Setelah mikir-mikir buat nentuin langkah ke depan, gue akhirnya minta pendapat sama bokap dan nyokap gue. Setelah denger saran mereka, akhirnya gue putusin buat daftar di SMA Dua aja.
Sebenernya itu SMA favorit kedua di kota gue. Cuman entah kenapa, gue lebih memilih SMA Dua daripada SMA satu yang memang terfavorit. Mungkin karena gue lebih merasa cocok dengan lingkungan di SMA Dua yang relatif berada di pinggiran kota, atau mungkin ada sesuatu yang bikin gue lebih nyaman di sana, seperti firasat. Yang pasti, keputusan ini udah gue ambil setelah mempertimbangkan banyak hal.
Setelah mantap dengan pilihan SMA gue, si Angga, teman baik gue, mengirim SMS bertanya kabar dan membahas soal SMA pilihan kita.
Angga: Bro, lu jadinya daftar di Dua aja? Kok nggak daftar di Satu?
Gue: Gue juga nggak tahu, gue ngikutin firasat gue aja. Lagian Dua juga bagus kan
Angga: Iya juga sih.
Lalu tiba-tiba pesan Angga yang selanjutnya membuat gue agak tercengang.
Angga: Bro, lu baru putus sama cewek lu?
'Wih, dia kok bisa tahu?' Perasaan gue belum cerita sama temen-temen gue.
Gue: Kok lu tahu? Lu dukun ya?
Angga: Cuma firasat gue aja sih wkwkwk.
Angga: tapi syukur deh lu putus sama si Rani. Lu kudu tahu, mantan lu tuh tukang selingkuh. Untung aja lu udah putusin.
Gue membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apa yang dia bilang benar? Selama ini gue memang merasa ada yang aneh, tapi terlalu sibuk dengan UN dan semua urusan lain hingga kurang memperhatikan tanda-tanda kecil. Saat mendengar Angga berkata begitu, ada rasa yang sulit didefinisikan—marah, kecewa, bingung—tapi ada juga rasa lega, seolah sebuah beban kecil terangkat.
Gue: Yang bener lu? Tau dari mana?
Angga: Gue sering aja lihat cewek lu jalan sama cowok lain. Cuman gue lupa terus mau ngomong sama lu.
Gue: Geblek kenapa hal penting kayak gitu bukannya lu sampein cepet-cepet sih.
Kalau aja Angga kasih tahu gue tentang hal ini, mungkin gue udah putusin si Rani lebih cepet. Dan mungkin gue dan Santi... dahlah semuanya juga tinggal 'mungkin'. Percuma juga gue salahin Angga, anaknya emang kadang-kadang pe'a.
Gue: Oh ya, gpp, thanks sudah ngasih tahu gue walaupun telat banget.
Nuduh gue selingkuh padahal dia sendiri yang selingkuh di belakang gue, itu sama aja kayak maling teriak maling. Kayak orang yang ngaku sohib lu, tapi pas punya duit di dompet malah pura-pura bokek dan minjem duit buat beli rokok. Apa sih ga jelas analoginya.
Semuanya makin jelas juga, kenapa waktu kejadian Santi nyium gue, Rani nggak langsung datang. Kalau memang dia masih peduli pasti dia bakalan marah dong. Ternyata memang gue nggak sepenting itu buat Rani. Tapi ya udah, yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang gue harus melangkah ke depan, toh cewek juga nggak cuma dia doang.
***
Beberapa hari ke depan gue disibukkan dengan urusan administrasi. Mulai dari ijazah hingga formulir pendaftaran ke SMA. Banyak teman-teman gue yang memilih STM atau SMK Negeri karena tujuannya untuk cepat-cepat bekerja. Sementara itu, gue memilih SMA karena gue mau melanjutkan kuliah nanti. Ngejar kakak perempuan gue yang sedang kuliah di Bandung.
Suatu hari, gue bertemu beberapa teman sekelas yang juga tengah sibuk mengurus keperluan untuk mendaftar ke SMA/SMK. Beberapa dari mereka ngajak gue untuk nongkrong-nongkrong dulu. Tapi, gue tolak. Gue sedang serius mempersiapkan diri untuk masuk SMA Dua, yang waktu itu sedang mengadakan tes seleksi masuk.
