Langit Jakarta mulai memerah, menandakan senja yang indah di atas arena balap motor yang penuh dengan hiruk-pikuk persiapan. Bau bensin dan karet yang terbakar memenuhi udara, sementara suara mesin menderu-deru menjadi latar belakang yang mendominasi suasana. Di tengah keramaian itu, Rania Adikara berdiri dengan tatapan tajam, fokus pada pekerjaannya. Dia bukan seorang penggemar balap motor, tapi tugas sebagai jurnalis investigasi membuatnya berada di tempat ini.
Rania mengenakan kemeja putih sederhana dan jeans gelap, namun aura profesionalisme terpancar dari caranya membawa diri. Di tangannya ada kamera DSLR yang selalu siap menangkap momen penting. Hari ini, ia tidak hanya mencari foto bagus; ia mencari kebenaran.
"Apa kau yakin Arkan Wijaya akan berbicara?" tanya Dito, fotografer freelance yang bekerja dengannya hari itu.
"Dia harus," jawab Rania tanpa ragu. "Dia adalah pusat skandal ini. Jika aku ingin membongkar semuanya, aku harus mulai dari dia."
Garasi Arkan Wijaya adalah tempat yang sibuk. Kru balap mondar-mandir memeriksa motor, mengganti ban, dan berbicara tentang strategi balapan. Namun, di tengah kesibukan itu, Arkan sendiri tampak tenang. Dia duduk di sudut, mengenakan jaket kulit hitam dan celana balap. Helmnya diletakkan di atas meja, sementara dia meminum air mineral dengan pandangan kosong.
Rania memperhatikannya dari kejauhan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dia tahu ini adalah kesempatan langka untuk berbicara langsung dengan pria yang menjadi fokus liputannya. Dengan langkah mantap, dia mendekati Arkan, yang menyadari kehadirannya sebelum dia sempat membuka mulut.
"Kau bukan kru balap," kata Arkan tanpa menoleh. Suaranya dalam dan sedikit serak, namun penuh otoritas.
"Rania Adikara," dia memperkenalkan diri. "Saya jurnalis dari Metro Horizon. Saya ingin bicara tentang tuduhan korupsi yang melibatkan Anda dan tim Anda."
Arkan menoleh perlahan, tatapannya dingin dan tajam. "Tuduhan? Itu hanya cerita yang dibuat-buat media untuk menjual berita. Kenapa aku harus membuang waktuku untuk membahasnya?"
Rania tidak gentar menghadapi sikap defensif Arkan. Dia melipat tangannya di dada dan menatap balik dengan percaya diri. "Karena jika Anda tidak bersalah, ini kesempatan Anda untuk menjelaskan. Membiarkan rumor berkembang hanya akan menghancurkan reputasi Anda."
"Reputasiku?" Arkan tertawa kecil, tapi tidak ada humor dalam suaranya. "Kau pikir aku peduli tentang apa yang orang lain pikirkan?"
"Kalau begitu, kenapa Anda di sini, bertahan di dunia yang penuh dengan sorotan? Kenapa tidak menyerah saja?" tanya Rania dengan nada menantang.
Arkan terdiam. Kata-kata Rania tampaknya mengenai sesuatu yang mendalam. Tapi dia segera kembali ke sikap dinginnya. "Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini. Kalau kau mau tulis sesuatu, tulislah apa pun yang kau mau. Itu tidak akan mengubah apa pun."
Rania tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Sejak kecil, dia diajarkan untuk tidak mundur dari tantangan, terutama ketika dia tahu dirinya berada di jalur yang benar. Kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan misterius lima tahun lalu hanya membuatnya semakin gigih. Tragedi itu mendorongnya untuk menjadi jurnalis, berharap bisa menemukan kebenaran di dunia yang penuh kebohongan.
Saat dia meninggalkan garasi, pikirannya dipenuhi oleh tatapan Arkan yang penuh rahasia. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Apakah dia benar-benar bersalah, atau hanya pion dalam permainan yang lebih besar?
Sementara itu, Arkan kembali ke motor balapnya. Meski sikapnya tenang, pikirannya gelisah. Pertemuan singkat dengan Rania mengguncang dirinya lebih dari yang dia harapkan. Dia tidak pernah suka wartawan, tapi ada sesuatu tentang wanita itu—keteguhan hatinya, caranya berbicara, atau mungkin caranya menatap langsung ke matanya tanpa rasa takut.
"Arkan, fokus!" suara salah satu kru membangunkannya dari lamunannya.
Dia mengangguk dan mengenakan helmnya, mempersiapkan diri untuk sesi latihan terakhir. Motor melaju di lintasan dengan kecepatan penuh, angin dingin menerpa tubuhnya. Ini adalah satu-satunya tempat di mana dia merasa bebas, jauh dari tekanan dunia luar.
Namun, saat dia melaju di tikungan tajam, sekelebat ingatan kembali menghantamnya—wajah Rania, dan pertanyaannya yang menusuk: Kenapa tidak menyerah saja?
Setelah latihan selesai, Arkan kembali ke garasi dengan pikiran yang lebih berat daripada sebelumnya. Dia tahu ada banyak hal yang dipertaruhkan. Nadia Laksmi, wanita yang mengendalikan tim balapnya, bukan seseorang yang bisa dianggap enteng. Dia adalah alasan kenapa Arkan tetap bertahan meski tahu dia sedang dimanfaatkan.
"Arkan, besok media akan datang untuk konferensi pers. Pastikan kau tetap pada skrip," kata Nadia dengan nada dingin saat dia masuk ke garasi. Wanita itu mengenakan setelan bisnis rapi, dengan rambut disanggul sempurna. Tatapannya penuh kendali, seperti selalu.
Arkan hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu melawan Nadia adalah keputusan yang berbahaya, tapi dia juga tahu bahwa terus-menerus berada di bawah kendalinya adalah bom waktu yang siap meledak.
Di sisi lain, Rania kembali ke apartemennya dan langsung membuka laptop. Dia mulai menggali lebih dalam tentang hubungan Arkan dan tim balapnya. Dia menemukan beberapa artikel lama tentang insiden-insiden yang mencurigakan—kecelakaan pembalap lain, penggelapan dana sponsor, dan hubungan dekat tim dengan pejabat tinggi.
"Ada sesuatu yang besar di sini," gumam Rania pada dirinya sendiri. "Dan aku akan menemukannya."
Dia tidak menyadari bahwa langkahnya ini telah menarik perhatian Nadia Laksmi. Wanita itu memiliki mata-mata di mana-mana, termasuk di dunia media. Ketika salah satu asisten Nadia melaporkan tentang aktivitas Rania, Nadia hanya tersenyum kecil. "Kita lihat seberapa jauh dia bisa pergi."
Malam itu, Rania menerima pesan misterius di ponselnya: Berhenti menggali, atau kau akan menyesal. Pesan itu tidak memiliki nama pengirim, tapi dia tahu siapa yang mungkin ada di baliknya.
Dia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar, tapi tatapan matanya penuh tekad. "Kalian mungkin bisa menakut-nakuti orang lain. Tapi bukan aku."
Di tempat lain, Arkan duduk sendirian di balkon apartemennya. Di tangannya ada foto lama keluarganya—ibunya, adik perempuannya, dan dirinya sendiri ketika masih kecil. Dia tahu bahwa keputusan besar akan segera datang. Dan untuk pertama kalinya, dia bertanya-tanya apakah Rania Adikara mungkin adalah orang yang bisa membantunya melawan sistem yang telah menjebaknya.