"Apakah anda masih mau memesan sesuatu? Sembari menunggu seorang teman atau pacar?" Ucap waiter yang memperhatikanku selama aku menunggu kedatangan Dave.
Wajahku masam mendengar ucapan dari waiter itu, membuatku merasa diriku berada di bawah lampu sorot. Waktu aku datang tadi, suasana terlihat romantis dan nyaman di mataku. Namun sekarang, rasanya sangat menyesakkan dadaku.
Aku mungkin dapat menebak pikiran orang-orang yang berlalu lalang di depanku. Kasihan gadis ini, sudah berusaha berpenampilan cantik dan menarik, namun sepanjang waktu hanya dapat duduk sendirian di meja itu.
Mungkin para wanita yang melihatku merasa bersyukur di hatinya. Untungnya mereka tidak bernasib malang seperti diriku ini, menunggu kekasihku yang tak kunjung datang juga.
Sekarang sudah jam delapan lewat sepuluh menit, ini adalah batas terakhir kesabaranku menunggu Dave. Melihat kenyataan pahit jika kekasih yang kutunggu itu, sudah tidak mungkin akan datang ke sini.
Dave tidak mungkin berlari tanpa alas kaki untuk menemui diriku dan membawa selusin bunga mawar merah sebagai tanda untuk permintaan maaf padaku. Dave pasti tidak melihat surat yang aku tulis dan tinggalkan di atas meja, sebelum aku pergi ke sini. Dave pasti telah melupakan rencana yang kami buat ini dari jauh-jauh hari.
Aku memandang kosong ke depan pintu masuk restoran, dengan raut wajah yang sedih dan kecewa. Merasakan air mataku sudah mulai menggenang di pelupuk mataku dan bersiap untuk diteteskan detik itu juga.
Aku menengok ke atas untuk menahan air mataku agar tidak menetes ke bawah. Aku tidak boleh menangis di sini, tidak di sini di tengah orang-orang yang sedang menatapku.
Akhirnya aku memanggil waiter itu dan membayar tagihan dengan kartu debitku. Aku melambaikan kartu debitku kepada pelayan tersebut, bagai mengibarkan bendera putih pertanda aku sudah menyerah untuk menunggu lebih lama lagi.
Aku sudah berpacaran dengan Dave selama kurang lebih enam tahun dan tinggal bersama dengannya selama dua tahun ini. Dave adalah tipe jangka panjang untukku. Apakah Dave bisa disebut kekasihku atau lebih ke arah suamiku?
Dave tahun ini berusia dua puluh tujuh tahun, dia telah memiliki bisnisnya sendiri. Dave tidak pernah membahas masalah pernikahan denganku, bahkan bertunangan saja kami tidak pernah.
Mungkin saja Dave belum berencana untuk menikahiku sekarang. Mungkin Dave juga belum memiliki rencana untuk melamarku dalam waktu dekat ini. Mungkin kita hanya bisa dikatakan partner hidup untuk saat ini. Ya, semua itu hanya terucap dalam kata 'Mungkin'.
Sebenarnya ini bukan masalah besar untukku. Karena aku percaya, kalau Dave menjalin hubungan yang serius denganku. Hanya saja aku belum berani menanyakan keseriusannya denganku. Aku hanya takut dengan jawaban yang akan aku dapatkan, tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Jadi apa masalahnya jika aku menunggu lebih lama lagi. Aku dan Dave seperti layaknya pasangan kekasih lain yang sudah bersama selama enam tahun.
Kami sudah makan bersama, tidur bersama, bertengkar, hingga bercinta. Semua yang kami lakukan ini cukup menyenangkan bagiku dan juga mungkin baginya.
Mungkin Dave telah terbiasa dengan kehidupan kami sehari-hari ini. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang dari hubungan ini. Apakah itu romansa, percintaan, atau aku merindukan masa-masa awal kami pacaran yang penuh dengan gelora cinta anak muda.
Aku berharap hubunganku dengan Dave akan tetap sama seperti saat awal kami pacaran dulu, yang penuh dengan perhatian, gairahh, kasih sayang dan juga cinta.
