Dalam kesunyian, kegelapan. Acton menatap kebawah. Tangannya menahan sesuatu dengan pedangnya, ia bertahan dengan membuat sebuah perisai es yang dapat dikeluarkan melalui pedang dengan aliran sihir. Acton sendiri terkejut karena ia dapat mengluarkan elemen tersebut di padang pasir yang panas ini. Akan tetapi, sekarang ia terjebak di sebuah tempat gelap gulita yang entah ia tak tahu dimana. Dia menahan beban berat di atas kepalanya.
Nafasnya mulai terengah-engah. Aliran udara sangat sedikit disana. selain itu perasaan yang sangat kuat menghantam dirinya. Sebuah energi aneh yang sangat asing, yang sama seperti sebelumnya membanjiri dirinya.
Tiba-tiba saja tubuhnya semakin terasa tertekan. Kedua kakinya hampir tenggelam ke dalam lantai yang terbuat dari tanah liat keras. Tak mau kalah, dia mendorong pedangnya. Ia juga mengerahkan kekuatannya agar dapat mengeluarkan elemen lebih banyak lagi. Melalui cincin red diamondnya ia berusaha dengan kuat membentuk ledakan es. Ketika kaki-kakinya semakin tenggelam ke dalam lantai. Ia berteriak mencoba untuk mengeluarkan dirinya dari situasi sulit itu.
Ledakan keras terjadi ketika ia membentuk bongkahan-bongkahan es untuk mulai menghancurkan reruntuhan — atau mungkin juga tubuh monster besar yang tadi telah di tebas oleh Sebastian.
Akhirnya dengan kekuatan yang cukup besar Acton dapat melempar bangkai velibra yang menimpa dirinya dan juga menyelamatkan dirinya. Kini ia tak lagi terjebak dalam reruntuhan tembok tanah liat dan juga bangkai velibra yang begitu besar. Acton segera melompat ke depan dengan perlahan karena pasir yang mengalir dari atas. Acton buru-buru mengeluarkan sebuah benda di saku dadanya. Lalu setelah memencet tombol pada bola itu, bola tersebut mengeluarkan cahaya yang cukup terang dan ia terbang tepat di samping kepala Acton.
Kini tempat itu mulai nampak terang. Acton memutuskan untuk segera berlari ke depan karena debit pasir terus bertambah. Acton melihat sekelilingnya. Ternyata ia terjatuh di sebuah terowongan yang unik. Terowongan itu memiliki banyak jalan seperti lubang tikus. Di beberapa sudut terdapat beberapa ukiran gambar. Acton mendekat ke dinding dengan sebuah ukiran dan menatapnya.
Diamatinya ukiran itu dengan seksama dan tiba-tiba saja suara gemuruh mengagetkan. Ia menengok ke asal suara tersebut yang berasal dari tempat ia jatuh. Ternyata itu hanya beberapa reruntuhan yang ikut terjatuh disertai debit pasir yang mengalir.
Setelah itu, Acton menatap sekitarnya kembali. Ia penasaran ada dimana Sebastian. Namun ia tak melihat adanya tanda-tanda dari Sebastian. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk lebih jauh ke dalam terowongan. Tanah liat yang keras itu menjadi pijakan kakinya untuk terus melangkah.
Setelah beberapa saat, Acton menyadari bahwa tempat itu adalah sebuah katakomb. Ketika ia melihat lubang di terowongan memiliki banyak sekali jalan. Tanpa sedikitpun rasa takut Acton melangkahkan kakinya. Tak ada pilihan baginya saat ini. Ia juga tak begitu yakin akan ada bantuan segera karena dirinya terkubur di bawah tanah.
Acton mengamati tempat di sekitarnya dari atas sampai bawah. Melihat banyak ukiran, hieroglyph di tembok membuatnya sangat penasaran.
"Apakah ini reruntuhan penyihir?" gumamnya.
Acton mengepalkan tangannya. Ia menggosokkan jempol jari kiri pada cincin red diamondnya yang terpasang di jari telunjuk kirinya. Kemudian ia melihat sebuah ukiran besar dimana ukiran tersebut memiliki gambar orang-orang yang berkumpul dan di sana digambarkan bahwa orang-orang tersebut dapat mengusir monster. Memberikan satu tempat perlindungan dengan darah mereka sendiri sehingga terjadilah ritual pengorbanan yang Acton duga mereka adalah para penyihir di masa lampau.
