Di bawah cahaya rembulan dan hamparan bintang yang tersebar dicerahnya langit malam. Sembilan hunter berkemah di dataran rendah gurun Gibia. Hari ini adalah hari kedua mereka ditugaskan oleh Hunter Club untuk memburu seekor monster ular raksasa yang meneror para pedagang serta warga yang melintasi jalur penghubung antara kota Forlstrea dan kota Yerm. Ya – gurun ini terletak di negara Orchisilea memisahkan antara kota Forlstrea dan Yerm. Jalur ini merupakan jalur perdagangan yang aman antara kedua kota karena meskipun cuaca panas namun tidak begitu ekstrim serta terdapat beberapa oasis di sepanjang jalur ini memungkinkan orang-orang yang melintasi jalur ini dapat beristirahat dengan nyaman. Begitu juga dengan cuacanya yang stabil yang jarang diterjang badai.
Pada awalnya, kerajaan Orchisilea memerintahkan para Knight untuk menangani velibra tersebut. Karena merekalah alat militer sekaligus penjaga perdamaian dalam negeri. Akan tetapi, sebuah permintaan khusus datang dari para pedagang dan meminta para hunter untuk menangani teror monster tersebut.
Rombongan ini terdiri dari empat orang defensive, tiga orang attacker dan dua orang healer dari class B hingga A kecuali ketua misi ini yang berada di class platinum. Masing-masing hunter memiliki peran mereka. Pembagian kekuatan di dasarkan pada kecocokan Hunter dengan batuan liver monster beku yang dapat memberikan energi sihir pada manusia.
Malam ini mereka nampak berkumpul bersama menyalakan api unggun. Mereka duduk bersama, saling bercerita. Tampak ada seseorang yang sedang mengasah pedangnya dengan lihai. Walaupun beberapa diantara mereka tidak saling kenal tetapi suasana tidak begitu tegang. Mereka telah akrab satu sama lain. Salah satu diantara mereka ada yang suka mengoceh. Dan ia adalah yang paling menghidupkan suasana malam ini.
Diantara keriuhan itu, Acton muncul dari balik tenda seraya membawa secarik kertas yang telah ia buat menjadi gulungan kecil. Acton berjalan melewati kumpulan hunter yang sedang berkumpul itu.
"Hei Acton, apa kau tak mau dengarkan ocehanku?" tanya pria yang paling tidak bisa diam itu.
Acton masih tetap berjalan ke depan seraya menjawab, "ya…nanti saja, akum au selesaikan urusanku."
"Ha? Lupakan kerjaanmu di capital jika kau memang mau berburu," sindir pria itu.
Kemudian seseorang memegang bahu pria yang cerewet itu, "sudahlah Frangk, Acton itu sibuk tak seperti dirimu," tegur pria berjenggot yang duduk disampingnya.
Acton berjalan meninggalkan keriuhan para hunter. Ia segera berjalan ke tepi tebing dataran rendah. Ia mendekati seekor burung hantu yang di rantai di atas sebuah ranting kayu kokoh. Ia segera melipat suratnya dan menjepitnya di kaki burung itu. Lalu melepasnya, membiarkan ia terbang ke kediamannya di capital — mengantarkan pesan darinya. Acton menatap kepergian burung hantu tersebut. Hingga ia mendengar suara langkah kaki mendekatinya.
"Kau pasti sibuk sekali."
Suara langkah kaki itu diiringi oleh suara seorang hunter. Acton menengok ke belakang menatap kearah pria yang mendekatinya. Pria itu memiliki warna mata abu-abu dengan pupil mata oranye. Rambutnya sedikit gondrong dan poninya dibelah tengah. Wrana rambutnya juga memiliki warna abu-abu kehitaman.
"Tidak juga," jawab Acton cepat sambil membalikkan badannya.
"Aku tidak menyangka akan satu tim dengan orang sehebat dirimu," puji pria muda yang tampaknya seumuran dengan Acton.
