---
Hujan baru saja berhenti ketika Rion Kenzo melangkah keluar dari apartemennya. Aroma tanah basah dan udara segar yang menguar dari jalanan membuatnya memutuskan untuk berjalan kaki menuju kafe favoritnya. Langit senja di kota itu selalu menjadi favoritnya; warna jingga keunguan memeluk gedung-gedung tinggi, seakan mengingatkannya pada lukisan lama yang pernah dilihatnya di galeri seni.
Di sudut kafe yang biasa ia kunjungi, seorang pria dengan rambut hitam legam dan tatapan tajam duduk sendirian. Pria itu, Caine Chana, memiliki aura yang memikat. Sejak pertemuan pertama mereka dua bulan lalu, Rion tidak bisa mengabaikan keberadaannya. Caine seperti teka-teki yang sulit terpecahkan—tenang, penuh misteri, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Rion ingin mendekat.
"Kau selalu memilih tempat yang sama," suara bariton itu menyapa Rion, yang baru saja meletakkan tasnya di kursi di depan Caine.
"Dan kau selalu ada di sini lebih dulu," balas Rion, senyumnya tipis namun penuh makna.
Percakapan mereka mengalir ringan, membahas hal-hal remeh seperti cuaca hingga topik lebih dalam tentang mimpi dan ambisi. Namun malam itu, ada ketegangan halus di antara mereka—seperti dua magnet yang mendekat tapi takut saling bersentuhan.
Ketika kafe mulai sepi, Caine mengalihkan pandangannya dari gelas kopinya ke arah Rion. "Kenapa kau selalu datang ke sini?" tanyanya tiba-tiba.
Rion terdiam sejenak, mencari jawaban yang jujur namun tidak terlalu blak-blakan. "Mungkin... aku menyukai tempat ini. Dan mungkin, aku menyukai seseorang yang sering ada di sini."
Mata Caine menyipit, senyum samar terbit di sudut bibirnya. "Berani sekali," gumamnya, tapi tidak ada tanda keberatan.
Malam itu, mereka berjalan bersama menuju apartemen Caine. Hujan rintik-rintik kembali turun, namun tidak ada dari mereka yang mempedulikannya. Di dalam apartemen yang hangat, dengan lampu temaram, percakapan mereka berubah menjadi keheningan yang sarat makna.
Rion melangkah mendekat, mencoba membaca reaksi Caine. Pria itu hanya berdiri, matanya menatap dalam-dalam, seolah menantang Rion untuk melanjutkan apa yang ia mulai. Perlahan, jarak di antara mereka hilang. Tangan Rion menyentuh wajah Caine dengan lembut, jemarinya menyapu garis rahang yang tegas.
"Aku tidak ingin ini hanya sekadar permainan," kata Rion, suaranya nyaris berbisik.
Caine mengangguk pelan, lalu menunduk sedikit hingga kening mereka bersentuhan. "Aku juga tidak," jawabnya, kali ini lebih serius.
Apa yang dimulai dengan tatapan tajam dan percakapan sederhana di kafe kini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Mereka tahu, malam itu adalah awal dari perjalanan yang tak akan mudah, tapi juga tak akan mereka sesali.
---
Malam itu berlalu dengan penuh keheningan yang nyaman. Setelah percakapan mereka, Caine memutuskan untuk menuangkan segelas anggur untuk masing-masing. Mereka duduk di sofa, membiarkan suasana menjadi saksi dari keterbukaan yang perlahan terbangun.
"Kau tahu," Rion memulai, memainkan gelas anggurnya. "Aku biasanya tidak seperti ini."
"Seperti ini bagaimana?" Caine menatapnya penuh minat.
"Begitu… terbuka. Dengan seseorang yang belum terlalu lama kukenal." Rion menghela napas, membiarkan kata-katanya meluncur begitu saja. "Tapi denganmu, entah kenapa semuanya terasa… berbeda."