Ia menatap semua ukiran yang dapat ia lihat dengan cahaya yang berpendar di samping. Sembari berjalan, ia melihat sebuah cahaya di ujung lorong. Acton penasaran, ia mendekat ke arah cahaya itu berasal. Cahaya itu berasal dari api yang dinyalakan pada obor. Sehingga membuat Acton bertanya-tanya dan penasaran ada apakah disana.
Acton melangkahkan kakinya perlahan menuju ruangan bercahaya itu. Dia menggenggam erat pedang yang sedari tadi ia pegang. Semakin mendekat, ia makin merasa luapan kekuatan asing makin kuat.
Ketika ia memasuki ruangan yang diterangi oleh obor api itu, ia melihat sebuah tempat luas dengan pilar pilar besar. Acton terdiam sejenak. Mengamati seluruh ruangan. Ruangan itu terhubung dengan berbagai lorong. Dan di tengah ruangan itu terdapat dua buah altar bersandingan yang diletakkan ditengah kolam yang telah mengering karena lama tak digunakan. Ketika Acton mendekati kolam tersebut ia melihat bekas-bekas darah yang terlihat cukup banyak membekas di pinggiran kolam. Ia juga mengetahui bahwa kekuatan asing itu berasal dari sini, kolam ini.
Acton berjongkok mengamatinya. Hingga tiba-tiba sesuatu mendekati dirinya dan ia dengan cepat menarik pedangnya. Menangkis sebuah serangan.
Acton menatap seseorang yang menyerang dirinya, "Sebastian?"
Keduanya pun saling menekan serangan mereka. Acton yang tentunya lebih kuat memukul mundur Sebastian.
Sebastian tersenyum, "ah, kukira kau cukup lengah jadi aku mencoba menyerangmu."
Acton menatap Sebastian dengan serius, "apa kau merencanakan sesuatu?"
"Sepertinya begitu, anak mother Stevia," ucap Sebastian.
Acton bingung dengan sebutan itu namun ia tak dapat memastikan maksud ucapan Sebastian. Sebastian mengambil potion dalam sakunya kemudian meneteskan potion itu pada pedangnya. Sekelebat, Acton merasa ledakan energi asing bertambah hebat.
Tiba-tiba saja dengan cepat, Sebastian melesat ke arahnya. Ia menyerang Acton tepat di bagian wajah. Dengan cepat Acton menghindar, dan ia tergores sedikit di pipi. Acton menghindar dengan melompat ke belakang. Sebastian mengejarnya dan terjadilah mereka saling beradu mengayunkan pedang mereka dengan lihai. Saling serang dan tangkis satu sama lain. Suara aduan pedang mereka bergema memenuhi ruangan. Gerak bayang-bayang mereka seolah terekam diantara cahaya obor yang menyala.
"Menyerah saja kau, tanpa cincin pusakamu kau tetaplah lemah," ledek Sebastian sambil melakukan ayunan penuh serangan Acton.
Mendengar pernyataan Sebastian, Acton terkejut, "siapa yang memintamu melakukan ini?!" tanya Acton tetap dengan gaya tenangnya.
"Siapa?! Tentu saja demi mother Stevia!!" jawab Sebastian seraya menyerang Acton dengan kegilaan.
Acton mencoba menahan diri. Ia berusaha sepenuhnya bertahan. Namun entah kenapa serangan Sebastian kali ini sangat kuat. Hingga Acton terpental dan punggungnya menabrak dinding. Acton pun tersungkur.
Sebastian yang telah menjadi kuat dapat menyusul Acton dengan cepat. Namun Acton juga tak kalah cepat ia menggerakkan pedangnya untuk membentuk duri es di depannya dia melempar duri itu ke arah Sebastian. Akan tetapi, Sebastian dapat menghindari serangan itu. Duri itu mengenai beberapa pilar, dan suara getaran terdengar. Sebastian berusaha menyerang Acton dengan mencoba menusukya. Dengan cepat Acton menggelinding ke kiri dan berusaha menjauh dari Sebastian. Namun ternyata Sebastian memutar pedangnya hingga mengenai leher belakang kiri Acton hinngga lehernya berdarah. Tak membutuhkan waktu lama tubuh Acton seolah membeku. Acton langsung melepas pedangnya dan ia tersungkur.