"Aku hanyalah Hunter di class A, aku tidak sehebat itu," jawab Acton pada pujian si pria.
Sebastian tersenyum kecil menatapnya. Sementara Acton menatap Sebastian erat karena sebenarnya, ia merasakan sesuatu aura yang aneh dari pria itu. Entah — sebuah aliran kekuatan kecil mengalir darinya. Sebenarnya Acton telah merasakan keanehan itu sejak mereka memasuki gurun. Akan tetapi, Acton belum berani memastikan apa yang berasal dari si pria berambut abu-abu.
"Oh ya, nama mu Sebastian bukan?" Acton bertanya.
"Iya tuan muda Acton," Sebastian menjawab dengan senyumannya.
Mereka terdiam sesaat, namun Acton cukup terganggu dengan aliran kekuatan yang muncul dari Sebastian. Hingga akhirnya ia mulai bertanya, "Apa yang ada dalam sakumu?"
"Hm? Saku?" Sebastian segera mengarahkan pandangan ke saku celana kirinya. "Memang hebat kekuatan seorang Knight of Honor. Indra yang sangat tajam," Sebastian merogoh sakunya.
Sebuah botol kecil muncul dari dalam saku Sebastian. Cairan berwarna merah pekat kehitaman itu entah kenapa bagi Acton cukup mengganggunya. Acton mendekat untuk melihat apa yang ada di dalam botol tersebut, "jadi apa itu?" Tanya Acton.
"Ini hanya sebuah potion yang sedang dikembangkan oleh temanku. Dia sedang mencoba mengembangkan potion anti racun dan aku menawarkan diri untuk menjadi kelinci percobaannya," Sebastian menjelaskan dengan wajah yang terlihat senang membanggakan temannya.
Acton sedikit curiga, karena potion biasa tak akan memiliki sesuatu seperti itu. Selain itu, entah kenapa raut wajah Sebastian terlihat sangat riang yang aneh. Melihat perangainya sedikit mencurigakan Acton berusaha untuk waspada kepadanya.
"Acton! Sebastian!" teriak pria yang tadi menegur Frangk. "Kemarilah!" ia memanggil keduanya untuk kembali berkumpul di depan api unggun.
Acton segera memalingkan wajahnya dan menatap kea rah kumpulan hunter yang berada di belakang Sebastian. Setelah panggilan itu, tiba-tiba kekuatan aneh yang Acton rasakan menghilang.
Sebastian berbalik, "sepertinya ketua Ryann memanggil kita," kata Sebastian sembari berjalan menuju kerumunan.
Setelah berada dalam kebingungan dikarenakan aliran kekuatan asing, akhirnya Acton mengikuti Sebastian menuju kerumunan. Matanya tertuju pada punggung Sebastian yang berjalan perlahan di depannya. Acton mengikutinya kea pi unggun, dia masih merasa perlu mengawasi Sebastian untuk memastikan darimana asal kekuatan itu mengalir.
Acton dan Sebastian yang telah sampai di kerumunan segera mengambil tempat duduk. Sepertinya ketua Ryann ingin memberikan sedikit briefing untuk para anggotanya.
"Karena semuanya sudah berkumpul. Aku akan membagi jadwal jaga malam ini. Silahkan semuanya ambil stik yang aku bawa. Untuk kalian yang telah berjaga kemarin malam kalian tak perlu mengambil tugas jaga lagi," lalu ketua Ryann berjalan memutar agar para anggotanya mengambil satu persatu stik tersebut. "Kalian yang mendapat satu garis langsung berjaga. Satu orang berjaga tiap tiga jam sekali," lanjutnya menjelaskan.
Satu-persatu anggota mengambil stik tersebut dan masing-masing melihat pada stik apakah mereka mendapat tugas jaga atau tidak.
"Yah…sial aku duluan…" keluh seorang hunter yang melihat stiknya memiliki satugaris.
"Baiklah Knate, kau bersiap ya. Hmm…sepertinya kau berikutnya ya Zecane," tunjuk ketua Ryann pada hunter lain.