Dari beberapa orang yang ada, ada satu wajah yang cukup familiar. Kakaknya Santi! Gue ingat dengan jelas karena semester lalu, dia yang membawa rapor Santi. "Tanya soal Santi jangan yah?" sebelum gue nentuin pilihan antara bertanya atau nggak, Kakaknya Santi sudah menghilang dari pandangan gue.
"Shit, kenapa nggak nanya aja sih?" pikir gue dengan penuh penyesalan. Akhirnya, gue kehilangan kesempatan untuk mencari tahu keberadaan Santi. Perasaan penasaran dan kecewa bercampur menjadi satu, karena momen itu seharusnya bisa menjadi jalan untuk mendapatkan jawaban yang selama ini gue cari. Tapi, saat itu sudah berlalu, dan gue hanya bisa menyesali kenapa tidak bertanya lebih awal. Mungkin emang gue dan Santi gak ditakdirkan untuk bersatu.
***
Hari pendaftaran akhirnya tiba. Gue sekarang berdiri di halaman SMA Dua, sekolah yang gue pilih untuk melanjutkan langkah gue ke jenjang berikutnya. Udara pagi itu terasa segar, bercampur dengan suara keramaian para calon siswa baru yang berbaur dengan orang tua mereka. Di sini, proses penerimaan siswa baru berbeda dari cara konvensional. Nggak ada lagi yang namanya sistem NEM. Sebaliknya, semua calon siswa harus melewati tes masuk terlebih dahulu untuk menentukan apakah mereka layak bergabung dengan SMA ini.
Setelah semua urusan administrasi pendaftaran selesai, gue tinggal menunggu hari tes tiba. Bokap gue ternyata ketemu teman lamanya di sekolah ini, jadi gue punya sedikit waktu untuk iseng-iseng. Pandangan gue tertuju pada papan pengumuman besar yang berisi daftar nama-nama calon siswa. Gue berjalan mendekat, mencoba mencari tahu siapa saja yang mendaftar ke sini.
Saat mata gue menyapu deretan nama di daftar itu, gue menemukan beberapa nama yang nggak asing. Ternyata gak banyak teman sekolah gue yang daftar di sini. Tapi, yang bikin gue sedikit senang adalah nama Febi tercantum di daftar itu. Febi, teman yang gue kenal waktu acara perpisahan SMP, ternyata juga memilih SMA Dua. Setidaknya, gue nggak akan benar-benar sendirian di lingkungan baru ini.
Tapi, ada satu hal lagi yang bikin gue tambah yakin kalau keputusan gue buat daftar di sini adalah langkah yang tepat. Saat gue melihat-lihat suasana sekitar, gue nggak bisa nggak memperhatikan kalau cewek-cewek di sekolah ini… kece semua. Serius, kayaknya SMA Dua ini punya daya tarik yang nggak bisa diremehkan, termasuk di bagian yang satu itu.
Setelah urusan tes selesai, yang nggak perlu gue bahas panjang lebar, intinya gue lulus dan tinggal menunggu MOS. Ya, Masa Orientasi Siswa, atau yang lebih cocok disebut Masa Orang Susah.
Hari pertama MOS berlalu dengan cukup membosankan. Rutinitas perkenalan, tugas-tugas aneh, dan ceramah dari kakak-kakak senior bikin gue nyaris ngantuk sepanjang hari. Setelah selesai, gue kepikiran buat kumpul-kumpul sama teman-teman sekelas gue waktu SMP. Ide spontan itu akhirnya bikin gue langsung ngehubungin partner in crime gue, si Angga.
"Ngumpul yuk, ngajak anak-anak kelas," kata gue waktu telepon Angga. Setelah negosiasi ala diplomat (yang sebenernya cuma obrolan ngalor-ngidul doang), kita sepakat dengan rencana berikut. Si Angga bertugas untuk ngirim SMS ke semua cewek di kelas SMP kita dulu. Sementara gue, seperti biasa, bertugas jemput anak-anak cowok di tongkrongan sambil cari lokasi buat tempat nongkrong nanti.