"Akhirnya bekerja juga, darah Elena kucampur dengan racun super cepat edidia padahal tadi pipi mu kena seranganku ya kenapa tidak bekerja," gerutu Sebastian sembari berjalan mendekati Acton yang tersungkur. "Kau tau betapa sulitnya mendapatkan racun itu? Ya...aku tau sih tidak akan bisa mengalahkan mu tanpa rencana. Lagipula aku hanya bisa membunuhmu besok malam jadi bersabarlah ya," ucap Sebastian sembari berjalan mendekati Acton.
Dalam keadaan setengah sadar, Acton mencoba untuk bangkit. Pandangan matanya mulai kabur, mulutnya terkunci ia tak dapat mengatakan apapun.
Sebastian menyarungkan pedangnya lalu berjongkok menarik rambut Acton agar dapat melihat wajahnya kemudian berkata, "seandainya kau tak ada, mother Stevia pasti tak akan pulang dan ia takkan mati."
Sebenarnya Acton mulai penasaran dengan kata-kata Sebastian tentang siapakah mother Stevia yang dia maksud. Namun ia tak sanggup lagi, racun edidia telah menyebar cepat dalam tubuhnya. Dalam pandangannya yang telah kabur Sebastian mengangkat tubuh Acton yang terkapar dan membopongnya.
"Tapi sekarang aku akan menukarmu dengan dirinya. Tidak apa-apa kan? Kau tenang lah di alam sana ya," ucap Sebastian.
Acton tak begitu mengerti dengan apa yang Sebastian katakan. Namun dalam penglihatannya yang setengah sadar, ia teringat sesuatu tentang para penyihir bahwa mereka dapat menghidupkan mereka yang telah mati. Itulah hal terakhir yang Acton ingat sebelum akhirnya ia pingsan.
***********
Acton membuka matanya. Sekarang ia berada di sebuah gubuk kecil. Acton menatap tangannya yang kecil — tubuhnya kembali menjadi anak-anak. Ada perasaan nostalgia ketika ia melihat seorang pria tersenyum padanya, pria itu mengaduk bubur dalam panci besar sambil menceritakan banyak hal pada Acton.
"Para penyihir memanggil kembali mereka yang telah tiada. Tapi memang seharusnya mereka telah tiada bukan?" Kata pria tua itu dengan bibirnya yang telah reot karena dimakan usia.
Tiba-tiba dari pintu yang telah terbuka nampak seorang wanita berlari menjauh. Hal itu membuat Acton terkejut lalu meninggalkan pria tua mengaduk bubur sendirian untuk mengejar wanita itu. Acton berlari di antara pepohonan ek yang rimbun mengejar wanita yang terus berlari menjauh darinya.
"Nona!!" teriak Acton spontan.
Akan tetapi wanita itu tak sedikitpun menengok. Acton berlari hingga ia tiba-tiba saja mendapati dirinya berada di depan sebuah rumah tua. Acton berdiri tepat di depan pintu itu lalu ia memutar knob pintu tersebut.
Pemandangan dalam rumah itu sangat kacau. Dilihatnya roti-roti yang berserakan di atas lantai dan ia melihat sebuah kaki menggantung dari permukaan lantai dan sebuah kursi yang tergeletak tak jauh dari sana. Sebelum Acton berteriak, seorang gadis menarik tangan Acton keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari bersama. Acton menatap rambut merah gadis yang berlari di depannya. Matahari terbit sangat menyilaukan hingga Acton tak dapat melihat pemandangan di depan. Acton memejamkan matanya namun di sisi lain, ia terbangun. Menatap langit-langit katakomb. Ia terbaring di atas altar.
Tangannya telah di borgol begitu juga dengan kakinya. Acton mencoba menarik tangannya agar terlepas dari borgol. Cincin red diamond dan pedangnya juga diambil sehingga ia tak dapat memutar otak untuk melepaskan dirinya. Ia hanya bisa menarik borgol itu berkali-kali.
Saat ia berusaha mengeluarkan dirinya dari sana, suara langkah kaki terdengar. Suara itu tak hanya seorang saja, melainkan ada dua orang.
"Apa kau ingin pergi?" tanya Sebastian yang berjalan bersama seseorang.
Acton diam, ia mencoba melihat kearah Sebastian. Ia bukanlah tipe orang yang suka mengumpat dan ia juga tak banyak bicara. Acton hanya mengeratkan giginya beberapa saat.