Hunter bernama Zecane itu hanya menjawab dengan mengangkat stiknya ke atas kepala dan menurunkannya kembali. Dan satu lagi tugas jaga hari ini adalah seorang gadis berambut ikal dengan kulit eksotis. Hingga stik itu habis diambil, anggota tugas berjaga malam ini telah ditentukan yaitu Knate, Zecane dan terakhir Rochell.
Ketua berdiri di dekat api unggun seraya berkata, "besok kita akan menebas kepala velibra. Sebelum para knight menebasnya, kita harus mengerahkan tenaga kita sebagai hunter, oke??" Ketua Ryann tersenyum mencoba menyemangati anggotanya.
Beberapa anggota berteriak penuh semangat. Acton tak mengatakan sepatah katapun sementara Sebastian hanya ikut tersenyum kecil. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan antara mereka berdua entah apa itu.
"Baiklah, kita harus tidur lebih awal untuk dapat observasi monster ini besok," lanjut ketua Ryann.
Setelah penentuan tugas jaga malam. Para anggota yang tidak mendapat tugas mulai memasuki tenda mereka masing-masing. Begitu juga dengan mereka yang berjaga untuk shift selanjutnya. Acton masuk ke dalam tendanya. Diikuti seorang hunter pria yang ikut masuk ke dalam tenda. Acton memperbaiki matrasnya sedikit sebelum dia memakainya untuk tidur.
"Tenang saja tuan muda, itu aman kok," celetuk pria hunter yang baru saja masuk.
Acton masih memperbaiki matras miliknya sambil berkata, "aku hanya memperbaiki matras ini sedikit."
Pria hunter itu melemparkan dirinya ke matras. Setelah itu dia memiringkan badannya dan menyangga kepalanya agar tidak menempel ke matras. Dia menatap Acton yang duduk melepas alas kakinya sambil nyengir melihat Acton, "aku penasaran kenapa kau gabung dengan grup hunter yang bahkan hampir tidak diakui setara dengan knight."
Acton yang masih sibuk melepas alas kakinya pun menjawab, "aku hanya ingin menyalurkan kekuatanku bukan terlibat di dalamnya," Acton meletakkan alas kakinya sejajar. Dia sangat rapi walaupun ia berada di alam liar. Cahaya sayap monster fera berpendar-pendar sedikit tidak stabil di kegelapan.
Pria hunter itu kemudian membaringkan badannya, "aku penasaran kenapa kau tak jadi Knight of Honor saja malah memilih menjadi anggota pasif disana. Bukankah lebih asik menjadi salah satu dari mereka?" celetuknya.
Acton menatap pria itu ditemani cahaya remang-remang. Ia tak memberikan komentar pada teman satu tendanya tersebut. Acton duduk dengan posisi membungkukkan badannya dan kedua tangan yang bertumpu di lutut.
"Dianggap pahlawan setiap harinya padahal mereka tidak menangkap satupun penyihir lagi..." pria itu melanjutkan ocehannya lalu suaranya tercekat sambil menahan tawa, "padahal sekarang kebanyakan mereka menuduh warga sipil sebagai penyihir dan dengan sembarang membakar mereka."
Mendengar pernyataan itu Acton masih terdiam. Ada beberapa hal dalam pikirannya berputar saat membahas soal penyihir. Memang—ribuan tahun lalu para knight berperang melawan para penyihir. Namun sekarang para penyihir hampir tiada. Mereka juga telah mengasingkan diri mereka di benua kecil Exapona negeri para dwarf.
"Mungkin kau tak terlalu mengerti dengan isu-isu seperti ini. Kau sendiri juga tampak tak peduli dengan apa yang terjadi bukan?" dia melanjutkan kata-katanya lalu dia memiringkan badannya, memunggungi Acton.
"Maaf Aljohn, salah satu sebab aku tak ingin disana karena aku tak ingin melibatkan diriku dengan mereka," akhirnya Acton menjawab pertanyaan hunter bernama Aljohn itu.