Caine tersenyum kecil, senyum yang hampir tidak terlihat tapi cukup untuk membuat Rion merasa lega. "Aku paham. Kita semua punya tembok yang susah dihancurkan." Ia berhenti sejenak, memandang ke arah jendela di mana hujan terus menari di luar. "Tapi aku senang kau mau mencobanya denganku."
Ada keheningan lain yang mengisi ruangan. Namun kali ini, keheningan itu seperti sebuah jalinan yang erat, membungkus mereka berdua dalam keintiman yang tenang.
Caine mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, hingga bahu mereka bersentuhan. "Apa kau takut, Rion?" tanyanya pelan.
Rion menoleh, mata cokelatnya bertemu dengan tatapan dalam Caine. "Takut untuk apa?"
"Untuk jatuh. Untuk terluka. Untuk merasa."
Rion tertawa kecil, lebih karena dirinya sendiri. "Tentu saja aku takut. Tapi, kalau tidak pernah mencoba, aku tidak akan tahu, kan?"
Caine mengangguk pelan, puas dengan jawaban itu. Ia meraih tangan Rion, menggenggamnya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita coba bersama."
Malam itu menjadi awal dari kebiasaan baru. Rion dan Caine mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Hari-hari mereka diisi dengan tawa dan juga perdebatan kecil, seperti siapa yang lebih baik dalam memasak atau memilih tempat makan malam.
Namun, di balik semua itu, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Sebuah rahasia yang Caine simpan rapat-rapat, sesuatu yang ia tahu bisa mengubah segalanya.
Suatu malam, setelah berbulan-bulan bersama, Rion merasakan sesuatu yang aneh pada Caine. Pria itu tampak lebih pendiam dari biasanya, seperti ada sesuatu yang membebaninya.
"Kau baik-baik saja?" Rion bertanya, memiringkan kepalanya sambil menatap Caine.
Caine menghela napas panjang, matanya berkabut seperti langit sebelum badai. "Ada sesuatu yang perlu kau tahu."
Rion merasa dadanya berdebar lebih cepat. "Apa itu?"
"Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Ada bagian dari hidupku yang belum pernah kuceritakan padamu, karena aku takut… itu akan membuatmu pergi."
Hening sejenak. Rion meletakkan tangannya di atas tangan Caine, menenangkannya. "Katakan saja, Caine. Aku di sini, dan aku tidak akan pergi tanpa alasan."
Caine mengangkat wajahnya, menatap Rion dengan tatapan yang penuh keraguan sekaligus harapan. "Aku… bukan hanya seorang desainer interior seperti yang kubilang. Aku terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang mungkin berbahaya bagi kita berdua."
Rion menahan napas. Ia tidak tahu apa yang akan Caine katakan selanjutnya, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan pria ini menghadapi semuanya sendirian.
"Caine," katanya akhirnya, suaranya tegas. "Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama. Aku di sini bukan hanya untuk hal-hal yang mudah."
Tatapan Caine melunak, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar ingin tinggal di sisinya—apa pun yang terjadi.
Namun, mereka berdua tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Di balik senja yang indah, ada badai yang mungkin menanti. Tapi mereka memilih untuk tetap berjalan, karena cinta selalu layak untuk diperjuangkan.
---
Caine tidak tahu, malam itu Rion juga menyimpan rahasia. Di balik senyumnya yang menenangkan dan kata-katanya yang penuh keyakinan, ada bagian dari hidup Rion yang tak pernah ia bagikan. Bagian yang kelam, penuh risiko, dan sudah menjadi bagian darinya sejak lama.
Setelah Caine tertidur di sofa, kelelahan oleh beban rahasianya yang akhirnya ia ungkapkan, Rion berdiri perlahan, memastikan tidak membangunkannya. Ia melangkah menuju dapur, mengambil ponselnya dari saku dan mengetik pesan singkat:
"Dia belum tahu. Jangan lakukan apa pun sampai aku memberimu sinyal."