"Ritualnya sudah mau dimulai lho," ucap Sebastian yang membawa sebuah gulungan kain.
Lalu Sebastian berjalan mendekati altar yang ada di sebelah Acton. Meletakkan kain yang ia bawa yang berisi tulang manusia. Sementara satu orang yang lain yang memakai jubah bertudung berjalan mendekati Acton dan berdiri di sampingnya.
Melihat hal itu, Acton sangat terkejut, "apa yang kalian lakukan?" tanya Acton dengan rasa penuh terkejut.
"Mother Stevia, akan kembali," ucap Sebastian sembari menata tulang belulang itu agar sesuai dengan anatomi yang seharusnya.
Ketika Sebastian menyingkir dari altar, Acton terkejut melihat bahwa tulang belulang yang Sebastian letakkan adalah milik ibunya. Hal itu terlihat dari rambut panjang milik ibunya yang berwarna coklat muda sama seperti rambut Acton.
"Ibu?! Apa yang kau lakukan?!" Acton berteriak marah.
Acton menarik-narik kembali borgolnya. Ia sangat ingin berlari ke arah tulang belulang yang tersisa dari ibunya. Acton juga sangat marah hingga ia ingin melompat ke arah Sebastian dan memukulinya.
"Kenapa kalian melakukan ini?!" Teriak Acton penuh kemarahan.
Sebastian berjalan menjauh. Dan disaat itulah, orang yang berdiri di samping Acton diam-diam memakaikan sebuah cincin di jari telunjuk kiri Acton. Sambil berbisik-bisik padanya, "larilah lari…."
Acton terkejut melihat aksi orang itu. Ia menengok, menatap orang dengan tudung tersebut. Dilihat dari postur tubuh dan baju yang dikenakan, nampaknya dia adalah seorang gadis. Kemudian pandangannya ia arahkan pada cincin itu. Ia sadar bahwa cincin itu adalah cincin pusaka keluarganya yang hilang. Lalu ditatapnya wajah si gadis. Akan tetapi tudung dan cahaya remang-remang membuat ia tak dapat melihat dengan jelas wajah si gadis. Sesaat setelah Acton menerima cincin itu. Ia merasakan ledakan energi yang luar biasa berasal dari gadis itu. Acton terkejut dibuatnya.
"Kau..." ucap Acton.
"Ayo Elena, kita mulai persembahan kita!" Teriak Sebastian sembari menatap kearah altar.
Gadis yang dipanggil Elena itu pun berdiri di tengah kedua sarkofagus sekaligus tepat berada di tengah kolam yang kering itu. Kemudian gadis bertudung itu mengambil belati yang ia letakkan di pinggang sembari mengangkat tangan kirinya ia mulai menyayat telapak tangannya. Ia meneteskan darahnya ke lantai kolam. Setelah itu terdengar sebuah gemuruh dari kejauhan. Dan reruntuhan itu sedikit demi sedikit mengalami keretakan.
Seketika, ekspresi Sebastian berubah, "Elena, apa yang kau lakukan?!" teriak Sebastian.
Setelah itu dengan belati yang ia bawa segera di arahkannya pada Acton. Ia menancapkan belati itu pada rantai borgol tangan kanan Acton. Ternyata yang ia incar bukanlah tubuh Acton melainkan borgol yang menahannya.
Acton terkejut, wajah gadis itu cukup dekat dengannya. Dilihatnya mata ungu bagai amethyst dan rambut merah. Mengingatkan dirinya pada gadis dalam mimpi.
"Elena!" Sebastian berteriak lagi.
Gadis bernama Elena itu segera menarik sesuatu dari jubahnya. Sebuah pedang muncul dari sana, pedang milik Acton.
Sebastian yang melihat hal itu segera berlari ke arah mereka. Elena meletakkan pedang itu di samping Acton lalu ia melompat dengan berpijak pada meja persembahan terlebih dulu. Saat itulah jubah yang menutupi wajahnya terlepas. Melihat rambut merah dan mata hijau itu, Acton sangatlah yakin jika gadis itu adalah gadis yang sama dalam mimpinya.
Sebastian berusaha menebas Elena dan Elena menangkis serangan itu dengan lengan kanannya hingga berdarah. Acton yang melihat kesempatan itu segera memotong borgol di kaki dengan kekuatan dari pedang dan cincinnya.