Baru aja gue mau nyalain motor buat berangkat, pandangan gue tertuju ke cewek yang lagi nunggu angkot di depan gerbang sekolah. Gue perhatiin lebih jelas, dan ternyata itu Febi. Dia keliatan sendirian nunggu angkot di jam-jam sepi kayak gini.
Gue sempet ragu, tapi akhirnya gue putusin buat nyamperin dia. Kasian juga kalau cewek harus nunggu lama sendirian di pinggir jalan, apalagi sekarang udah agak sore. "Feb, pulang bareng aja yuk," tawar gue sambil setengah berharap dia nggak nolak.
"Eh, lu Reka." Febi tersenyum tipis sambil melirik gue. "Iya nih, gue lagi nungguin angkot dari tadi nggak ada yang lewat."
"Kenapa nggak bareng sama yang lain?" tanya gue sambil nyenderin motor, penasaran juga kenapa dia sendirian.
"Oh, tadi gue ada perlu sama om gue. Guru di sini," jawabnya sambil nunjuk ke arah sekolah.
"Pantesan ketinggalan yang lain," kata gue sambil manggut-manggut. "Ya udah, bareng sama gue aja yuk. Daripada lu nungguin angkot entah kapan datangnya."
"Bukannya rumah lu beda arah sama rumah gue?" Dia keliatan agak ragu sambil ngerutin alis.
"Gak apa-apa. Gue sekalian ada perlu ke tongkrongan anak-anak SMP," gue jawab santai, berusaha meyakinkan.
"Serius nih nggak apa-apa? Nanti malah ngerepotin," katanya sambil melirik ke arah motor gue, kayak takut bakal nyusahin.
"Santai aja kali, gue nggak bakal tawarin kalau emang ngerepotin. Udah, naik aja, cepetan." Gue ketawa kecil sambil ngetok jok motor biar dia makin yakin. Akhirnya, setelah sedikit ragu, Febi naik juga ke motor gue.
Setelah gue pastikan Febi duduk nyaman di belakang, gue nyalain mesin motor dan mulai ngebawa motor dengan kecepatan yang menurut gue standar. Jalanan sore itu lumayan padat kendaraan, tapi gue tetap pede menerobos celah-celah sempit.
"Jangan cepet-cepet bawa motornya, gue takut," suara Febi terdengar pelan dari belakang.
"Hah? Apaan? Gue nggak denger," balas gue sambil setengah nengok ke arahnya.
"JANGAN NGEBUT BAWA MOTORNYA!" teriaknya, kali ini lebih keras.
"Gak usah pake teriak juga! Ya udah, pegangan kalau takut," jawab gue sambil ngegas lagi, santai tapi cukup cepat.
Awalnya gue kira dia bakal pegangan biasa, kayak narik ujung jaket atau pegang pinggiran jok motor. Tapi, ternyata dia malah langsung meluk gue erat-erat dari belakang. Serius, ini bukan meluk biasa. Rasanya kayak gue ini boneka beruang yang lagi dipeluk anak kecil sebelum tidur.
"Eh, peluknya santai aja kali," ujar gue setengah bercanda, walau dalam hati mulai merasa nggak konsen. Dada gue agak sesak, bukan karena pelukan Feby, tapi karena pikiran gue mulai nggak fokus ke jalanan.
"Emangnya tongkrongannya di mana sih?" tanya Febi sambil sedikit melongok dari belakang gue.
"Di warungnya Bi Imas," jawab gue. Tempat tongkrongan yang satu ini memang udah kayak markas besar buat gue dan anak-anak. Letaknya juga kebetulan nggak jauh dari rumah Febi, jadi gue cukup yakin dia tahu tempatnya. Gue sendiri tahu rumah Feby karena dulu waktu latihan upacara adat sekolah, kita sempat ngobrol banyak soal rumah masing-masing.
"Oh, deket rumah gue ya," sahutnya santai.
"Rencananya gue mau kumpul sama temen-temen sekelas SMP nih. Mau ikut nggak? Seru loh," tawar gue, setengah berharap dia mau gabung biar makin rame. Si Febi ini anaknya supel banget pasti klop sama anak-anak kelas gue.