Dave saat itu sering mengajakku pergi berkencan, pergi liburan berdua dan makan malam romantis. Namun seiring berjalannya waktu, kami sudah jarang melakukannya.
Apalagi kami sekarang disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Hanya memiliki akhir pekan yang dihabiskan untuk makan di rumah dan nonton drama korea sambil berbaring di sofa.
Kalaupun kami pada akhirnya akan liburan akhir pekan, akulah yang akan memesan tempat, mengatur perjalanan, dan membayar semuanya. Dave hanya membawa dirinya saja untuk pergi bersama denganku. Walaupun terkadang sangat sulit membujuknya untuk pergi.
Bukan karena aku tidak suka memiliki hubungan yang seperti ini. Kami bahkan berbagi semuanya seperti sahabat terbaik. Kami mengetahui rahasia masing-masing, kebiasaan baik bahkan kebiasaan buruk kami. Kami tidak menyembunyikan apapun dari satu sama lain. Sama sekali tidak memiliki rahasia di antara kami.
Mungkin kami sudah terlalu nyaman dan terlalu jujur terhadap satu sama lain. Cukup intim untuk kami berbagi kamar mandi bersama. Terkadang jika kami terburu-buru untuk pergi bekerja, kami akan mandi bersama untuk menghemat waktu.
Sejujurnya aku sudah mulai sedikit jenuh dengan hubungan ini. Hingga terkadang aku berpikir, apakah kehidupan seperti ini yang aku inginkan?
Padahal malam ini adalah malam yang sangat penting untuk kami berdua, minimal aku dapat mengingat momen romantis kami yang sudah lama hilang di tengah-tengah kesibukan pekerjaan kami masing-masing.
Aku ingin sedikit melupakan tagihan dan cicilan apartemen yang belum lunas, perdebatan kecil tentang siapa yang akan mencuci pakaian, siapa yang akan mencuci piring, siapa yang hari ini akan mengepel lantai, hingga sampai berebut remot TV untuk menonton acara kesukaan masing-masing.
Seharusnya malam ini kami menikmati makan malam mewah dan juga menikmati sebotol wine hingga kami mabuk. Mengingat jika kami saling menyukai dan saling menginginkan. Tertawa bersama, saling menggoda, berciuman, hingga memiliki malam yang liar.
Sebelumnya, itulah yang kupikirkan. Kemudian setelah aku memandangi waiter yang datang, aku membayar tagihan tanpa meninggalkan uang tip untuknya.
"Di mana kekasih anda? Kok tidak ditemani dan hanya sendirian?" Waiter itu bertanya sambil tersenyum sinis kepadaku. Mungkin karena aku tidak memberinya uang tip.
Aku berpura-pura tidak mendengarnya, bangkit dari kursi dan akhirnya melangkah pergi meninggalkan restoran ini.
Di luar sedang turun hujan, hujan yang sangat deras. Membuat orang-orang bertumpuk di pinggir toko dan restoran untuk berteduh sejenak, menghindar dari tetesan air hujan dan menjadi kedinginan karenanya.
Kecuali aku yang berlari menerobos hujan untuk menghentikan sebuah taksi, agar dapat segera pulang ke apartemen dan bersantai di rumah. Dengan gaun merah tipis yang aku kenakan, dilapisi mantel dan sendal hak tinggi, aku cukup kesulitan untuk berlari.
Merasakan tubuhku yang sudah mulai basah oleh air hujan, akhirnya aku dapat memberhentikan sebuah taksi. Sayangnya bukan hanya aku yang menginginkan taksi itu, namun orang lain juga menginginkannya. Orang itu menyerobot masuk ke dalam taksi dan bergegas pergi meninggalkan tempat ini.
Jalanan Kota Jakarta terlihat macet dan padat merayap. Walaupun terdapat banyak taksi di sepanjang jalan, namun semuanya telah terisi dengan penumpang. Melihat ke dalam mobil yang kebanyakan dipenuhi oleh pasangan muda mudi dan suami istri, aku cukup iri melihatnya.