Keadaan kacau. Kedua orang yang menculik Acton kini bersitegang. Ditambah dengan gua yang hampir hancur. Pasir berguguran dari atas.
"Kenapa Elena?!" Sebastian berteriak. "Apa kau ingin menyelamatkan pria yang tak kau kenal?!"
"Terimalah bahwa mother Stevia telah pergi!" sahut Elena.
"Lalu kenapa kau setuju denganku sejauh ini?" Sebastian yang marah memberi tekanan pada kekuatannya.
Elena terpental. Acton dengan cepat melompat untuk menangkap Elena.
"Jika kau tak mau, katakanlah dari awal! Bukankah kau bersedia melakukan semua ini bersamaku demi mother Stevia?" Sebastian melompat lagi ke arah Acton dan Elena.
Acton segera mengangkat tubuh Elena dengan kedua tangannya. Keduanya segera menghindar dari serangan Sebastian. Suara gemericik rantai yang masih ada di pergelangan Acton terdengar di tengah keributan.
Sebastian mengejar keduanya. Acton meletakkan tubuh Elena dan segera menangkis serangan Sebastian. Cincin yang digunakan Acton berpendar memberikan kekuatan lebih padanya. Sebastian dengan mudah ia halau hingga ia terpental dan menghancurkan salah satu pilar dalam ruangan itu.
"Jika kau mau berhenti, aku akan mengampunimu," ucap Acton pada Sebastian.
Sebastian tersenyum sinis, ia menyeka darah di sekitar mulutnya. Ia perlahan berdiri dari reruntuhan pilar.
"Elena, bukankah kau telah berjanji kita bertiga akan bahagia bersama."
"Kita takkan bisa melanjutkan ritual ini! Aku telah membatalkan perjanjian reruntuhan ini!" Teriak Elena.
Suara gemuruh kembali terdengar. Kali ini suara itu terdengar sangat kuat. Tempat itu pun sedikit demi sedikit mulai runtuh.
Sebastian terdiam. Ia menggenggam pedang di tangannya erat-erat. Lalu ia melompat lagi berusaha menusuk wajah Acton dengan pedang itu. Akan tetapi sebelum ia sampai pada Acton, atap ruangan itu runtuh. Nampak ia kejatuhan puing-puing.
"Sebastian!!!!" Elena berteriak keras.
Acton berbalik. Segera berlari ke arah Elena dan mengajaknya untuk segera keluar dari reuntuhan. Elena sempat menolak, ia ingin memastikan keadaan Sebastian. Acton juga sempat melihat ke arah altar, tempat dimana tulang ibunya diletakkan. Acton memejamkan mata sejenak. Kemudian ia menggendong Elena.
"Lepaskan aku! Biarkan aku terkubur di sini bersama mereka!!" Teriaknya dengan tangisan yang membasahi pipinya.
"Berhentilah bergerak," pinta Acton yang mempererat pegangannya pada Elena.
Acton segera berlari ke lorong sambil membopong Elena. Lalu setelah sampai di luar lorong Acton menurunkan Elena dan menggandeng tangannya. Setelah itu Acton berbalik mengajak Elena untuk lari bersama. Namun Elena terdiam.
"Lepaskan aku," ucap Elena pelan.
Dengan sekuat tenaga Acton menarik Elena agar mengikutinya, "kita tak punya banyak waktu," Acton menatap Elena erat.
Elena menatapnya kedua mata perak kemerahan tersebut. Suara gemuruh taka da henti-hentinya terdengar seperti suara bom bersahutan. Dengan paksaan Acton mereka berdua akhirnya berlari bersama. Elena berusaha melepas tangan Acton yang mencengkeram erat lengannya.
"Kau tak seharusnya melakukan ini. Kenapa kau membiarkanku hidup?" tanya Elena dengan wajah kebingungan sekaligus marah.
"Jika kubiarkan kau, aku tak akan tahu siapa mother Stevia, lalu beritahu aku jalannya jika kau ingin menyelamatkanku," jawab Acton tegas.
Elena terdiam. Akhirnya ia mengikuti Acton untuk terus berlari, hingga mereka sampai di persimpangan lorong, Acton berhenti.
"Kanan," kata Elena yang kemudian ia menarik Acton untuk mengikutinya.