"Enggak dulu deh, gue masih ada urusan juga. Lain kali mungkin," jawabnya sambil terdengar agak menyesal.
"Ya udah, lain kali jangan nolak ya," balas gue sambil nyengir, walaupun dalam hati rada kecewa juga dia nggak bisa ikut. Tapi ya, gue ngerti. Mungkin memang lagi ada hal yang lebih penting buat dia.
***
Dari semenjak hari pertama MOS, rutinitas baru gue dimulai: sering nganter Febi pulang ke rumahnya. Awalnya, alasan gue sederhana—emang mau mampir ke tongkrongan anak-anak dulu. Tapi, seiring waktu, tujuan itu mulai berubah. Sekarang, alasan utamanya jelas: PDKT.
"Eh, Feb, mau ikut ke tongkrongan nggak hari ini?" tanya gue santai sambil mengendarai si Item. Motor kesayangan gue ini emang udah jadi saksi perjalanan baru gue, termasuk soal Febi.
Febi yang duduk di belakang gue nggak hanya memegang erat, tapi udah mulai santai banget. Kadang dia nyender dengan dagu di pundak gue biar lebih gampang ngobrol, bikin jarak kita terasa makin dekat.
"Boleh juga tuh," jawab Febi. Suaranya terdengar ceria. "Lagian gue juga nggak ada kerjaan di rumah."
"Ya udah, langsung aja ke tongkrongan, ya?" ajak gue, berharap dia bakal setuju.
"Eh, jangan!" sergahnya cepat. "Pulang dulu ke rumah gue. Ganti baju dulu, ah."
"OK, siap. Kita ke rumah lu dulu, ya," balas gue sambil sedikit nyengir. Gimana nggak? Rasanya kayak ada kemajuan dalam usaha gue buat deketin dia.
Gue duduk di teras rumah Febi, menunggu dia ganti baju. Posisi gue ngadep ke taman yang ada di depan rumahnya. Rasanya, rumah ini seperti salah satu villa yang biasa gue lihat di film-film. Gede, megah, dan tamannya luar biasa terawat. Pohon-pohon kecil ditata rapi, ditambah bunga warna-warni yang bikin mata segar setiap kali ngeliatnya. Dari suasananya aja udah keliatan kalau keluarga Febi ini emang orang berada.
Sambil nunggu, pikiran gue sedikit melayang. Gue ngebayangin gimana nanti suasana di tongkrongan, terutama kalau gue bawa Febi bareng. Tapi tiba-tiba suara yang gue tunggu-tunggu membuyarkan lamunan.
"Sorry ya, gue lama ganti bajunya," suara Febi menggema dari dalam rumah, bikin gue otomatis menoleh.
Dan detik itu juga, gue terdiam. Febi memakai kaos ketat berwarna putih yang membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan lekuk tubuhnya yang proporsional tanpa berlebihan. Jaket jeans berwarna biru tua yang sedikit oversize ia kenakan sebagai pelengkap, memberikan kesan kasual tapi tetap stylish. Celana jeans ketat yang ia pakai membuat penampilannya makin sempurna, memperlihatkan betapa rapi dan modis gaya berpakaiannya. Rambutnya yang terurai bebas tampak lembut, tergerai hingga melewati bahu, sedikit bergerak karena angin. Sepatu sneakers putih yang ia kenakan melengkapi keseluruhan penampilannya, simpel tapi mencuri perhatian. Saat itu, Febi terlihat begitu alami, effortless, tapi tetap luar biasa cantik. Gue nggak bisa menahan diri untuk nggak terkesima melihatnya.
Gue nggak bisa mikir apa-apa selain 'Ini gue lagi mimpi ketemu bidadari, ya?'. Penampilannya beda banget dari yang gue bayangin selama ini. Gue kira dia cuman cewek yang percaya diri dan asik diajak ngobrol, tapi ternyata kalau bergaya dikit aja udah langsung berubah total. 'Damn, dia kok bisa secantik ini, sih?'
Gue mulai ngebayangin reaksi anak-anak di tongkrongan nanti. Kalau gue bawa Febi bareng, pasti mereka semua bakal iri. Tapi kemudian muncul pikiran lain yang sedikit ngejatuhin mood gue. Eh, jangan-jangan dia malah bakal malu jalan bareng gue?