Beberapa detik kemudian, sebuah balasan masuk:
"Kita tidak punya banyak waktu, Rion. Orang-orang mulai bertanya. Pastikan dia tidak menjadi masalah."
Rion menatap layar ponselnya, lalu menghapus pesan itu dengan cepat. Wajahnya berubah serius, kontras dengan kehangatan yang biasa ia tunjukkan pada Caine.
###
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka berjalan seperti biasa—atau setidaknya tampak begitu. Mereka masih pergi ke kafe favorit mereka, menghabiskan malam dengan diskusi mendalam, dan sesekali bercanda tentang hal-hal sepele. Namun, di balik itu semua, Rion mulai menyusun rencana.
Caine, di sisi lain, mencoba membuka diri lebih banyak. Ia menceritakan sebagian dari pekerjaannya yang sebenarnya, meskipun masih menyimpan detail yang lebih gelap. Ia mengungkapkan bahwa ia terhubung dengan sebuah jaringan yang bekerja di bawah radar, menangani transaksi ilegal yang melibatkan benda-benda seni curian.
"Aku tidak bangga dengan ini," kata Caine suatu malam. "Tapi aku tidak punya pilihan. Mereka yang memulai semua ini, dan aku hanya... terjebak."
Rion mendengarkannya dengan saksama, menahan diri agar tidak menunjukkan emosi apa pun. Dalam benaknya, ada konflik yang terus bergemuruh. Ia ingin melindungi Caine, tapi ia juga tahu, cepat atau lambat, rahasianya sendiri akan terungkap.
###
Suatu malam, semuanya memuncak. Rion sedang duduk di ruang tamu apartemennya ketika teleponnya berdering. Ia melihat nama di layar—salah satu "atasannya" dalam dunia yang sama sekali tidak diketahui Caine.
"Kenzo," suara di ujung telepon terdengar dingin. "Ada masalah. Transaksi berikutnya melibatkan seseorang yang mungkin kau kenal."
"Siapa?" Rion bertanya, meskipun hatinya sudah menebak jawabannya.
"Caine Chana."
Rion terdiam, tubuhnya membeku seketika. Ia mencoba meredam kepanikan yang mulai merayap di dalam dirinya. "Apa maksudmu?"
"Dia terlalu dekat dengan salah satu target kita. Kau tahu aturannya. Jika dia menjadi ancaman, kau harus menyelesaikannya sendiri."
Panggilan itu terputus sebelum Rion sempat merespons. Ia melemparkan ponselnya ke sofa, napasnya berat. Kini, ia dihadapkan pada pilihan yang tidak pernah ia duga harus ia buat.
###
Caine, yang pulang lebih awal malam itu, melihat Rion duduk di ruang tamu, wajahnya tegang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Caine, mendekati Rion.
Rion mencoba tersenyum, meskipun jelas terlihat dipaksakan. "Hanya lelah. Ada banyak hal di kepala."
Caine duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tahu, kau juga bisa berbicara padaku. Aku sudah menceritakan sebagian dari diriku. Sekarang giliranmu."
Rion terdiam, menimbang apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Namun, ia tahu bahwa jika ia membuka rahasianya sekarang, Caine mungkin tidak akan pernah memaafkannya.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawab Rion akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir."
Namun, dalam hati, ia tahu waktu itu hampir habis.
###
Malam itu, saat Caine tertidur, Rion kembali menerima pesan dari atasannya. Kali ini, pesannya jelas:
"Dia harus pergi. Besok malam."
Rion meremas ponselnya dengan marah. Ia menatap Caine yang tidur dengan damai, wajahnya terlihat begitu rapuh dan tak bersalah. Dalam benaknya, Rion tahu bahwa ia hanya punya dua pilihan: mengkhianati Caine atau mengkhianati organisasinya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rion merasa takut—bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang ia cintai.
Bersambung...