Acton menatap Elena dan teringat akan mimpinya. Sekarang ia yakin akan hal itu. Mereka berdua berlari bersama menghindari puing yang berjatuhan. Kini mereka tak lagi berpegangan tangan dan mereka menghancurkan serta menghindari puing yang berjatuhan. Setelah menghindari banyak sekali bebatuan yang runtuh, akhirnya mereka sampai di ujung lorong. Akan tetapi, lorong itu buntu. Dengan cepat Elena melakukan sesuatu dan keluarlah sebuah cahaya. Acton yang hampir tertinggal, memecah batu yang menutupi jalannya. Pasir- pasir berjatuhan bahkan lorong itu terlihat seperti mengalami banjir pasir yang besar sekarang.
"Cepatlah Acton!" Teriak Elena yang menunggu Acton, ia juga mengulurkan tangannya.
Acton melompat dan memegang tangan Elena. Tiba-tiba saja mereka telah berpindah ke tempat yang berbeda dalam sekejap.
Acton terduduk ia sedikit terpental, sementara Elena berdiri di samping Acton.
Elena terdiam membeku ia menundukkan kepalanya kemudian ia menangis. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Maafkan aku Sebastian," ia menangis terisak.
Acton berdiri, tangannya memegang tangan Elena dan dengan lembut menariknya.
"Terimakasih telah menyelamatkanku," ucap Acton.
Elena mengangkat kepalanya, menatap wajah Acton yang lebih tinggi darinya.
"Maaf, maafkan kami," ucap Elena menyesal.
Acton mencengkeram jari-jari tangan kiri Elena sembari berkata, "ya... sepertinya kita bertiga terhubung oleh seseorang."
Elena menundukkan kepalanya, "ibumu, ibu kami."
"Kau seorang penyihir?" Tanya Acton tiba-tiba.
Elena mengangkat kembali kepalanya sambil bertanya, "kau tahu?"
Acton melepas cincin yang ia pakai. Lalu menarik tangan Elena yang ia pegang meletakkan cincin pusaka Wyvernheart di tangan Elena.
"Aku akan meminjamkan ini padamu sesuai permintaan ibuku," ucap Acton.
Elena menatap cincin itu, ia menangis saat melihatnya. Acton menyeka air mata Elena dengan tangan kirinya.
"Sekarang, lupakan tentang apa yang terjadi. Mari kita fikirkan untuk kembali terlebih dulu."
Mereka saling memandang satu sama lain. Elena menurunkan tangan Acton dari pipinya. Kemudian berjalan memunggungi Acton, "sekarang kita berada di kota Forlstrea timur. Tempat sekitar sini tidak berpenghuni. Jadi ketika kita ke atas kita hanya perlu waspada jika ada monster. Sebaiknya kita pergi secara terpisah. Aku akan kembali ke Ogia dan kau apakah kau bisa membuat sebuah alibi?" Tanya Elena.
Acton berfikir sejenak lalu berkata, "aku mengerti, pertama aku tidak akan menyebutkan tentang dirimu. Jika Sebastian benar-benar tidak selamat aku akan mengatakan jika kami terpisah seusai melawan velibra hingga membuat reruntuhannya hancur, lalu saat mencari jalan keluar entah kenapa aku berjalan hingga Forlstrea timur."
Elena memutar badannya kemudian menatap Acton sembari mengangguk, "terimakasih, pengakuanmu sangatlah berguna untuk kami."
Setelah percakapan itu, Acton berjalan mengitari ruangan kecil tersebut. Ia melihat sebuah tangga yang di atasnya terdapat sebuah pintu dari kayu. Elena berjalan mendekati sebuah meja kayu yang reot dan menyalakan lilin yang ada di atas meja. Sekarang ruangan itu terlihat sedikit lebih terang.
Elena mendekati Acton yang menaiki tangga, "apa kau akan pergi sekarang?"
"Tidak, terlalu gelap untuk pergi sekarang," jawab Acton yang melihat langit telah gelap, sembari turun dari tangga ia menutup pintu itu serta menguncinya.
Setelah itu, Elena berbalik, berjalan menuju sebuah dudukan yang terbuat dari tanah liat.
"Tempat apa ini?"
"Sebuah bunker yang dibuat untuk membuka 'gerbang masuk' dan 'gerbang keluar'. Dahulu digunakan para penyihir untuk diam-diam membangkitkan pasukan yang telah mati di medan perang Gibia," jawab Elena.