Acton menatap punggung Aljohn yang memiringkan badannya. Ia tak lagi mendengar satu kata dari Aljohn. Setelah beberapa saat berlalu Acton kemudian membaringkan badannya. Membiarkan tubuhnya beristirahat. Ia juga mematikan cahaya firefly sebelum tidur dengan menarik sebuah tutup kecil di kotak kaca. Sesaat setelah itu dia mulai memejamkan matanya dan tertidur dengan lelap.
Di tengah waktu ketika ia telah pulas memejamkan matanya. Acton mendengar seekor hewan menjalar. Ia terbangun. Ia mendapati dirinya sendirian, tak ada Aljohn di tempat tidurnya. Kemudian ia terduduk. Melihat seekor ular menjalar keluar dari tenda yang terbuka. Angin dingin menusuk kulit Acton. Akan tetapi karena penasaran ia segera turun dari matrasnya kemudian mengikuti ular tersebut.
Entah kenapa gurun itu sekarang berkabut. Acton memandangi sekitarnya dan tidak melihat siapa pun di sana. Ia melangkah pelan. Awalnya dia ingin melihat ke tenda lain untuk mengecek. Ketika kabut berkurang ia melihat seorang wanita bergaun putih berdiri di pinggir dataran. Melihat wanita itu Acton merasa tidak asing dengan wanita tersebut. Ia berjalan mendekati wanita itu perlahan.
"Ibu?!!"
Acton berteriak sembari berlari menghampiri wanita tersebut. Kemudian memanggilnya lagi. Jarak yang terlihat dekat seolah sangat jauh. Entah kenapa ia tak kunjung mencapai wanita yang berdiri diam di ujung. Padahal Acton telah berlari sekuat tenaga.
Ketika telah sampai di dekat wanita itu Acton segera menarik tangan wanita tersebut. Ketika wanita itu menatap dirinya, ia terkejut. Warna rambut yang tadinya abu-abu pun berubah menjadi wanita dengan rambut merah. Ketika belum sempat Acton melihat wajah perempuan muda itu tiba-tiba saja Sebastian muncul dari belakang perempuan itu dan menarik tubuhnya. Perempuan itu menggerakkan bibirnya seolah berteriak tapi tiada suara terdengar dari mulutnya yang ia buka lebar itu. Keduanya menghilang dan Acton terbangun.
Acton tersentak dari tidurnya. Ia melihat sekeliling dengan panic dan mendapati Aljohn tertidur pulas di matrasnya. Acton bergegas bangun dan mencoba mengintip dari pintu tenda untuk melihat keadaan. Dari celah pintu kain tenda, Acton melihat Rochell duduk di depan api unggun sambil menguap.
Setelah memastikan bahwa yang ia barusan alami adalah sebuah mimpi. Acton duduk kembali di matrasnya. Lalu ia merebahkan kembali badannya seraya menghela nafas. Ia menatap langit-langit tenda. Memejamkan mata sejenak dan teringat gadis dalam mimpinya. Ia mencoba mengingat apakah dia pernah menemui gadis yang memiliki ciri yang sama dengan gadis dalam mimpi itu.
"Apakah dia meminta tolong?" gumam Acton ketika mengingat mimpi yang ia alami.
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Pagi pun tiba. Semua hunter mempersiapkan diri dengan masing-masing caplorn mereka. Kemudian mereka tak banyak bicara lagi. Dan mulai menuju gurun dimana perkiraan velibra dikabarkan sering terlihat.
Ketua Ryann dengan menunggangi caplornnya mengitari kumpulan hunter, "Zecane, Knate dan Aljohn ikut denganku! Sementara kelompok kedua Acton, Sebastian, Rochell, Frangk dan Emma," ia membagi kelompok menjadi dua. "Kelompok pertama akan menyusuri area barat daya dan kelompok kedua ke area barat!" Ketua Ryann berteriak memberikan petunjuk pada semua anggotanya.