Harusnya malam ini aku juga dapat bermesraan dengan Dave, berpelukan hingga berciuman dengannya. Aku merebahkan diri dipelukannya, sementara Dave juga merangkul pinggang rampingku sambil mengatakan kata-kata cinta dan gombalan.
Apakah aku yang terlalu berharap di sini? Yang jelas tidak seharusnya aku berjalan sendirian di sini, di tengah hujan dan menunggu sebuah taksi.
Aku menyadari jika saat ini aku sangat kesulitan untuk mendapatkan sebuah taksi. Akhirnya aku berjalan menelusuri pinggir jalan untuk menemukan halte bis terdekat.
Ya, aku akan pulang dengan bis. Pikiranku melayang-layang di sepanjang jalan. Cukup sudah, aku sudah muak dengan Dave. Aku akan memberitahunya bahwa hubungan kami sampai di sini saja. Aku masih muda, cantik dan menarik. Pasti banyak pria yang menginginkanku.
Kalau Dave tidak bisa menghargaiku, aku bisa mencari pria lain yang lebih peduli kepadaku. Usiaku baru dua puluh lima tahun, aku hampir melewatkan umur emasku untuk segera menikah.
Namun aku juga masih sangat mencintai Dave, aku ingin kami berusaha memperbaiki hubungan kami yang sudah mulai memasuki rasa jenuh ini. Berpikir sampai di sini, aku sangat kesal dan kecewa dengan Dave.
Aku ingin mendengar apa penjelasan dari Dave nanti pada saat aku pulang ke apartemen. Bagaimana penjelasan dari dirinya yang tidak dapat datang memenuhi janji kencan kami.
Aku telah mencoba melihat dari sudut pandangku dan juga dari sudut pandang Dave. Mencoba mencari tahu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh Dave.
Bagaimana perasaan Dave terhadapku, serta apa yang sedang Dave rasakan saat ini. Karena aku terlarut dalam pikiranku sendiri, tanpa kusadari sebuah mobil mendekat ke arahku.
Mobil sport perak menyalip kendaraan di sebelahnya melalui jalur lambat. Roda mobil itu berputar di atas kubangan lumpur.
Ah, sudah terlambat untukku menghindarinya.
"Dasar brengsekk!" Umpatku kesal.
Tubuhku dipenuhi oleh lumpur. Gaun merah yang baru kubeli, bahkan mantel hingga sendal hak tinggi semua tidak terlewatkan dari lumpur itu, terciprat hampir ke seluruh bagian tubuhku.
Aku hanya dapat menganga karena terkejut. "Oh ya ampun, aku sudah menghabiskan banyak uang untuk ini." Keluhku lagi.
Aku berdiri di trotoar, lalu memperhatikan pria brengsekk yang telah membuatku menjadi seperti ini. Pasti pemilik mobil sport perak ini adalah seorang pria yang sok kaya. Sekilas aku dapat melihat siluetnya.
Seorang pria berkulit eksotis, wajahnya sekitar dua puluh sembilan hingga tiga puluhan tahun. Tetapi pria itu tidak memperhatikanku.
Pria itu sibuk memperhatikan arus lalu lintas di depannya. Menyetir dengan satu tangan dan sambil memegang ponsel di tangan satunya lagi.
Aku sangat marah melihat tampilanku yang sangat menjijikkan ini dan terus mengumpat kesal karena emosi. "Kalau nyetir pakai mata dong!" Umpatku kasar.
Aku juga tidak berharap pria itu dapat mendengar makianku karena mobil itu sudah agak jauh. Akhirnya aku mengeluarkan tisu basah yang ada di dalam tasku, menyeka lumpur di wajahku terlebih dahulu, baru setelahnya aku menyeka lumpur di bagian tubuhku yang lain.
Namun yang tidak pernah kubayangkan ternyata pria itu membuka jendela mobilnya dan menatap ke arahku. Selama beberapa detik, kami saling menatap satu sama lain. Walau hanya sekilas saja, sedikit meninggalkan kesan yang dalam bagiku.