Chereads / Di Balik Kabut Senja / Chapter 1 - Bab 1

Di Balik Kabut Senja

zahirotun_nafsih
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 288
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

---

Hujan baru saja berhenti ketika Rion Kenzo melangkah keluar dari apartemennya. Aroma tanah basah dan udara segar yang menguar dari jalanan membuatnya memutuskan untuk berjalan kaki menuju kafe favoritnya. Langit senja di kota itu selalu menjadi favoritnya; warna jingga keunguan memeluk gedung-gedung tinggi, seakan mengingatkannya pada lukisan lama yang pernah dilihatnya di galeri seni.

Di sudut kafe yang biasa ia kunjungi, seorang pria dengan rambut hitam legam dan tatapan tajam duduk sendirian. Pria itu, Caine Chana, memiliki aura yang memikat. Sejak pertemuan pertama mereka dua bulan lalu, Rion tidak bisa mengabaikan keberadaannya. Caine seperti teka-teki yang sulit terpecahkan—tenang, penuh misteri, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Rion ingin mendekat.

"Kau selalu memilih tempat yang sama," suara bariton itu menyapa Rion, yang baru saja meletakkan tasnya di kursi di depan Caine.

"Dan kau selalu ada di sini lebih dulu," balas Rion, senyumnya tipis namun penuh makna.

Percakapan mereka mengalir ringan, membahas hal-hal remeh seperti cuaca hingga topik lebih dalam tentang mimpi dan ambisi. Namun malam itu, ada ketegangan halus di antara mereka—seperti dua magnet yang mendekat tapi takut saling bersentuhan.

Ketika kafe mulai sepi, Caine mengalihkan pandangannya dari gelas kopinya ke arah Rion. "Kenapa kau selalu datang ke sini?" tanyanya tiba-tiba.

Rion terdiam sejenak, mencari jawaban yang jujur namun tidak terlalu blak-blakan. "Mungkin... aku menyukai tempat ini. Dan mungkin, aku menyukai seseorang yang sering ada di sini."

Mata Caine menyipit, senyum samar terbit di sudut bibirnya. "Berani sekali," gumamnya, tapi tidak ada tanda keberatan.

Malam itu, mereka berjalan bersama menuju apartemen Caine. Hujan rintik-rintik kembali turun, namun tidak ada dari mereka yang mempedulikannya. Di dalam apartemen yang hangat, dengan lampu temaram, percakapan mereka berubah menjadi keheningan yang sarat makna.

Rion melangkah mendekat, mencoba membaca reaksi Caine. Pria itu hanya berdiri, matanya menatap dalam-dalam, seolah menantang Rion untuk melanjutkan apa yang ia mulai. Perlahan, jarak di antara mereka hilang. Tangan Rion menyentuh wajah Caine dengan lembut, jemarinya menyapu garis rahang yang tegas.

"Aku tidak ingin ini hanya sekadar permainan," kata Rion, suaranya nyaris berbisik.

Caine mengangguk pelan, lalu menunduk sedikit hingga kening mereka bersentuhan. "Aku juga tidak," jawabnya, kali ini lebih serius.

Apa yang dimulai dengan tatapan tajam dan percakapan sederhana di kafe kini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Mereka tahu, malam itu adalah awal dari perjalanan yang tak akan mudah, tapi juga tak akan mereka sesali.

---

Di Balik Kabut Senja (Lanjutan)

Malam itu berlalu dengan penuh keheningan yang nyaman. Setelah percakapan mereka, Caine memutuskan untuk menuangkan segelas anggur untuk masing-masing. Mereka duduk di sofa, membiarkan suasana menjadi saksi dari keterbukaan yang perlahan terbangun.

"Kau tahu," Rion memulai, memainkan gelas anggurnya. "Aku biasanya tidak seperti ini."

"Seperti ini bagaimana?" Caine menatapnya penuh minat.

"Begitu… terbuka. Dengan seseorang yang belum terlalu lama kukenal." Rion menghela napas, membiarkan kata-katanya meluncur begitu saja. "Tapi denganmu, entah kenapa semuanya terasa… berbeda."

Caine tersenyum kecil, senyum yang hampir tidak terlihat tapi cukup untuk membuat Rion merasa lega. "Aku paham. Kita semua punya tembok yang susah dihancurkan." Ia berhenti sejenak, memandang ke arah jendela di mana hujan terus menari di luar. "Tapi aku senang kau mau mencobanya denganku."

Ada keheningan lain yang mengisi ruangan. Namun kali ini, keheningan itu seperti sebuah jalinan yang erat, membungkus mereka berdua dalam keintiman yang tenang.

Caine mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, hingga bahu mereka bersentuhan. "Apa kau takut, Rion?" tanyanya pelan.

Rion menoleh, mata cokelatnya bertemu dengan tatapan dalam Caine. "Takut untuk apa?"

"Untuk jatuh. Untuk terluka. Untuk merasa."

Rion tertawa kecil, lebih karena dirinya sendiri. "Tentu saja aku takut. Tapi, kalau tidak pernah mencoba, aku tidak akan tahu, kan?"

Caine mengangguk pelan, puas dengan jawaban itu. Ia meraih tangan Rion, menggenggamnya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita coba bersama."

Malam itu menjadi awal dari kebiasaan baru. Rion dan Caine mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Hari-hari mereka diisi dengan tawa dan juga perdebatan kecil, seperti siapa yang lebih baik dalam memasak atau memilih tempat makan malam.

Namun, di balik semua itu, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Sebuah rahasia yang Caine simpan rapat-rapat, sesuatu yang ia tahu bisa mengubah segalanya.

Suatu malam, setelah berbulan-bulan bersama, Rion merasakan sesuatu yang aneh pada Caine. Pria itu tampak lebih pendiam dari biasanya, seperti ada sesuatu yang membebaninya.

"Kau baik-baik saja?" Rion bertanya, memiringkan kepalanya sambil menatap Caine.

Caine menghela napas panjang, matanya berkabut seperti langit sebelum badai. "Ada sesuatu yang perlu kau tahu."

Rion merasa dadanya berdebar lebih cepat. "Apa itu?"

"Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Ada bagian dari hidupku yang belum pernah kuceritakan padamu, karena aku takut… itu akan membuatmu pergi."

Hening sejenak. Rion meletakkan tangannya di atas tangan Caine, menenangkannya. "Katakan saja, Caine. Aku di sini, dan aku tidak akan pergi tanpa alasan."

Caine mengangkat wajahnya, menatap Rion dengan tatapan yang penuh keraguan sekaligus harapan. "Aku… bukan hanya seorang desainer interior seperti yang kubilang. Aku terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang mungkin berbahaya bagi kita berdua."

Rion menahan napas. Ia tidak tahu apa yang akan Caine katakan selanjutnya, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan pria ini menghadapi semuanya sendirian.

"Caine," katanya akhirnya, suaranya tegas. "Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama. Aku di sini bukan hanya untuk hal-hal yang mudah."

Tatapan Caine melunak, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar ingin tinggal di sisinya—apa pun yang terjadi.

Namun, mereka berdua tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Di balik senja yang indah, ada badai yang mungkin menanti. Tapi mereka memilih untuk tetap berjalan, karena cinta selalu layak untuk diperjuangkan.

~~Bersambung~~