Setelah perintah ketua Ryann kedua kelompok berpencar, diantara kepulan panas padang pasir caplorn mereka melaju perlahan. Padang pasir ini nampak sunyi. Beberapa monster kecil yang terlihat mendekat ke arah mereka dengan cepat dibasmi oleh Rochell dengan panah miliknya.
"Tempat ini membosankan sekali," keluh Frangk.
"Sebaiknya kau tetap waspada," sahut seorang hunter wanita dengan rambut bergelombang berwarna pirang pada Frangk.
Frangk menguap, "tempatnya membosankan berada dalam satu tim yang membosankan pula."
"Maaf jika kami membosankan," celetuk Rochell sambil memanah ceraten yang muncul dari jauh.
"Emma, hanya kau yang cukup kukenal hiburlah aku," ucap Frangk.
Hunter wanita bernama Emma itu terdiam, ia terlihat mengarahkan pandangannya pada Acton yang berjalan di paling depan. Frangk menghela nafas ketika ia melihat Emma focus pada Acton.
"Dasar tidak asik," gerutunya. Bahkan di sepanjang perjalanan Frangk mengoceh seperti bocah yang tidak dibelikan mainan orang tuanya. Ia terlalu banyak mengeluh dan menggerutu. Terkdang Emma yang lelah mendengar ocehan tersebut beradu argument dengannya. Meski demikian rekannya tidak begitu terganggu.
Sementara Acton nampak sedikit resah. Dia memandangi pasir di sisi kanan — kiri secara bergantian. Terkadang ia menyembunyikan hal tersebut dari yang lain dengan memandang ke depan. Kini dia merasakan perasaan aneh yang sama ketika dia meminta Sebastian menunjukkan potion dalam sakunya. Kali ini, perasaan itu lebih kuat dan jangkauannya cukup luas. Hampir di seluruh padang pasir memenuhi perasaan tersebut.
Ditengah kekacauan pikirannya, Acton mendengar suara gemuruh. Suara itu sangat jauh, hampir anggota yang lain tidak mendengar suara tersebut. Bahkan Frangk dan Emma masih beradu argumen. Acton menengok pada mereka, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat untuk berhenti dan diam.
Ketika semuanya telah diam. Acton segera mengeluarkan teropongnya dan mulai memantau keadaan sekitar. Ketika ia melihat ke sisi selatan, ia melihat kepulan debu pasir beterbangan terlihat menuju ke arah mereka.
"Rochell, Frangk buat penghalang di depan kita! Emma, beri tanda pada kelompok pertama!" Perintah Acton, "Sebastian, kau siaga bersamaku."
Dengan cepat kedua defensive Rochell dan Frangk segera melempar sebuah batu di sisi kiri dan kanan mereka. Sementara Emma segera mengangkat pistol flare yang mereka bawa dan menarik pelatuknya.
Emma menarik pelatuknya dan entah kenapa flare tak kunjung terlontar. Acton menarik pedangnya. Ia menunggu langit berubah warna ketika flare ditembakkan.
"Emma, cepatlah!" teriak Acton.
Namun Emma nampak panik mencoba membetulkan pelatuk atau apapun bagian yang mungkin rusak sambil berteriak panik, "maaf Act, pistolnya macet!"
Frangk mendengar kata-kata Emma dan menengok, "kalau begitu kita selesaikan saja sendiri!"
Acton menarik caplorn-nya agar bersiaga. Sebastian mengikuti dirinya untuk bersiaga juga.
"Baiklah, semuanya bersiaplah!" teriak Acton.
Akhirnya mereka berlima dengan kepercayaan diri yang meningkat, bersama-sama bersiaga. Acton memutuskan untuk melawan monster tersebut berlima. Sebenarnya ia tengah memikirkan untuk memberi tanda pada kelompok yang lain karena class mereka seperti tak memungkinkan untuk bertarung.
