, surat kelulusan saya katanya ada di sini," ulang gue dengan suara pelan.
Pak Bambang ngelirik ke arah gue sebentar, terus ngekerutkan dahi. "Surat kelulusan kamu? Hmm, coba tanya Bu Susi, ya. Kayaknya tadi dia yang terakhir pegang amplop kelulusan," jawabnya sambil balik fokus ke monitornya.
Gue mulai gelisah, tapi gue nurut aja dan tanya ke Bu Susi, yang duduk di sudut ruangan. Begitu gue selesai ngejelasin, Bu Susi cuma geleng-geleng sambil bilang, "Oh, saya nggak tahu. Coba cek sama Pak Herman."
'Bangke, gue mau ambil surat kelulusan bukan lagi kerjain chain quest woy?!' Gue makin kesel, tapi tetap berusaha tenang. Gue datengin satu per satu guru di ruangan itu, tapi hasilnya sama aja. Nggak ada satupun yang tahu di mana surat kelulusan gue.
Setelah muter-muter kayak orang hilang di ruang guru, gue akhirnya keluar dengan perasaan campur aduk antara kesal, bingung, dan pasrah. 'Mungkin ini pertanda kalau gue nggak lulus.' Pikiran itu mulai menghantui gue, bikin langkah gue berat waktu balik menuju kelas.
Selama jalan "pulang" ke kelas, gue ngelamun terus-terusan. 'Apa gue kurang usaha? Apa ini karma?' Semua pikiran negatif itu numpuk di kepala gue. Beberapa kali hape gue bunyi, ada telpon masuk dari nomor yang nggak dikenal, tapi gue diemin aja. Lagi nggak mood buat ngobrol sama siapapun.
Gue hampir sampai di depan kelas waktu tiba-tiba suara dari loudspeaker sekolah bikin gue kaget setengah mati.
"KEPADA SEMUA SISWA KELAS 3 DIHARAPKAN SEGERA MENUJU PODIUM SEKOLAH," bunyi suara pengumuman itu, keras banget sampai bikin hati gue loncat.
"Anjrit, itu tadi suara setan ya?" Gue asal ngomong tanpa mikir, masih setengah sadar dari lamunan gue.
"Eh kampret, elu nggak pernah denger suara loudspeaker ya?" balas Angga yang berjalan di sebelah gue.
"Emang yang tadi itu suara loudspeaker?" tanya gue, masih linglung.
"Lu pinter tapi kadang tolol, ya. Makanya sekolah tuh jangan tidur mulu. Gue heran lu kok bisa pinter," kata Angga sambil geleng-geleng kepala, tapi gue cuma ngediemin dia. Pikiran gue udah melayang ke hal lain.
Gue lebih fokus ke arah lapangan sekolah, di mana gue ngeliat salah satu idola sekolah, Echa, lagi jalan menuju podium. 'Wih, makin bahenol aja tuh anak,' pikir gue. Tanpa sadar, gue nyeletuk ke Angga, "Eh, cuy, Echa cuy. Wih, makin bahenol aja tuh anak."
"Mana, mana?" Angga langsung melotot ke arah yang gue tunjuk.
Echa, gadis terseksi di SMP gue, adalah fenomena yang bikin semua cowok di sekolah—terpaksa pura-pura nggak ngelirik. Dia bukan cuma terkenal karena wajahnya yang cantik dengan senyum manis yang bikin hati deg-degan, tapi juga karena badannya yang, gimana ya, lebih matang dibanding umurnya. Di saat cewek-cewek lain masih sibuk nyari bra yang pas, Echa udah punya bentuk tubuh yang bisa bikin SPG rokok minder. Rambutnya panjang, hitam, selalu tergerai rapi, kayak baru keluar dari salon setiap pagi. Gaya jalannya santai tapi tetap memancarkan aura percaya diri yang bikin semua mata otomatis ngikutin langkahnya. Andai jaman itu sudah ada JKT48 mungkin Echa salah satu trainee-nya.
Echa juga nggak sok jual mahal atau bersikap sombong meskipun jelas-jelas dia tahu kalau dirinya jadi pusat perhatian. Dia termasuk tipe cewek yang ramah, tapi nggak murahan. Kalau ada yang berani iseng atau godain dia sembarangan, dia cuma bakal ngelirik sambil senyum sinis yang cukup buat bikin nyali cowok itu langsung menciut.
Di kelasnya, Echa duduk di barisan tengah, tempat strategis buat semua cowok yang pura-pura "nyari kunci" atau "ambil buku" cuma biar bisa lewat di dekat mejanya. Dan jangan lupa, suara dia juga nggak kalah mematikan—lembut, agak serak-serak manja, kayak tokoh utama di drama remaja. Nggak heran kalau nama Echa sering muncul di obrolan cowok, baik yang serius maupun sekadar bahan bercanda. Intinya, Echa adalah kombinasi sempurna antara pesona alamiah dan misteri remaja, yang bikin dia jadi legenda hidup di sekolah gue.
Kami berdua cuma bisa pasang ekspresi kayak orang bego, ngeliatin Echa jalan sambil ketawa pelan. Saking fokusnya sama Echa, gue dan Angga nggak sadar kalau ada seseorang berdiri di belakang kita.
"KALIAN BERDUA CEPAT KE PODIUM SEKOLAH!!!"