"Reka? Kok ngelamun lu?" Febi melambaikan tangan di depan muka gue, bikin gue tersadar dari pikiran aneh-aneh tadi.
"Ah, enggak kok," gue jawab sambil cengengesan, berusaha nyembunyiin rasa grogi. "Gue cuma... ya, nungguin lu aja."
Febi cuman nyengir sambil ngebenerin tas kecil yang dia bawa. Gue menarik napas panjang, mencoba untuk nggak keliatan terlalu terpesona lagi. "Ya udah, yuk jalan," gue ngajak dia sambil buru-buru jalan duluan biar nggak keliatan wajah gue yang kayaknya udah sedikit memerah.
"Lu cantik banget, Feb." Tiba-tiba aja gue keceplosan ngomong begitu.
Beberapa saat kemudian, barulah gue nyadar apa yang udah gue omongin. Suasana mendadak jadi hening. Kita berdua cuma diem, nggak ada yang ngomong apa-apa. Rasanya otak gue berputar, nyoba nyari kalimat pembenaran, tapi nggak ada yang keluar. Gila, gue kok bisa salah tingkah begini?
Akhirnya, Febi yang memecah keheningan. "Ud… udah sore, berangkat yuk," ujarnya terbata-bata sambil tersenyum tipis. Senyumnya semakin menambah manis wajahnya, ditambah pipi yang merona merah tanda dia juga malu dengan perkataan spontan gue.
Di perjalanan ke tongkrongan, suasana terasa hening. Gue nggak berani buka pembicaraan, takutnya malah bikin suasana makin canggung.
"Thanks yah…" terdengar suara dari belakang gue.
"Thanks buat apa?" tanya gue dengan sedikit heran.
"Thanks udah bilang gue cantik," jawabnya dengan suara lembut.
"Biasa aja kali. Lagian emang lu cantik kok… he he," jawab gue santai, mencoba menyembunyikan rasa grogi yang masih ada.
Sambil terus mengendarai kuda besi andalan, gue coba untuk memecah keheningan dengan membanyol.Walau kadang garing, tapi lumayan bisa bikin suasana jadi ceria lagi. Gue juga cerita tentang kebodohan gue waktu SMP, sampai Febi bisa ketawa lepas banget. Tawanya benar-benar ceria, dan bikin gue ikut senang juga. Entah kenapa, kedengerannya renyah banget di kuping gue.
"Soal yang tadi…" kata Feby dengan suara lembut namun sedikit menggantung seakan ada perasaan ragu untuk melanjutkan.
"Soal apaan? Soal UN? Atau soal tes masuk SMA?" gue jawab dengan masih memakai nada bercanda.
"Waktu lu bilang gue cantik. Lu orang pertama yang bilang gue cantik, selain keluarga gue," jawabnya, sedikit tersenyum.
"Hah serius?Bohong banget lu, masa nggak pernah ada yang bilang lu cantik?"
Jelas gue nggak percaya. Orang bego mana yang bilang dia nggak cantik?
"Serius… makasih banget ya," tambahnya dengan suara yang penuh makna.
"Gue dulu orangnya gendut banget loh, dan nggak pede banget," jelas Febi tiba-tiba menceritakan masa-masa SD-nya. "Gue sering banget diejek, gendut lah, gajah lah."
Pengen rasanya gue nyaut dan bilang kita punya pengalaman yang sama. Tapi gue rasa Febi agak sentimental soal hal ini, mungkin karena cewek lebih mementingkan penampilan mereka, ejekan-ejekan itu lebih menyakitkan untuk Febi dibanding untuk gue dulu.
Beberapa lama febi bercerita tentang masa SD hingga pertengahan SMP dimana dia selalu di ejek habis-habisan. Suara Febi agak bergetar saat menceritakan semuanya. Sampai akhirnya Febi berhenti berbicara dan sepasang tangan yang melingkar di perut gw menjadi lebih erat lagi. Gue hanya bisa terdiam kembali. Si item gue pacu dengan kecepatan paling rendah. Berharap agar momen ini bertahan lebih lama walau pasti akan berakhir juga.