"Apa kau bersembunyi di sini dari kemarin?" Tanya Acton.
"Iya."
"Sudah berapa lama kalian merencanakan ini?" Acton bertanya lagi.
Elena memalingkan sedikit wajahnya. Ia nampak resah untuk menjawab. Acton menatapnya erat.
"Tenang saja, aku takkan menghukum mu," ucap Acton dengan nada bicaranya yang datar dan selalu tenang.
"Entah dua atau tiga bulan terakhir," jawab Elena.
Acton berdiri di depan Elena kemudian berkata, "jadi biar ku perjelas, kau dan Sebastian merencanakan semua ini untuk membangkitkan ibuku. Kemudian ketika ibuku menghilang itu artinya dia bertemu dengan kalian. Benar begitu?"
Elena menganggukkan kepalanya. Mengiyakan pernyataan Acton.
"Kapan kalian mencuri tulang milik ibuku?" acton menghela nafas dalam, sebenarnya merasa sangat kesal.
"Sebelum Sebastian mengatakannya padaku dia sudah membawa tulang ibumu," ucap Elena dengan perasaan takut.
Acton cukup terkejut mendengarnya. Ia mengingat-ingat kembali bahwa makam ibunya masih utuh beberapa minggu yang lalu.
Acton berjalan mendekati tembok di samping meja. Ia mulai duduk di lantai sebelah meja, "bagaimana kalian bisa bertemu dengan ibuku?" Tanya Acton.
"Pertama kali kami bertemu saat aku berada di hutan Belrdra, ibumu diserang oleh sekumpulan monster dan aku membantunya saat itu."
Acton terkejut dan bertanya, "bagaimana bisa kalian berada di sana? Tempat itu juga cukup jauh dari Exaponen?"
Elena terlihat melamun sejenak menatap ke lantai bunker, "aku memang ingin melarikan diri dari ibuku, sementara ibumu aku tidak tahu. Ibumu memang menderita demensia bukan?"
"Apa kau tahu kenapa ibuku bisa ditemukan di kota lain?" Sahut Acton.
Elena menggelengkan kepalanya lagi, "saat itu, tiba-tiba saja ibumu menghilang."
"Lalu apakah kau mencoba mencari tahu tentang cincin itu? Karena aku sengaja memberikannya pada ibuku agar dia mudah dikenali," ucap Acton menatap pada Elena.
"Kami tahu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan, kami melihat berita di koran tentang keluarga kalian. Tapi Sebastian melarang ku untuk mengatakan yang sebenarnya," kata Elena menerangkan.
Acton memejamkan matanya, ia teringat betapa Sebastian sangat menginginkan ibunya agar hidup kembali. Lalu dia menghela nafas, "akhirnya aku telah menemukan kepingan puzzle yang hilang dari hilangnya ibuku."
"Aku mohon maafkan kami karena tak segera memulangkan ibumu. Kami juga melukaimu," ucap Elena yang memegangi lengan kiri dengan tangan kanannya.
"Ini bukan salah siapa atau kenapa bisa semuanya terjadi, ada satu hal yang ibuku pinta padaku jika kita bertemu," Acton menyahut perkataan Elena.
Elena berbalik dan menatap Acton, "apa itu? Apakah cincin ini?" Tanya Elena.
"Bukan," jawab Acton, "tapi kau."
Acton berhenti berbicara. Bayang-bayang mereka menari di bawah pancaran lilin. Acton menatap Elena yang juga menatap dirinya.
"Dia memintaku untuk melindungi mu," ucap Acton.
Elena tersentak mendengar ucapan Acton. Mata mereka saling berpandangan. Elena semakin terlihat sedih, ia segera memalingkan wajahnya dari Acton dan terlihat diam-diam menangis.
Hingga beberapa saat, ia berhenti kemudian bertanya pada Acton, "apa kau baik-baik saja di situ?"
Acton tak menjawab pertanyaan Elena. Dia memejamkan matanya seolah ia tidur dengan nyenyak. Elena kembali menatap Acton. Akan tetapi, Acton berpura-pura tidur. Melihatnya, kemudian Elena berbaring.
Mereka berdua melewati malam itu bersama dalam bunker tua berusia ribuan tahun. Tak ada satupun dari mereka yang dapat tidur malam itu. Hanya kesenyapan diantara mereka kemudian mengantar mereka untuk dapat terlelap melewati malam.