Frangk dan Rochell mempersiapkan tali yang telah mereka siapkan sebelumnya. Ketika monster itu mendekat, keduanya membuat penghalang magis berbentuk kaca bening di depan mereka untuk menghalangi monster. Penghalang tersebut mereka buat menembus pasir sehingga velibra itu dipaksa muncul ke permukaan. Ketika velibra mendekat ternyata ia berusaha memutari kelima hunter tersebut. Dengan sigap, Rochell dan juga Frangk melakukan ekspansi pelindung itu hingga memutari mereka. Rochell membiarkan sebuah celah untuk memancing velibra itu melompat ke arah mereka. Ia menutup jalan di pasir. Dan benar saja sesuai perkiraan velibra tersebut melompat keluar dari pasir.
Rochell dan Frangk segera melempar tali pengikat mereka pada monster tersebut.
"Frangk putar!" Rochell berteriak.
Frangk menarik tali dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menggerakkan batu penghalang untuk berputar menutupi si velibra. Batu itu terbang memutari velibra sang monster sehingga penghalang itu sekarang menutupi dirinya. Dan kedua defensive menahan monster tersebut.
"Acton!" teriak Rochell.
Acton yang telah melihat persiapan telah selesai segera mengarahkan pedangnya ke leher velibra. Sekarang velibra tersebut telah diikat dengan kuat. Acton mengarahkan serangannya dari bawah leher monster. Namun, hal aneh terjadi. Tali pengikat yang telah disiapkan khusus untuk menangani monster ini tiba-tiba saja hampir putus.
Rochell yang menyadarinya berusaha berteriak pada Acton namun Acton telah menyiapkan diri, ia menembakkan tali khusus untuk dapat melompat ke arah velibra tersebut.
Saat itulah, tali yang Rochell pegang putus.
Semuanya tegang, Acton kehilangan keseimbangannya. Frangk berusaha keras menarik tali itu sendirian.
"Sebastian!" teriak Rochell pada Sebastian yang nampak terdiam.
Rochell terpental, Acton bergelayutan hingga akhirnya dia mendarat di atas kepala monster. Tiba-tiba monster itu menarik tubuhnya hingga Frangk tak sanggup lagi menahan gerakan si monster. Velibra itu langsung berbalik. Dan saat itulah Sebastian segera bergerak mengejar mereka ia memacu caplorn dengan sangat cepat meninggalkan rekannya yang lain.
Sementara Acton berusaha untuk dapat menghentikan monster itu. Ia berpegangan pada tali yang masih terikat di antara kepala velibra. Acton mengangkat pedangnya dan mulai menusuk kepala monster tersebut. Velibra melambat sejenak dan menjerit kesakitan ketika pedang itu tertancap. Ia menarik kembali pedangnya. Akan tetapi sangat disayangkan kekuatan Acton sangat tidak cukup untuk memberikan luka serius pada velibra. Seandainya ia membawa cincin pusaka Wyvernheart, maka tentulah membelah tubuh monster ini pasti akan menjadi sangat mudah.
Kemudian Acton mengulangi hal yang sama. Kali ini dia berusaha melontarkan elemen es yang dimiliki walaupun elemen miliknya mungkin akan sangat jauh dari harapan karena dia berada di tempat yang sangat panas. Bukan tanpa alasan Acton memakai elemen ini dikarenakan elemen ini adalah elemen yang paling kuat dari dirinya daripada elemen yang lain.
Acton menusuk kepala velibra dengan kuat dan ia mencoba membekukan kepala velibra itu.
Cuaca panas menyengat membuat Acton kesulitan untuk membekukan monster tersebut. Ketika Acton menarik pedangnya, ia melihat Sebastian yang hanya mengejarnya namun tak berusaha melakukan apa-apa. Dia hanya terlihat berlari mengiringi monster itu membuat Acton semakin tidak fokus. Tak berapa lama Sebastian terlihat mencoba menepi ke tubuh monster yang menjalar cepat itu, lalu Sebastian mencoba berpindah mengikuti Acton dengan menarik tali yang menjuntai. Hingga ia berhasil naik ke atas kepala monster dengan susah payah kem